17.

1K 95 3
                                    

                               *


                               *

Ya Allohu... Selamatkan suamiku, berikanlah kami kesempatan untuk suamiku agar hidup dijalan-Mu. Selamatkan dia, Yaa Robb...

Aku masih duduk terpekur, menunduk khusyuk, berdoa, berdzikir tanpa henti. Memohon sebuah keajaiban muncul. Berharap DIA mengabulkan doaku. Semoga Taehyung berhasil melewati masa kritisnya....

Setibanya diruangan perawatan intensif, kulihat eomma hanya menatapi Taehyung dari luar jendela. Jisoo juga. Ahh...akankah keributan kecil seperti kemarin terjadi lagi?

Ya, kemarin eomma malah mencecarku, mendorongku, menyalahkanku akan keadaan Tae sekarang ini. Semua karenaku. 'Bila saja Tae nggak ketemu kamu!'. Atau... 'Bila kamu nggak nelpon Tae, minta tolong padanya.'

Tapi...semua itu, Alhamdulillah...karena campur tanganNya lah, eomma nggak terus menerus menghakimiku. Papa dan Mama Yeohee, membelaku, mendukungku.

"Tak seharusnya nuna bicara begitu pada Aira," kata Om Kim Seo Woo.

"Benar, eoni. Aku malah bersyukur Tae mendapatkan gadis seperti Aira. Soal Tae yang menjadi muallaf, kau juga tak usah membesar-besarkannya," dukung  tante Kim Taera.

Dan entah apalagi yang Papa dan Mamanya Yeohee katakan. Aku nggak peduli. Saat ini Tae prioritasku!

Aku saangat, sangat berterima kasih pada Zildan. Karena dia Tae terhindar dari tikaman anak buah mucikari itu. Dengan keahlian beladirinya, Zildan mampu mengalahkan mereka. Dan kini mereka meringkuk disel tahanan.

"Ra...kamu yang kuat. Aku yakin Tae nggak apa-apa. Perbanyak doa dan dzikir. Kamu udah sholat?" Zildan menepuk bahuku.

"Udah uda. Uda...makasih udah nyelamatin Tae.." ucapku.

"Sshh....udah. Jangan dipikrin. Tae beberapa hari yang lalu menemuiku, dia mencarimu. Dan menceritakan semua padaku. Aku sempat marah padanya. Tapi Tae meyakinkanku bahwa dia mau berubah dan kembali padamu." ujar Zildan.

Aku diam. Benarkah? Kembali padaku.... Aku mendesah, beberapa saat aku merasa hal itu nggak mungkin, mengingat sikap eomma yang masih nggak bisa nerima aku apa adanya. Lalu Jisoo?

Menyadari ada perempuan lain yang mungkin tersakiti, nyaliku agak menciut. Memang aku akan setega itu menyakiti kaumku sendiri? Sedangkan hidup untuk berbagi cinta rasanya nggak mungkin juga. Kukepal tanganku, kesal sendiri.

Yeohee menghampiriku dan mengusap punggungku. Aku menoleh, tersenyum padanya. Berkatnya dan keluarganya, aku terbebas dari kungkungan cacian eomma. Mungkin saat ini aku bisa bernafas lega, tapi entah esok lusa, nanti.

"Tae belum sadar juga..." gumamku.

"Sabar, Umma. Bukankah Tuhanmu bersama orang-orang yang sabar?" hibur Yeohee.

Aku mengangguk. Ya, kenapa aku bisa kehilangan keyakinan kayak gini? Astaghfirullohal adzimi....

"Dia Zildan?" tanya Yeohee.

"Iya, kenapa? Mau kenalan?"

"Ihh...segitunya."

Aku terkikik demi melihat wajah cemberut Yeohee. Lucu.

"Kamu nggak pulang ke Indonesia? Lebaran...." tanya Yeohee.

Masya Alloh! Aku bisa selupa itu. Kutepuk tangan Yeohee.

"Makasih, Yeo. Aku lupa. Kayaknya nggak deh. Nggak mungkin aku bilang kenyataannya pada Abi dan Ummi. Mereka pasti sedih." kataku.

"Umma, cinta ternyata bisa membuatmu seterpuruk ini ya?" Yeohee menatapku.

Sound Of The Atmosphere (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang