Dina keluar dari kelasnya lalu langsung berlari mengikuti langkah kaki Calvin. Calvin memang sudah menghilang dari lorong, namun Dina tau tempat dimana Calvin berada. Ia sampai di depan ruang musik lalu mendorong pintunya keras-keras.
Calvin yg sedang memainkan sexsophonenya mendadak berhenti. Ia menatap Dina yg kini juga menatapnya dengan nafas sedikit tersengal.
"Din, lo kenap--"
"Sampe kapan lo mau boongin diri lo sendiri?" potong Dina keras. Ia tidak mempedulikan nafasnya yg masih tersengal.
Calvin mengkerutkan dahi melihatnya. "Boong soal apa? Gue gak ngerti," jawabnya seadanya.
"Sampe kapan lo mau nahan semua perasaan lo sama Kiara?! Sampe kapan cal?!" bentak Dina marah.
Ia memandang sahabat karib yg berada di depannya ini dengan pandangan marah dan tidak percaya. Sahabat? Iya sahabat. Calvin itu sahabatnya dari kecil sekaligus sodara jauh Dina. Mereka memang tidak terlalu banyak berbicara lagi sejak nyokapnya Calvin meninggal tiga tahun yg lalu. Karena sejak saat itu Calvin menutup diri dari semuanya. Sahabatnya itu lebih memilih memendam semua perasaannya sendiri ketimbang berbagi dengan orang lain. Bahkan pada Dina yg begitu dekat dengannya cowok itu pun menutup diri. Menutup dengan sangat rapat sehingga tidak ada satu pun celah yg terlihat.
Perasahabatan mereka berdua juga tertutup. Tidak diketahui orang lain kecuali Dion dan Revan yg memang sahabat mereka dari kecil juga.
Lagi-lagi Calvin mengkerutkan dahinya. Ia meletakkan sexsophone yg dipegangnya kembali pada casenya, lalu berjalan kearah Dina.
"Lo kenapa sih, din? Lo ngomong apa? Siapa yg suka sama Kiara?" tanya Calvin runtut. Ia menatap Dina dengan pandangan lemah.
"Please jangan pura-pura lagi, cal! Berenti nyakitin diri lo sendiri!" teriak Dina frustasi. Ia tidak menyangka Calvin beracting sejauh ini hanya untuk menutupi perasaannya.
"Nyakitin apa sih, din? Gue baik-baik aja," kata Calvin perlahan. Ia memegang kedua bahu Dina erat. "Mungkin lo perlu cerita ke gue tentang pera--"
Dengan cepat Dina menepis tangan Calvin. Jarinya menunjuk dada Calvin dengan marah. "Lo yg harusnya cerita ke gue! Lo cinta kan sama Kiara?! Terus kenapa lo bego biarin Rio ngambil alih semuanya?! Hah?!"
Lagi-lagi Dina berteriak. Nafasnya naik turun karena emosinya mulai naik. Ia menatap Calvin dengan tajam dan menuntut. Airmatanya sudah mulai menetes melihat sahabatnya yg paling berarti di hidupnya bersikap seperti ini.Menuntut penjelasan dari semua yg terjadi hari ini. Kenapa? Kenapa Calvin masih saja tega membohongi perasaannya sendiri?! Masih saja menyiksa dirinya sendiri dengan menahan semuanya?!
"Lo gak tau apa pun, Din," gumam Calvin dingin. Ia membalikkan badannya lalu duduk di belakang drum. Ia memukulkan stiknya pada drum itu keras-keras.
Dina menghampiri Calvin lalu berdiri di sebelahnya. "Gue gak tau apa pun?! Gue kenal lo, cal! Kita temenan enggak setahun dua tahun, tapi hampir delapan belas tahun. Terus lo masih bilang gue gak tau apa pun?!" bentak Dina marah.
Calvin berdiri lalu menatap Dina dengan tatapan menantang. "Gue gak suka sama Kiara. Gue benci sama dia! Puas?!"
Dina perlahan menjauh sambil menggelengkan kepalanya. Matanya yg sudah memerah menatap Calvin dengan tajam. "Gue tau yg sebenernya, Cal. Lo sayang sama Kiara. Lo pengen ngelindungin dia dari Rio. Dari awal gue udah tau semuanya. Gue liat sendiri, cal! Lo emang gak mau nanggepin semua fans lo, tapi Kiara? Dia satu-satunya cewek yg lo tanggepin. Bahkan gue bisa liat di mata lo ada rasa peduli. Tapi kenapa lo masih begini?!"
Dina kembali terisak. Ia menenggelamkan kepalanya pada kedua tangannya. Hatinya perih. Sakit. Seperti tercabik-cabik rasanya saat melihat sahabatnya itu mati-matian berbohong dengan perasaannya sendiri. Hatinya bagai ditusuk belati melihat Calvin seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
It's Always Been You
Teen FictionKita ketemu tanpa sepotong rasa yg berarti. Sama-sama tidak peduli pada masing-masing hati. Hingga semua terjadi dan membuat aku tidak bisa memungkiri bahwa aku telah jatuh hati. Padamu yg (mungkin) takkan bisa terganti...