#kisahFahri (Part 9)

569 32 2
                                    

Jam 12.15. Bel rumahku berbunyi. Aku mengintip dari tirai, Erga berdiri di atas keset sambil merapikan rambutnya.

Reina berdiri di belakangku sambil berjinjit, ingin segera bertemu pujaan hatinya. Sambil tersenyum, kubuka pintu.

"Hei, Ri," Erga menyapa sambil nyengir.

"Hoi," sahutku sambil mengangkat dagu sedikit.

"Reina, kenapa ngumpet?" canda cowok itu sambil melongokkan kepala, mencari wajah Reina.

Aku bergeser agar mereka berdua bisa saling menatap.

Bibir merah Reina tersenyum lebar.

Mata Erga membulat, mulutnya  terbuka sedikit. Aku baru memperhatikan, cowok itu tetap ganteng, bahkan saat sedang menganga.

Sekitar dua detik yang sunyi, kudengar tawa keras Erga membahana.

Kulit wajahnya yang putih, sekarang memerah. Dia tertawa terpingkal-pingkal sambil membungkuk memegangi pinggiran pintu.

Aku bengong.

Reina menyeringai.

"Tak kusangka! Selain pandai melukis di kanvas, kamu ternyata juga pandai melukis wajah!" ujar Erga keras sambil melanjutkan tawa.

Reina menoleh ke arahku dengan tatapan bertanya. Aku mengedikkan bahu.

Mata Reina berkata "dia-kenapa?"

Kujawab dengan tatapan, "entahlah-mungkin-dia-gila."

Reina melirik Erga yang masih tertawa, lalu menoleh ke arahku sambil berbisik, "Sepertinya dia anggap riasanku semacam mainan melukis wajah."

Aku mengangkat bahu, ikut berbisik,  "Mungkin juga."

Kulirik Reina, dia balas menatapku. Sepertinya gadis itu sudah mengerti apa yang sudah kulakukan. Matanya berkilat kejam.

Tawa Erga berangsur-angsur berhenti. Matanya mengamati wajah Reina lagi.

"Sambil menunggu gue, kalian latihan melukis wajah?" tanyanya dengan wajah berbinar.

Reina mengangguk keras, "Iya, Er. Di sekolah kami mau ada pementasan drama. Gue dan Fahri main di situ nanti."

Mata Reina melirikku lagi dengan senyum palsunya. Sementara aku berdiri salah tingkah sambil memindahkan bobot tubuh dari kiri ke kanan.

"Tadi muka gue yang dirias, sekarang giliran Fahri. Lo mau bantu melukis muka dia?" tanya Reina lagi. Ada nada kejam di sana.

Erga mengangguk cepat, lalu menjawab, "Mau! Gue senang melukis wajah."

Gadis itu tertawa dibuat-buat, lalu menggamit lenganku ke arah cermin besar. Pasrah, kubiarkan dia menyeretku. Erga mengikuti dari belakang.

Mereka mendudukkanku di depan cermin, lalu Reina menyorongkan alat kosmetik Mama ke tangan Erga.

"Dalam drama itu, Fahri berperan jadi Hanoman. Coba deh, lo ajari dia, riasannya harus kayak apa," ujar Reina sambil menatap pantulanku di cermin.

Erga menyeringai, "Oke, Ri. Sorry ya, muka lo gue acak-acak sebentar."

Kulirik Reina dengan takut-takut, lalu mengangguk pasrah. Gadis itu tersenyum miring.

"Okey, have fun! Gue cuci muka dulu!" kata Reina, lalu berjalan cepat ke kamar mandi.

Erga mulai mengoleskan krim-entah-apa ke wajahku. Telapak tanganku mengepal, ingin mendorongnya agar tidak menyentuh apa-apa. Tapi tidak mungkin, Reina sebentar lagi keluar. Bisa ngamuk dia kalau aku memukul Erga di sini.

PENJAGA HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang