Rasanya sungguh tak nyaman. Aku tidak terbiasa membahas tentang isu ini, dengan siapapun. Masa puber dulu kulalui dengan biasa saja, tak ada pembicaraan khusus dengan orangtua tentang urusan ini.
Shinta seolah menelanjangiku dengan tatapannya. Kupaksakan diri menatapnya balik, harga diriku terusik.
“Kalau iya, kenapa? Kalau tidak, kenapa? Bukan urusanmu,” sergahku cepat.
Gadis itu tertawa merdu, membelai telingaku. Menggoda sekali.
“Tidak kenapa-kenapa. Hanya saja, kamu tidak seperti yang kubayangkan,” ujarnya ringan.
Lanjutnya, “Orangtuamu kaya raya dan kau adalah pewaris satu-satunya. Di usia sekarang, gampang saja mendapatkan perempuan manapun yang mau tidur denganmu. Bahkan mungkin mereka bermimpi bisa menjadi ratu di hatimu.”
Kupandangi Shinta dengan takjub. Gadis ini sungguh blak-blakan. Menarik sekali.
“Saat Om Tio menunjukkan fotomu, aku berpikir lelaki ini paling tidak sudah memacari dua puluhan gadis! Sempat tidak berminat, ngeri membayangkan calon suamiku seorang playboy,” katanya sambil tertawa geli. Saat tawanya memudar, gadis itu kembali memandangku penuh minat.
“Jadi?” tanyanya dengan mata berbinar penasaran.
Kugelengkan kepala, lalu berkata dengan suara ditegas-tegaskan, “Keperjakaanku, urusanku. Kau takkan tahu.”
Shinta tertawa berderai. “Kau unik. Aku menyukaimu,” katanya dengan wajah memerah. Tangannya menepuk lututku penuh semangat.
Tanpa sadar aku tersenyum. Dalam hati telah kuputuskan, Shinta cukup menarik. Dia layak menjadi istriku.
“Aku juga menyukaimu, Shin.”
---
Begitulah akhirnya.
Setelah pertemuan perdana itu, diputuskan aku dan Shinta merasa cocok satu sama lain. Kami disarankan segera menikah, para tetua telah menentukan tanggalnya. Tiga minggu ke depan, pernikahan akan dilangsungkan. Dalam masa menunggu, aku dan Shinta tak diperbolehkan bertemu.
Sesuai permintaan keluarga Shinta, perhelatan pernikahan akan diselenggarakan di gedung pertemuan termewah di Jakarta. Kedua orangtua Shinta menginginkan pesta yang megah bagi putri tunggalnya. Bisa kumengerti, dan tak ada masalah bagiku.
Om Tio dan Tante Dian sudah mengatur semuanya. Tak tanggung-tanggung, tim event organizer yang biasa menangani pernikahan selebriti akan mengurus segala tetek bengek pernikahan kami. Keluarga Shinta yang mendesain undangan, menentukan catering, hingga wedding singer yang akan menghibur para tamu nanti. Aku tak begitu peduli.
Kedua orangtua Reina begitu bahagia mendengar rencana pernikahanku. Ibu Reina memelukku sambil menangis, “Alhamdulillah, Ri. Kamu laku juga, Nak!” Ayah Reina menepuk bahuku lalu berujar, “Selamat ya, kabari kami tanggal pastinya.”
Siang ini, Reina menelponku. Suaranya dipenuhi tawa bahagia.
“Boy! Gue udah dengar kabarnya. Selamat ya?”
“Makasih, Rei. Doain gue,” sahutku pelan.
“Jadi, kapan mau ditemuin sama gue? Interview awal?” kata Reina dengan tawa menggoda.
“Ngga usah, Shinta udah lulus seleksi, jalur khusus.”
“Jalur khusus, perjodohan. Macam kisah Siti Nurbaya, ya?” balas Reina riang.
“Iya, gue Siti Nurbaya, dia Datuk Maringgih.”
Tawa Reina berderai di ujung sana. Ah, aku merindukannya. Rindu yang menyakitkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PENJAGA HATI
RomanceMasih bagian dari #kisahReina dan #kisahAdam..Kali ini, sudah saatnya dunia mengenal Fahri, Sang Penjaga Hati