☕ ~ 14

555 35 2
                                    

Terdapat tiga buah ranjang pasien yang tidak terlalu besar, serta gorden bewarna biru menjadi pemisah antara ranjang pasien lainnya. Lemari penyimpan obat-obatan tergantung di tembok berdekatan dengan meja tempat menaruh dispenser dan buku catatan obat.

Tercium bau obat-obatan yang cukup menyengat, tak membuat Risha menghentikan aktivitasnya mengobati David yang duduk di hadapannya. Mengusap perlahan dahi David dengan kapas yang sudah diberi alkohol, begitu pula dengan bibirnya, tepatnya di bagian bawah bibir.

"Kenapa, lo malah ngeladenin kaka kelas itu, sih, Vid?" 

Setelah menjelaskan semuanya kepada Risha, David dipaksa Risha ke UKS.

Menghela napas, David menatap tepat ke mata Risha yang menunjukkan betapa khawatirnya dia. "Gue gak mau liat orang dibully lagi!" Menghentikan gerakan pada tangannya, Risha diam melihat David meringis menahan sakit.

Risha melanjutkan kembali kegiatan yang sempat tertunda, menatap intens luka David. "Terus kenapa tangan lo, bisa gini?" tanyanya tanpa membalas perkataan David.

Mata David memandang wajah Risha yang sedang merunduk membersihkan tangannya dari darah. "Ini bukan darah gue," ucap David membuat Risha langsung menegakkan kepalanya.

"Terus?" Membulatkan matanya, Risha berucap, "jangan bilang ..."
Membuka mulutnya, Risha masih terus memperhatikan David.

"Iya," kata David.

Mengatupkan mulutnya, pandangan Risha menusuk mata David.

"Gue yang nonjok dia," lanjutnya menghiraukan tatapan tajam dari Risha.

Risha mengalihkan matanya antara kesal, marah, dan kecewa. Menghela napas pelan, ia kembali menatap David. "Apa lo, gak bisa berubah, Vid?!"

Yang ditanya hanya diam tak menyahut, memilih berdiri dan merundukkan kepalanya. Memandangi Risha yang hanya sebatas bahunya. "Gue usahain." cowok itu tersenyum tulus. "Makasih, Ris."

Merasakan detak jantungnya yang tak beraturan, Risha melihat David bergerak menjauhinya.

"Gue cabut dulu, kayanya gue bakal dipanggil BK lagi," ujarnya dan kembali melangkah 'kan kakinya.

Masih berdiri kaku di tempatnya, Risha diam tak bergerak. Hanya suara debaran jantungnya yang bersahutan. Menghela napas pelan, ia menetralkan detakan jantungnya terlebih dahulu.

"Gue, kenapa?" Pikirnya, mencoba menghilangkan perasaan aneh yang timbul di hatinya. "Terlalu khawatir?!"

***

Ruangan 10 x 10 meter itu didesain minimalis dan tampak sederhana. Kesan luas yang terlihat menjadi nilai tambah, adanya sofa serta sepasang kursi dan meja yang berhadapan. Pendingin AC membuat ruangan yang tidak terlalu besar menjadi lebih sejuk.

Kursi itu diduduki seseorang, begitu pula yang ada di hadapannya. Dua orang itu duduk berhadapan dengan meja menjadi penengah.

"Vid, lagi-lagi kamu. Pasti masalahnya tentang berantem lagi 'kan?!" Lelaki yang masih terlihat muda itu memandang David yang tengah menatapnya juga.

David mengangguk, mengiyakan perkataan guru BK itu.

Menghela napas, guru itu berucap, "Saya kasih kamu poin 30, kalo poin kamu udah dua ratus kamu harus pindah." Berhenti sejenak ia melanjutkan kembali, "Poin kamu sekarang 190, tapi saya rasa kamu gak akan dipindah 'kan."

David terdiam sejenak.

"Orang yang berantem sama saya, juga harus dikasih poin." ujar David membalas ucapan gurunya.

You Are ProofTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang