Setelah masuk SMA, aku minta ijin pada mama papa untuk tidak lagi diantar jemput oleh Pak Wawan. Aku malu.
Namun papa tidak mengijinkan. Kata beliau, aku tetap harus diantar jemput, hingga nanti usiaku mencukupi untuk menyetir mobil sendiri.
Aku sungguh keberatan. Tapi begitulah papaku, kalau sudah bertitah, maka itu perintah. Namun aku tetap meminta kelonggaran, seperti saat SMP dulu, aku tidak mau diantar hingga depan gerbang. Papa setuju.
Pak Wawan dan aku akhirnya sepakat, dia akan mengantar dan menjemputku di sebuah pos polisi di ujung jalan, sekitar 100 meter dari sekolahku.
O ya, sebenarnya aku tidak suka bawa mobil ke sekolah. Itu terlalu mencolok. Aku tidak suka jadi pusat perhatian.
Tapi demi baktiku pada orang tua, kutelan saja ketidaksukaan itu. Beberapa kali aku berdoa agar papa dan mamaku cukup bangkrut hingga tak mampu membelikan mobil untukku.
Doa yang buruk. Ya, aku tahu itu.
-----
Seiring berjalannya waktu, Reina berhasil membuatku berjanji untuk tidak membuat ulah di SMA. Aku harus serius sekolah untuk persiapan masuk ke perguruan tinggi nanti.
Saat ini dia juga sedang belajar keras agar bisa diterima masuk ke SMA yang sama denganku. Kedua orang tuanya menganggap Reina akan aman di sekolah jika ada aku bersamanya.
Semacam bodyguard pribadi. Tapi tak dibayar. Janjinya, aku akan dikasih pie buah buatan ibu Reina sebulan sekali. Itu sudah sangat cukup buatku.
-----
Hei. Kau tahu? Tawa Reina itu menular.
Setiap kali dia tertawa, matanya akan menyipit hingga nyaris tak terlihat. Seringnya dia menutup mulut dengan sebelah tangan, tapi suara ketawanya begitu jelas, mengajakku ikut larut dalam tawa.
Seperti sekarang, di hari Sabtu yang santai, saat kami berdua duduk di teras rumahnya. Dia tertawa tanpa henti saat kuceritakan kekonyolan hari pertamaku di SMA 1.
"Gue ngga telat dong, Rei," kataku penuh semangat.
Mata teduhnya membulat, lalu dia menepuk-nepuk bahuku.
"Hebaaat," ujarnya.
"Iya, ngga telat. Tapi salah masuk kelas," dengusku.
"Lha, kok bisa?" tanyanya dengan nada kaget.
"Iya, gue salah masuk aja. Pede banget," ujarku.
"Jadi, gue kan aslinya kelas 1-4. Eh, masuknya ke 1-5. Tau ngga kenapa?"
Reina menunggu sambil melipat kedua kakinya bersila di kursi.
"Gue ngikutin cewek! Cakep banget dia," kataku penuh semangat.
Kulanjutkan,"Gue liat dia sejak masuk gerbang sekolah, anaknya caaaantik, putih, rambutnya panjang lurus sebahu, roknya agak pendek gitu, kakinya putih banget," kataku sambil terkekeh.
Reina memutar bola matanya ke atas, sambil tertawa, "Lalu?"
"Ya gue ikutin. Dia masuk kelas itu, gue ikut masuk. Dia duduk, gue duduk di bangku belakangnya. Pas diabsen, eh... nama gue ngga ada."
Reina tertawa lagi, "Trus, trus?"
"Gurunya nanya, yang belum dipanggil siapa. Gue ngacung."
"Ditanyalah gue, 'kamu siapa' 'kelas berapa'?" ujarku sambil menyeringai.
Mata Reina semakin membulat menatapku, dia begitu tertarik rupanya. Bibirnya membentuk lengkungan ke atas.
"Gue jawab, 'Fahri Syailendra, kelas 1-4' dengan pedenya, Rei!"
KAMU SEDANG MEMBACA
PENJAGA HATI
RomantizmMasih bagian dari #kisahReina dan #kisahAdam..Kali ini, sudah saatnya dunia mengenal Fahri, Sang Penjaga Hati