Hari Selasa pagi, aku sudah berdiri di depan kelas Magda.
Kulongokkan kepala sebentar ke dalam kelas, namun gadis itu belum tampak. Sambil mengulang ucapan yang sudah kulatih di rumah, kakiku melangkah mondar-mandir di koridor kampus.
Tiba-tiba saja Magda sudah berdiri di hadapanku. Matanya memicing, seolah menganalisa aku sedang apa di tempat ini. Sontak kakiku berhenti melangkah, jantung berdegup kencang. Macam maling tertangkap, begitu rasanya kira-kira.
“Ngapain?” tanya Magda pendek.
“Nungguin kamu,” sahutku pendek juga.
“Mau apa?”
“Mau bilang, aku menyukaimu, Magda. Ingin lebih dekat, terserah padamu apa sebutannya.”
Mata coklatnya masih mengawasiku.
“Aku tidak akan pindah agama,” katanya lugas.
“Aku takkan memintamu pindah agama,” ujarku dengan sungguh-sungguh.
“Nanti bagaimana?” tanya gadis itu, nada suaranya terdengar seperti berbicara pada dirinya sendiri. Lebih lunak di pendengaranku.
Aku tersenyum riang, berusaha terlihat tetap optimis di hadapannya.
“Ya, bagaimana nanti sajalah. Yang penting, ijinkan aku menjadi orang terdekatmu dulu. Kalau kamu tidak suka, atau merasa keimananmu terganggu dengan keberadaanku, aku akan mundur,” kataku panjang lebar. Dalam bayanganku. aku menjitak kepala sendiri. Bisa-bisanya aku bicara seperti itu. Keren.
Magda masih memandangiku, namun bisa kulihat, tatapan itu lebih bersahabat sekarang.
“Ya sudah, sana kembali ke kelasmu,” ujarnya memerintah.
Lho?
Gadis itu melewatiku, berjalan memasuki ruang kelas. Sekilas kulihat mata coklatnya berkilat jenaka saat melirikku sekejap.
“Hei, Magda … Lalu apa jawabanmu?” kataku setengah berteriak.
“Terserah kau saja!” jawabnya asal-asalan. Dia melambaikan tangan tanpa menoleh lagi.
Sejenak aku terdiam di depan kelasnya. Bingung bagaimana mengartikan jawaban itu. Tapi kalau dia bilang terserah, artinya dia mau. Kan terserah aku?
Yes! Punya pacar lagi! Sambil menyeringai, kutinggalkan koridor itu dan melangkah ringan ke arah kelasku.
----
Sore itu aku menunggu Magda di depan kelasnya. Sampai mahasiswa terakhir keluar, tak juga bisa kulihat Magda di antara mereka. Nekat, aku melongok ke dalam kelas yang sudah sepi.
Gadis itu ada di dalam, duduk di barisan paling depan. Kepalanya menunduk membaca buku tebal di hadapannya. Seperti biasa rambut ikal panjangnya dikuncir satu, beberapa helai rambutnya menjuntai di depan wajah. Wajah itu serius sekali. Tanpa ragu, kuhampiri dia dan duduk di kursi sebelahnya.
“Hai Magda.”
Dia mengangkat wajah sejenak, menatapku setengah acuh, lalu kembali menekuri bukunya.
Kuputuskan menunggu sampai dia selesai membaca buku apapun itu. Aku menggeser kursi menghadapnya, dan duduk diam-diam di sana. Sambil terus mengamati gadis unik di sebelahku, roda di kepala berputar cepat mendesain apa yang akan kukatakan padanya.
Tak lama kepalanya menoleh ke arahku, dengan tatapan kenapa-kau-selalu-mengganggu. Kupersembahkan senyum paling manis yang kupunya. Berharap Magda akan balas tersenyum, sedikit saja. Dia tak tersenyum.
Ditutupnya buku tebal itu, lalu dimasukkan ke dalam tas ranselnya. Tubuhnya lalu bangkit dan melangkah cepat menuju pintu. Akupun melompat mengekori langkahnya. Bisa kubayangkan, sekarang aku benar-benar seperti kucing kecil yang mengikuti manusia yang membawa-bawa ikan di dalam sakunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PENJAGA HATI
RomanceMasih bagian dari #kisahReina dan #kisahAdam..Kali ini, sudah saatnya dunia mengenal Fahri, Sang Penjaga Hati