Hari Selasa pagi, jadwal olah raga kelas Reina.Aku sedang berjalan keluar dari toilet, saat kulihat ada seorang siswa yang mengendap-endap di luar ruang kelas Reina.
Sepertinya dia sedang berusaha mengintip siswi yang sedang berganti baju olah raga di ruang kelas.
Biasanya ada siswi lain berjaga di depan kelas, bergantian saling mengawasi. Entah mengapa, hari ini tidak terlihat satupun anak perempuan di sana.
Perlahan aku menghampiri anak itu. Saat berdiri di belakangnya, mataku tertuju pada objek yang sedang diintip. Amarah langsung memuncak di dalam dadaku.
Di dalam kelas itu terlihat Reina sedang membuka kancing seragam sekolahnya, siap-siap berganti pakaian olah raga.
Darahku seolah naik ke ubun-ubun.
"Hei! Anjing! Brengsek lu!" teriakku.
Kerah baju anak mesum itu kutarik keras, lalu tubuhnya terseret di bawah lenganku, sepanjang koridor. Dia meronta-ronta tapi tak mampu melepaskan diri. Beberapa pasang mata menatap kami dengan ngeri.
Sempat kudengar samar-samar suara Reina memanggil. Kuabaikan. Rasanya terlalu marah saat ini.
Tiba di tempat yang agak sepi, kupukuli anak itu bertubi-tubi, paling banyak di bagian mata. Biar dia tahu, mata itu tak boleh menatap bagian tubuh Reina yang tak seharusnya dia lihat!
"Berani-beraninya lu intip Reina, hah!!" geramku.
"Ampun, Kak! Ampun!" teriaknya.
"BERANI-BERANINYA!!" Aku berteriak tak kalah kencang.
Tinjuku kembali mendarat di wajahnya.
Anak itu mengaduh kesakitan, tak punya nyali membalas pukulan. Amarah menguasaiku. Rasanya ingin kubuat dia buta sekalian.
Aku duduk di atas tubuhnya yang menelentang, kedua tangan si mesum berusaha menutupi wajah. Kutarik tangan itu, lalu kepalan tinjuku kembali memukuli wajahnya hingga babak belur.
"BERANI-BERANINYA! BRENGSEK LU!" teriakku lagi.
Beberapa lengan menarik tubuhku menjauh. Tangan yang lain menarik anak itu, menyelamatkannya dari amukanku.
Napasku memburu. Aku membenci anak itu sepenuh hati. Tubuhku meronta kuat, tapi cengkraman beberapa tangan lebih kuat menahanku.
"INI BELUM SELESAI!! AWAS LU YA!" teriakku.
"Fahri! Udah!" suara Reina membahana di belakangku.
Kurasakan tangan dinginnya memegangi lenganku. Menyadarkan.
Kuedarkan pandangan ke sekeliling, seisi sekolah nampaknya tumpah ruah menonton adegan pemukulan ini. Wajah guru BP, Pak Muhtar, terlihat begitu sangar di depanku.
Lalu kutangkap wajah Donna di antara kerumunan. Dia menatapku sedih. Atau benci? Atau jijik? Entahlah. Yang pasti gadis itu membuang muka, lalu berbalik menjauh.
Aku menundukkan kepala. Kutarik napas panjang, lalu melemaskan diri. Perlahan cengkraman di tubuhku melonggar. Tangan dingin Reina masih memegangi lenganku.
"BAWA DIA KE RUANG BP!" hardik Pak Muhtar dengan keras.
Lalu aku digelandang menyusuri koridor, diikuti tatapan beratus pasang mata yang menatapku dengan berbagai ekspresi.
----
"KAU MAU BUNUH ANAK ITU!?" suara Pak Muhtar menggelegar memenuhi ruang BP.
Aku menatap mata tua itu. Pak Muhtar mungkin sudah berusia separuh abad, namun caranya berbicara ditambah tatapan tajam membuatku sedikit takut.
KAMU SEDANG MEMBACA
PENJAGA HATI
RomanceMasih bagian dari #kisahReina dan #kisahAdam..Kali ini, sudah saatnya dunia mengenal Fahri, Sang Penjaga Hati