Seminggu menjelang pernikahan Reina, aku sibuk luar biasa. Sibuk apa? Banyak.
Aku mengajukan cuti satu minggu untuk membantunya, dari mencarikan gedung terbaik, catering paling enak, desain undangan, sampai seragam untuk keluarga. Aku mengantarkan Reina dan Ibunya kemanapun mereka ingin, kapanpun dibutuhkan. Sementara Kak Fitri sibuk bolak-balik menyiapkan kebaya akad nikah dan resepsi Reina. Profesi sebagai desainer pakaian dimanfaatkan Kak Fitri untuk menunjang penampilan terbaik adiknya saat pesta pernikahan nanti.
Reina sendiri terlihat agak kuyu menjelang pernikahannya. Kantung mata terlihat samar di bagian bawah mata gadis itu. Senyumnya berbeda dari biasanya. Bisa dimaklumi, dia akan menikah. Pasti banyak sekali pikiran berkecamuk di dalam kepalanya.
Malam sebelum akad nikah, aku berada di rumah Reina. Pengecekan akhir sudah selesai. Semua sudah siap. Pukul 08.00 esok pagi, Dirga akan mengucapkan ijab qobul, Reina akan menjadi istri sah seseorang.
Kuhampiri Reina yang sedang duduk bersandar di bahu Ibunya. Jemari sang Ibu mengelus rambut putrinya penuh sayang. Aku duduk di seberang mereka, sambil menyesap teh manis yang sudah tersedia bagiku.
“Rei, kamu sudah siap kan?” kata Ibu Reina pelan. Matanya melirikku sekilas.
“Insya Allah, Bu. Minta doanya,” suara Reina lebih serupa bisikan.
Ayah Reina bergabung dengan kami, duduk di sebelahku.
“Fahri, sudah disepakati. Setelah menikah, Reina dan Dirga akan tinggal di sini. Saya dan Ibunya pindah ke rumah Depok. Fitri ikut dengan kami,” ujar Ayah Reina sambil menatapku.
Kuanggukkan kepala, lalu menjawab cepat “Siap, Pak.”
“Titip Reina, ya,” kata Ayah Reina lagi. Aku mengangguk lagi.
Gadis itu mendongakkan kepala menatap Ayahnya dan aku bergantian. Matanya jelas berkaca-kaca.
“Kamu sudah seperti anak kami sendiri, Fahri. Kamu juga selama ini sudah menjadi kakak terbaik bagi Reina,” lanjut Ayah Reina.
“Lha? Aku? Kurang baik, Yah?” sergah Kak Fitri. Tiba-tiba saja dia sudah muncul di belakang kami. Cengengesan sambil menenteng sebuah kebaya panjang berwarna putih.
Ibu Reina tertawa, “Ralat, Yah! Kakak lelaki. Fahri itu kakak lelaki Reina.” Reina tertawa pelan.
Kak Fitri memandang Reina lalu berkata, “Eh, calon pengantin, sini! Coba pakai lagi kebaya ini, sudah kupermak sesuai ukuran tadi sore. Kamu cepat sekali kurusnya, kebaya ini jadi longgar lagi.”
Reina bangkit dan menyeret langkahnya mengikuti sang kakak ke kamar.
“Fahri,” suara Ibu Reina terdengar begitu lembut.
Lanjut wanita itu, “Kamu tidak keberatan kan, kami titip Reina?”
Aku menggelengkan kepala, “Sama sekali tidak, Bu.”
Tangan Ibu Reina menyentuh bahuku, “Apapun yang terjadi, tolong jaga Reina, ya?”
“Tentu, Bu. Akan saya jaga Reina semampunya,” sahutku tegas.
“Terima kasih, Ri.” Mata wanita itu menatapku dalam. Aku mengangguk takzim.
---
Aku pamit pulang.
Kutatap pintu kamar Reina yang tertutup, dia dan Kak Fitri masih sibuk mengepas kebaya. Aku tak merasa perlu menunggunya. Esok pagi aku akan menjemput dan mengantarkan Reina sekeluarga ke gedung untuk akad sekaligus resepsi pernikahannya.
Malam ini tidurku sungguh tak nyenyak. Kepalaku penuh dengan Reina. Mencoba menganalisa perasaanku padanya. Mengapa akhir-akhir ini aku merasa aneh, bahkan racun yang bernama cemburu sempat muncul dan merajai hati?
KAMU SEDANG MEMBACA
PENJAGA HATI
RomanceMasih bagian dari #kisahReina dan #kisahAdam..Kali ini, sudah saatnya dunia mengenal Fahri, Sang Penjaga Hati