24. Double Date

1.2K 81 3
                                    

"Kenapa harus dia dari sekian banyaknya perempuan yang tuhan ciptakan?"

Jantungnya berdetak lebih cepat seperti biasanya. Gaun selutut yang ia kenakan itu seolah menghadiri sebuah pesta saja. Tapi kali ini, Vey ingin membuktikan dia cukup anggun sebagai wanita untuk lelaki yang telah mencampakkannya itu. Pandangannya terus mengitari seisi restoran Italia yang dimasukinya itu.

Sial memang. Kenapa hpnya harus disita, padahal hari ini adalah hari penting untuknya. Untung saja, tempat mereka janjian adalah tempat biasa mereka datangi saat masih pacaran dulu. Tapi satu hal yang Vey lupakan, waktu janjian mereka itu jam berapa sebenarnya? Maka dari itu dia sudah datang sedari jam satu siang disana. Sadar. Akan usahanya untuk menjadikan Prince Charming sebagai partnernya itu sangat sulit. Bodohnya lagi, kenapa dia bisa sampai salah perkiraan seperti itu. Jadikan, dia berakhir memperjuangkan yang sia-sia. Tapi untuk hari ini dia ingin berpikir positif tentang segala hal. Karena pada akhirnya Vey akan mengakui kenyataan saja seperti saran Irma kemarin.

Tin,

Tin,

Suara klakson bersahutan disampingnya. Arah pandang Vey pun teralih ke jendela besar disampingnya yang berhadapan langsung dengan jalanan padat disana. Tampaklah kemacetan akibat lampu merah yang cukup lama. Sekembalinya ia pada situasi didalam restoran. Tampaklah disudut kemacetan itu sebuah mobil hitam tampak membuka sebelah jendelanya. Seseorang yang duduk dibalik kemudi mobil itu tampak menatap ke arah Vey. Namun sayang, gadis itu tidak menyadarinya.

"Apa gue pesen makan dulu yah?" gumam Vey pada dirinya sendiri.

Namun, baru saja beranjak. Seluruh tubuhnya membeku melihat sepasang kekasih diambang pintu restoran itu.

Mereka bukan orang yang gue tunggu.. Vey mengelus dadanya sendiri.

Kata hatinya itu sirna sudah, saat tatapan sepasang kekasih itu memandang kearahnya. Kedua tangan Vey kembali lemas. Seolah seperti drama langkah semua orang disekitarnya melambat begitu pun dengan kedua orang yang melangkah mendekat. Sesak. Pedih. Apa tidak cukup untuk menggambarkan Vey yang muak, ingin segera meninggalkan kenyataan didepan matanya itu.

"Apa kabar?" suara berat itu menariknya ke dunia nyata.

Tubuh Vey terduduk memandangi mereka tanpa berkedip.

"Kamu mau duduk?" kini suara berat itu beralih ke gadis yang menggandengnya sedari tadi. Gadis itu mengangguk sebagai jawaban. "Rok kamu pendek." tukas lelaki yang dikenal Rendi itu menutup lutut gadis disampingnya itu dengan jaket.

Dulu kamu juga begitu.. Pikir Vey langsung, seolah ia melihat reka adegannya dengan lelaki itu dulu.

"Gue tadi kerumah lo." jelas Rendi membuat Vey tercengang.

Dahi Vey berkerut seketika, "ngapain lo ke rumah gue?"

Rendi memandang Vey sejenak, "waitres.." panggil cowok itu tampak sedikit menyebalkan bagi Vey. "Guru lo bilang hp lo disita kan kemaren, perasaan lo juga ada.."

Senyum tipis terukir begitu saja, "sama dia?"

"Siapa lagi?"

Vey melirik gadis disamping Rendi yang tak kalah tajam menatapnya.

"Apa kabar?" gadis itu Sheila. Sekali lihat saja Vey tahu, dia sahabat dekatnya.

"Menurut lo?" tanggap Vey sinis.

Rendi tertawa kecil, "jadi ini cara lo memperlakukan pacar gue?"

Entah kenapa. Bibir Vey berubah keluh seketika, kata-kata itu membekukkannya. Sesak. Vey tak bicara. Dia membiarkan kedua orang dihadapannya itu memesan menu seraya bermesraan. Separuh tangannya memeras gaun itu. Percuma. Tampil berbeda disini, Rendi tidak akan memujinya seperti dulu. Kini sudah ada gadis yang menggantikannya, yaitu sahabatnya sendiri.

