Nampaknya Dirga serius betul. Terlihat dari usahanya mendekati keluarga Reina.
Kata Reina, Dirga sering membelikan hadiah untuk Ayah dan Ibunya. Sikap lelaki itu juga sangat santun, hingga Ayah Reina yang biasanya over-protective pun luluh hatinya. Reina boleh pergi bersama Dirga kapan saja lelaki itu menjemputnya. Pacar-pacar Reina sebelumnya tak ada yang segencar itu mendekati keluarganya.
Walau ada perasaan mengganjal, hatiku tetap senang mendengar kabar itu. Bagaimanapun, memang sudah saatnya Reina serius dengan satu orang. Kuharap Dirga bisa menjadi lelaki terakhir dalam hidup Reina. Gadis itu berhak bahagia.
Walau jarang bertemu, aku dan Reina tetap intens saling bertukar berkabar.
Hari berganti, tak terasa perkuliahan sudah berjalan satu setengah tahun. Aku berjuang menyelesaikan tesisku, begitupun Reina dan Dirga.
Aku hampir tak pernah bertemu Reina di kampus. Sekali waktu pernah kulihat dia melangkah keluar gedung fakultas, berdua dengan Dirga. Mereka terlihat sangat dekat, dalam arti harfiah.
Jari jemari keduanya bertautan, beberapa kali tertawa sambil saling menatap mesra. Sesekali kulihat Dirga mencolek pipi sahabatku, lalu tawa Reina berderai lagi. Entah apa yang dikatakan lelaki itu, apakah segitu lucunya?
Mendengus kesal, aku mengurungkan niat menyapa mereka. Kupilih menyembunyikan diri di balik kerumunan mahasiswa yang baru tiba untuk memulai kelas malam.
Seringnya begitu. Aku tak nyaman lagi berbicara dengan Reina saat ada Dirga di sampingnya. Semacam ada perasaan mau muntah saat melihat lelaki itu bertingkah sok mesra pada sahabatku.
---
Pukul 23.35, mataku sudah nyaris terpejam saat HP bergetar. Siapa yang menelpon jam segini? Sambil menggerutu, kulihat layar berkedip itu.
Reina.
Aku melompat duduk, lalu segera menjawab panggilannya.
"Halo?"
"Ri, Dirga mau bawa orangtuanya untuk ngelamar gue, Sabtu minggu depan," tuturnya lambat di ujung sana.
Jantungku seperti mau lepas. Ada rasa sakit di dalam sana. Apa ini?
“Boy.” Suara Reina seperti bergaung di dalam kepalaku
“Ya,” jawabku nyaris berupa bisikan. Mendadak tenggorokan terasa kering.
“Rencananya setelah wisuda nanti, kami menikah. Gue deg-degan banget! Ngga bisa tidur, takut salah mengambil keputusan!” cerocosnya lagi.
Bisa kudengar napasnya yang berat, mungkinkah dia sedang menangis?
Aku terdiam, berusaha mencerna kalimat demi kalimat Reina. Kepalaku mendadak pening, sulit berbicara. Belum pernah merasa seperti ini.
“Rei, sorry. Gue baru pulang, ngantuk. Boleh besok ya ngobrolnya, gue ke rumah habis Maghrib. Oke?”
“Oke.” Lalu pembicaraan selesai.
Mataku nyalang. Sesungguhnya aku telah berbohong. Aku memang lelah, tapi kantukku telah lenyap. Kabar dari Reina telah menyalakan sebuah pijar asing di otakku, cemburukah?
----
Sepanjang hari, aku merasa tak fokus bekerja. Kalimat Reina terus terngiang di telinga. Reina, sahabatku, akan menikah. Sesungguhnya aku tidak menyukai calon suaminya, tapi aku lebih tidak menyukai diriku saat ini. Diriku yang terbakar oleh entah apa.
Ada rasa panas yang tak nyaman di dada. Belum pernah merasa seaneh ini. Setengah marah, setengah tak berdaya. Marah? Mengapa marah? Entah. Yang pasti emosiku memuncak setiap mengingat wajah Dirga.
KAMU SEDANG MEMBACA
PENJAGA HATI
RomansaMasih bagian dari #kisahReina dan #kisahAdam..Kali ini, sudah saatnya dunia mengenal Fahri, Sang Penjaga Hati