Setelah hari itu, aku menjadi lebih sering bertemu Reina. Paling sering di kantin.
Walau sudah tahu namanya dari Andi, aku tetap secara resmi berkenalan dengannya di kantin. Hari itu juga aku tahu lokasi rumahnya. Ternyata sangat dekat dengan rumahku. Kuanggap itu sebuah kebetulan yang menyenangkan.
Namun aku tak pernah pulang bersamanya. Tak mungkin mengajak dia naik mobil dengan disupiri Pak Wawan kan? Di mana harga diriku? Anak laki-laki yang suka berkelahi, tapi ke sekolah diantar jemput pakai supir pribadi. Itu memalukan.
Kami juga sering bertemu pada pagi hari di warung makan menuju sekolah. Bahkan kegiatan itu menjadi semacam rutinitas pagi kami. Ngobrol dengan Reina sangat menyenangkan. Dia ramah dan selalu tertawa. Yang paling penting, dia tak takut padaku.
Pada akhirnya dia mengetahui kebiasaanku setiap hari, yang turun dari mobil agak jauh dari gerbang sekolah, lalu berjalan kaki. Dia tak pernah mempermasalahkan itu.
Malah beberapa kali saat aku tiba di warung, dia sudah menunggu di sana, melambaikan tangan sambil tersenyum manis kepada Pak Wawan. Biasanya dibalas Pak Wawan dengan celetukan, "Cie cie.. Fahri ditungguin pacarnya."
Celetukan supirku berhenti saat kuancam akan minta mama memecatnya. Aku tak mau membuat Reina risih dengan celetukan norak seperti itu. Walau sebenarnya akupun senang ditunggui Reina di sana.
Semakin hari, aku merasa semakin leluasa bercerita apapun pada Reina. Dia selalu menjadi pendengar yang baik. Dia menyimak setiap ucapanku, berkomentar yang simpel, bahkan kadang memprotes kalau dianggapnya sikapku salah.
Saat kukatakan bahwa kedua orang tuaku tak sayang, Reina bilang begini, "Tak ada orang tua yang tak sayang anaknya, Ri. Hanya cara menunjukkannya yang berbeda." Aku hanya mengangguk-angguk.
Dalam beberapa bulan saja, Reina sudah mengetahui hampir 90% cerita kehidupanku. Dan dia menyimpannya sendiri. Lambat laun, dia menjadi satu-satunya orang kepercayaanku.
Aku percaya, ini yang disebut chemistry.
---
Reina suka membaca. Kadang aku melihatnya di kelas sendirian, membaca buku di bangkunya. Saat kudatangi, dia cepat-cepat mengusirku keluar. Reina tak suka diganggu saat sedang membaca.
Dia senang melukis juga. Yang kutahu, Reina adalah perwakilan SMP 28 Jakarta dalam lomba melukis tingkat Kota. Lukisannya kebanyakan gambar tak beraturan. Aku tak terlalu mengerti tentang aliran seni, tapi katanya Reina itu pelukis aliran abstrak. Dan aku adalah penggemar lukisan abstrak karya Reina.
Hingga naik ke kelas 3, aku tetap penggemar lukisan Reina.
Menjelang kelulusanku dari SMP 28, aku mendampingi Reina yang ikut lomba melukis. Penyelenggaranya SMP 1 Jakarta. Saat itu aku hadir untuk memberi semangat pada Reina.
Lukisannya dinyatakan menang pada lomba itu, dan dipajang di sebuah penyangga kayu (standing easel) di arena lomba. Reina berdiri bangga di samping karyanya, sambil menerima ucapan selamat dari banyak orang.Salah satu saingan Reina dari sekolah penyelenggara menghampirinya. Anak laki-laki itu berdiri di depan lukisan Reina, lalu mencibir sambil berkata, "Lukisan jelek gini kok bisa menang ya? Jurinya bapak lo, kali ya?" Suara anak itu cukup keras.
Reina terkesiap kaget, tapi tetap berusaha tersenyum. Aku yang marah. Kudekati anak itu lalu kudorong tubuhnya menjauh.
"Jangan ngomong macem-macem, kalah ya kalah aja lu!" ujarku.
"Lha, kenapa lu yang marah? Emang lu siapanya?" anak itu membalas tak kalah sengit.
"Gue kakaknya, mau apa!?" kataku sambil menarik kerah baju depannya.
Anak itu menatapku marah, lalu memukul dadaku. Lumayan sakit. Aku balas memukulnya. Entah bagian mana yang kena. Yang aku tahu, kami bergulingan sambil saling memukul di lantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
PENJAGA HATI
RomanceMasih bagian dari #kisahReina dan #kisahAdam..Kali ini, sudah saatnya dunia mengenal Fahri, Sang Penjaga Hati