"Gimana?" tanya Rendi menatap Vey lekat. "Dia cantik-kan?" lanjutnya merangkul Sheila.

"Ah, kamu bisa aja." senyum palsu Sheila terasa menusuk, "aku sama dia cantik-kan siapa menurut kamu, yang?"

"Hm..kamulah!" jawab Rendi ringan mencubit pipi Sheila gemas.

"Bagaimanapun kenapa harus Sheila dari sekian banyaknya perempuan di dunia ini?" celetuk Vey tanpa sadar kedua matanya sudah berkaca-kaca.

Kedua orang dihadapannya terdiam. Sheila tersenyum sinis, "lo sama sekali nggak berubah yah?"

"Rendi, kenapa hidup lo selalu diantara gue sama dia? Cewek-kan banyak!" protes Vey lagi tidak mempedulikan Sheila.

"Lo buta yah?" Sheila kembali angkat bicara. Vey tak tahu, tangan Sheila dibawah sana sedang menahan tangan Rendi. Mengisyaratkan agar cowok itu tak angkat bicara.

"Rendi jawab gue." tatapan kedua mata Vey semakin datar.

"Veyla?" Sheila tak mau bungkam, "jelas jawabannya, gue lebih baik dari lo-"

"RENDI LO PUNYA MULUT NGGAK SIH?!" suara Vey menyentak ke seluruh ruangan disana, Sheila berhasil memancing emosinya. Meski begitu, Vey masih mencoba kuat menahan airmatanya agar tidak jatuh.

"VEYLA!" gantian kini Rendi yang menggertak, "lo nggak denger, dia lebih baik dari lo?" bisik Rendi menghancurkan dinding pertahanan Vey.

Seisi restoran memperhatikan mereka. Apalagi sekarang tangis Vey pecah memekakan telinga. Sheila tersenyum sinis, masih menggenggam tangan Rendi erat.

Geram dengan senyuman itu. Vey beranjak mendekati Sheila, "heh! Apalagi sih, yang mau lo rebut dari gue, setelah nama baik gue, persahabatan kita, sekarang cowok disamping lo?" labrak Vey dengan suara yang masih jelas meskipun airmatanya jatuh semakin deras.

"Lo apa-apaan sih?" Rendi maju melindungi Sheila.

"Ya ampun Rendi, lo lupa? Lo sama kaya gue, kita sama-sama tahu gimana busuknya pacar baru lo--"

Plakk,

Sebuah tamparan Rendi berhasil mendarat dipipinya. Gadis itu bergetar menyentuh perih dipipinya yang mulai merah. Vey memandang Rendi tak percaya. Rendi yang dilihatnya sekarang, bukan Rendi yang dikenalnya seperti dulu lagi. Perih pun menjalar ke seluruh tubuh Vey. Sementara seisi restoran yang memperhatikan mereka diam seribu bahasa, mereka memperhatikan tanpa menolong Vey yang benar-benar merasa akan roboh ditempat itu juga.

Senyuman kemenangan Sheila kembali terukir. Vey hanya menggelengkan kepalanya. Mencoba sadar dari mimpi buruk yang terasa begitu nyata ini ditengah tatapan semua orang yang mencoba masuk ke dalam hatinya. Hancur. Pedih. Vey pun meninggalkan tempat itu dengan langkah lemah.

Vey tertawa kecil. Perjanjian double date bodohnya ini gagal total. Bahkan lebih menyakitkan dari halusinasinya sendiri. Tanpa sadar, kedua matanya pun sudah membengkak merah. Airmatanya tak mau berhenti. Sekuat apapun, Vey merasa menyesal menyakiti dirinya sendiri dengan memaksakan diri melakukan double date itu.

Srett,,

Sebuah pintu mobil terbuka disampingnya. "Masuk! Jangan nangis diluar!" suara berat dari dalam mobil sport itu mengalihkan perhatian Vey.

Gadis itu pun mendekat, memandang ke dalam mobil. Entah, bad mood Vey pun segera mereda. Menyadari seseorang yang tengah memandangnya dari balik kemudi itu. Seseorang yang tanpa harus bersusah payah, kehadirannya saja sudah mampu mengganti seluruh nafas beratnya menjadi lebih ringan.

***

Hai 👒maafkan author yg selalu lambat up ini✌

The Prince Ice And ITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang