Waktu berganti, tak terasa setahun lebih sudah kepergian Mama Papa untuk selamanya.
Hari demi hari kucoba kembali hidup normal. Kenangan tentang kedua orangtuaku terus tersimpan dan menjadi motivasi melanjutkan hidup, berusaha menjadi orang yang lebih baik.
Hidup kujalani dengan penuh rasa syukur. Aku berusaha bekerja sebaik mungkin, tak lupa memperbaiki ibadah dan terus mendoakan kedua orangtuaku.Sebenarnya tanpa bekerja pun aku mampu membiayai hidup. Harta peninggalan orangtuaku lebih dari cukup. Namun aku tak kuat dengan berdiam diri dalam kesendirian.
Kesepian itu bisa membunuh akal sehat jika kau terus menjalaninya dengan berjuta ‘mengapa‘ di kepala. Maka kuputuskan bekerja keras, semata-mata untuk membunuh waktu sebelum ia menggilasku habis.
Kata Reina, aku banyak berubah. Katanya aku lebih kalem dan dewasa. Aku lebih bijak dan tidak lagi bersikap serampangan seperti dulu. Sahabatku mengatakannya sambil tersenyum menggoda. Biasanya aku hanya melengos, lalu tertawa.
Kupikir, pendapat Reina banyak benarnya. Akupun merasa diriku tidak lagi seperti dulu. Bisa kukatakan, aku yang sekarang lebih baik.
Kepergian Mama Papa membuatku lebih banyak berpikir sebelum bertindak, karena aku sadar, aku sendirian. Selain tanggung jawab pribadi, akupun mengemban tanggung jawab besar untuk mengelola seluruh aset keluarga. Setiap langkah selalu kupikirkan sematang mungkin, tak ingin berlaku ceroboh.
Benar kata orang bijak, bahwa untuk berubah dibutuhkan dua hal. Pertama, kesadaran pribadi. Kedua, rasa sakit. What doesn’t kill you, make you stronger. Kehilangan kedua orangtua membuatku dewasa dengan cara yang tidak biasa.
---
Tahun ini Reina lulus S1. Hari itu, aku menjadi pendamping wisuda bersama kedua orangtua dan kakaknya. Terlihat jelas rona bahagia di wajah sahabatku. Aku lebih bahagia melihatnya.
Suasana wisuda membawa kenangan tentang kedua orangtuaku. Saat kuucapkan selamat, dia memelukku sebentar dengan mata berkaca-kaca, begitupun Ayah Ibu dan Kak Fitri. Dadaku terasa sesak oleh bahagia sekaligus pilu.
Reina berencana langsung melanjutkan ke jenjang S2. Aku mendukung keputusan itu, bahkan aku ikut mendaftar S2 di universitas swasta yang sama dengannya, walau beda jurusan. Kali ini kami menempuh pendidikan di level yang sama, pasti menyenangkan.
Saat perkuliahan dimulai, semua terasa begitu melelahkan. Rutinitas kuliah dan bekerja, dengan jadwal yang saling bersilangan, membuatku sibuk berat. Aku bekerja sepanjang pagi hingga sore, dilanjutkan dengan kuliah malam hari. Bahkan kadang masih kuteruskan dengan diskusi dan konsultasi dengan para dosen.
Nyaris setiap hari aku tiba di rumah menjelang tengah malam. Kelelahan membuatku lebih cepat tertidur. Rutinitas ini membuatku fokus dengan hidup, tak memikirkan hal lain yang tidak perlu.
Sementara Reina menjalani dengan kuliah reguler dengan penuh semangat. Kadang kami berpapasan sebentar di kampus saat dia selesai kuliah, sementara aku baru akan memulai kelas malam.
Walau sudah semakin sibuk dengan kegiatan masing-masing, aku dan Reina tetap menyempatkan diri bertemu minimal sebulan sekali.
---
Sabtu siang, aku ke rumah Reina. Karena jadwal yang begitu padat, dua bulan terakhir ini aku tak bertemu dengannya. Rindu rasanya.
Saat kutiba, dia sedang duduk di teras depan dengan kedua kaki bersila di atas kursi. Matanya tengah serius menekuri buku tebal dengan cover bergambar meriah.
“Hoi, sibuk bener!” teriakku saat sudah memasuki pagar.
Gadis itu mengangkat wajah, lalu tersenyum lebar. Kacamata Reina agak melorot ke hidung, segera diperbaiki letaknya dengan ujung jari telunjuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
PENJAGA HATI
RomansaMasih bagian dari #kisahReina dan #kisahAdam..Kali ini, sudah saatnya dunia mengenal Fahri, Sang Penjaga Hati