#kisahFahri (Part 10)

513 30 1
                                    

Tiba di rumah, Mama sudah menunggu di ruang tengah. Tak biasa-biasanya. Wajah Mama terlihat agak sangar.

"Kamu berkelahi lagi hari ini?" kata Mama dengan nada rendah, menakutkan.

"Ngga," jawabku santai. Yang tadi tidak bisa disebut berkelahi karena Erga bahkan sama sekali tidak membalas.

"Jangan bohong!" ujar Mama dengan suara mulai meninggi.

"Aku mukulin orang, bukan berkelahi," jawabku lagi. Berusaha terlihat tenang padahal takut.

Kata Mama membelalak, kesal rupanya. Serentetan omelan sudah siap dimuntahkan. Wanita yang melahirkanku itu berdiri lalu berjalan mengelilingiku.

"Reina menelpon! Dia nanyain kamu karena di sekolah ngga ada! Bikin panik anak orang aja kamu!"

Aku menunduk, membayangkan paniknya sahabatku.

"Lalu, wali kelas kamu menelpon, katanya kamu ke SMA 30 mukulin Erga! Sekarang Erga di rumah sakit, orangtuanya minta tanggungjawab!"

Mama menarik napas panjang, berdiri di hadapanku.

"Kamu ini kenapa, Fahri? Mau sampai kapan mengumbar emosi? Tidak bisakah semuanya diselesaikan dengan damai?"

Suara Mama mengecil, terdengar nyaris putus asa.

"Mama tahu, kamu ingin diperhatikan. Tapi bukan ini caranya."

"Kamu bisa melakukan banyak hal yang positif, Fahri. Dengan kecerdasan, fasilitas yang kami berikan, kekuatan fisikmu ... Pikirkan Reina," Mama menyebut nama sahabatku lambat-lambat.

"Reina?" ulangku.

"Iya, Reina. Gadis baik itu. Pikirkan kalau sikapmu seperti ini terus, bisa jadi kamu akan kehilangan dia!"

Aku mengangkat wajah.

"Ma, Fahri melakukan ini untuk melindungi Reina! Bahkan Fahri ngga peduli, Mama Papa mau memperhatikan atau tidak. Yang terpenting, Reina aman!" ujarku tegas.

"Dulu, iya. Fahri harus cari gara-gara untuk mendapatkan perhatian, tapi sekarang Fahri sudah tidak butuh itu!"

Mama mengatupkan bibir, terlihat agak kaget. Aku masih bersikap menantang. Mama menghela napas, lalu balik badan menuju kamar.

Aku duduk sambil mengusap kepalan tangan yang masih terasa nyeri.

Bel pintu depan berbunyi.

Setengah malas, kubuka pintu. Wajah lembut yang tersenyum simpul berada di hadapanku.

Reina datang. Wajahnya menyeringai, walau terlihat agak khawatir.

"Gila lo, Boy!" katanya setengah berteriak.

Sambil nyengir, kutatap dia dengan memelas. "Abis kesel. Nekat amat nyium-nyium lo!" ujarku sangar.

"Iya. Ngeselin emang tuh anak," sahut Reina dengan senyum khasnya.

"Tapi, lo suka ngga dicium Erga?" tanyaku menggodanya.

"Ih!!" Reina menepuk bahuku, lalu memperagakan gaya muntah.

Tawa kami meledak.

----

Keesokan harinya aku berangkat sekolah dengan deg-degan. Kusiapkan mental kalau-kalau dipanggil ke ruang BP lagi.

Namun suasana pagi di sekolah terlihat biasa saja. Aku masuk kelas, ruangan itu juga terlihat biasa. Suasana kelas tidak tegang. 20-an anak kelasku terlihat santai di bangkunya masing-masing.

"Hoi! Jagoan!" terdengar suara Leo menyapaku.

Teman sebangkuku itu sedang duduk di bangku belakang berdua Desi, pacarnya. Dia melambaikan tangan, lalu berjalan ke arahku.

PENJAGA HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang