#kisahFahri (Part 8)

664 29 2
                                    


Hati yang patah ternyata lama sembuhnya.

Tiap melihat gerbang sekolah, terasa sedih. Teringat biasa menemani Donna menunggu jemputan di tempat itu.

Melihat ruang kelasnya, terasa merinding. Memilih jalan memutar agak jauh, agar tak perlu sampai bertemu dengan Donna.

Melihat langit mendung, ingin nangis. Teringat dulu pernah sepayung berdua dengan Donna saat hujan turun deras.

Melihat kantin, aku lapar. Eh. Maksudnya, aku terbayang wajah cantik Donna yang mengunyah mie ayam di hadapanku. Slow motion.

Reina selalu menertawakan. Menurutnya aku ini bodoh.

"Begooooo! Cewek kan ngga cuma Donna!" katanya saat kami berboncengan sepulang sekolah.

Aku mengangguk-angguk.

"Justru sekarang nilai jual lo lagi tinggi. Anak pintar. Kaya. Mantan pacar Donna. Wuiihh!" teriaknya lagi.

Aku masih mengangguk-angguk.

Suara Reina terdengar lagi, "Temen kelas gue aja udah 6 orang nitip salam buat lo!"

"Cewek semua kan, Rei?"

Punggungku digebuk.

"Cowok satu!" katanya sambil tertawa.

"Sial. Buang aja!"

Tawanya kembali terdengar, berderai-derai di belakangku.

Aku tersenyum simpul. Reina sedang berusaha keras menghiburku. Terharu rasanya.

Ihik.

----

Benar kata Reina. Aku sekarang banyak diincar cewek di sekolah.

Rumor yang beredar, mereka menyukaiku karena 3 hal: aku anak orang kaya, badboy, dan menguasai semua mata pelajaran. Pacar ideal, menurut mereka.

Padahal di luar ketiga poin itu, aku ini aslinya ganteng.

Kata ibunya Reina, wajahku mirip Tio Pakusadewo. Wah, ganteng betul.

Menurut ayah Reina lain lagi. Kata beliau aku mirip Shah Rukh Khan. Makin ganteng, pikirku.

Sementara Kak Fitri bilang aku gantengnya mirip Jude Law. Astaga, aku tersanjung.

Reina sendiri yakin, aku mirip pemain bola Paolo Maldini. Heh?

Aku menerima semua pujian penuh kebohongan itu dengan lapang dada. Kadang bertanya dalam hati, "kira-kira mereka tahu ngga ya, empat cowok ganteng itu mukanya masing-masing beda 180 derajat?"

----

Hari-hari terus berlalu. Aku tidak berniat pacaran lagi. Hatiku masih berdenyut perih setiap mengingat Donna.

Mungkin ini yang disebut trauma.

Kadang aku berpapasan dengan gadis itu, dia tersenyum manis. Kubalas dengan senyum terbaik yang kupunya.

Setelahnya, aku pasti merasa begitu lapar. Mie ayam kantin menjadi pelampiasan. "Ah, alasan kau, Boy. Bilang aja lapar!" Bisa kubayangkan wajah Reina saat mengatakannya.

---

Aku sudah kelas 3 sekarang. Saatnya lebih serius menuntut ilmu.

Papa menginginkan aku kuliah di Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Artinya harus lulus UMPTN.

Kuiyakan saja perintah itu. Dalam hati berbisik, "Lets see, Pa. Let's see."

Hari ini kudengar Donna jadian dengan salah satu teman sekelasnya, si culun Ardin. Namanya saja sudah culun. Benci aku membayangkannya.

PENJAGA HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang