Petugas kamar jenazah dengan sigap membersihkan jenazah Mama Papa. Aku dan Reina duduk di ruang tunggu, sementara petugas administrasi rumah sakit menyerahkan beberapa dokumen untuk ditandatangani.
Seorang polisi mendatangi kami, memberi informasi dan bertanya beberapa hal tentang Mama Papa.
Katanya, hasil penyelidikan sementara menunjukkan kecelakaan terjadi akibat rem mobil tidak berfungsi. Pak Wawan tidak bisa mengontrol kemudi karena rem blong, akibatnya mobil meluncur kencang melewati lampu merah dan langsung terhantam keras oleh bis antar kota yang melaju kencang dari sebelah kanan.
Saat proses evakuasi berlangsung, Mama ditemukan telah tewas di tempat kejadian. Pak Wawan dan Papa meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit.
Ada indikasi seseorang telah melakukan sabotase pada sistem kemudi mobil. Rem dinyatakan tidak berfungsi akibat tindakan yang disengaja.
Tim kepolisian mencurigai ada pihak tertentu yang membenci kedua orangtuaku, berkaitan dengan profesi Mama sebagai pengacara khusus kasus pidana dan Papa sebagai pengawal pribadi sekaligus tangan kanan, orang kepercayaan seorang petinggi di negara ini.
Papa? Pengawal pribadi? Tak masuk akal rasanya.
Penjelasan itu kudengar sayup-sayup. Otakku masih belum bisa mencerna kejadian itu.
Bayangan tubuh Mama Papa terbujur kaku sangat menyakitkan hati. Wajah cantik Mama yang tersenyum lembut terakhir kali, muncul di dalam benakku. Aroma khas tangan Papa yang kucium setelah sekian lama tak tersentuh, membuat air mataku mengalir deras.
Benar kata orang, semuanya menjadi lebih berarti saat semuanya sudah tiada. Sesal memenuhi relung kalbuku. Terbayang betapa tak berbaktinya aku sebagai anak. Terbayang betapa jauhnya aku dari kedua orangtua.
Kalau saja aku mau lebih melembutkan hati, niscaya akan terlihat jelas semua bukti kasih sayang Mama Papa padaku. Semua masalah yang kutimbulkan sejak remaja, diselesaikan dengan bantuan kedua orangtuaku. Tanpa campur tangan Mama Papa mungkin aku sudah masuk penjara beberapa kali.
Mengingat semuanya, air mataku semakin deras mengalir. Dada terasa begitu sesak. Kubenamkan wajah ke kedua telapak tangan, berharap semua ini hanya mimpi.
Telapak tanganku basah oleh air mata, dan rasa sakit yang menjalari dada menyadarkanku, semua ini nyata.
Kedua orangtuaku telah pergi untuk selamanya. Tak ada Mama Papa lagi di dunia ini.
---
Om Tio dan istrinya telah tiba di rumah sakit. Adik kandung Papa itu memelukku erat, dengan isak tangis tanpa henti. Tak berapa lama saudara Mama Papa yang lain berdatangan.
Om Tio ditetapkan sebagai juru bicara keluarga. Profesi pengacara yang disandangnya membuat Om Tio lebih terbiasa menangani segala urusan dengan kepolisian.
Aku dan Reina disarankan pulang. Keluarga besar akan mempersiapkan pemakaman langsung sepulang dari rumah sakit. Rencananya jenazah Mama Papa akan langsung dimakamkan sore ini, mengingat kondisi jenazah yang rusak parah.
Supir Om Tio mengantarkan kami pulang, khawatir dengan kondisiku yang masih linglung, tak mungkin bisa menyetir sendiri. Reina diantar ke rumahnya, masih dengan isak tangis tanpa henti. Dia berjanji akan segera ke rumahku, setelah berganti pakaian.
Tiba di rumah, sudah ada beberapa anggota keluarga dari pihak Mama dan Papa, beberapa menangis sambil memelukku erat. Aku mengacuhkan semuanya, dan melangkah terseok memasuki kamar kedua orangtuaku. Kamar yang nyaris tak pernah kumasuki.
Kamar Mama Papa wangi. Kususuri pinggiran meja rias Mama yang rapi, membayangkan Mamaku duduk sambil merias wajahnya di sana. Tempat tidur besar di tengah ruangan tertata rapi. Beberapa potret Mama Papa sedang tersenyum terpajang manis di dinding kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
PENJAGA HATI
RomanceMasih bagian dari #kisahReina dan #kisahAdam..Kali ini, sudah saatnya dunia mengenal Fahri, Sang Penjaga Hati