☕ ~ 22

52 8 6
                                    

Warning! Terdapat kekerasan pada chapter ini.



Kringg kringg kringg

Suara bunyi bel pulang sekolah memekakkan telinga bagi siapapun yang mendengar. Membuat para siswa langsung berhamburan menuju pintu gerbang.

"Gue balik duluan, ya, Ris. Lo, jadi, kan ke lapangan basket buat deketin si Raka?" tanya Lintang, teman sebangkunya.

"Jadi, lah. Harus," ucap Risha optimis.

"Oh, iya. Lo, ntar malem mau ke rumah sakit? Menurut gue mending gausah. Lo, gausah berhubungan sama David lagi. Dia itu bad boy, Ris. Meskipun ganteng, sih. Tapi tetep aja, gue takut lo, kenapa-napa."

"Tang, David baik, kok. Gak sejahat yang lo, kira."

"Yaudah, deh ... intinya lo, kalo ada apa-apa harus cerita ke gue."

"Iya, Tang. Makasih, ya," ujar Risha sambil tersenyum.

"Gue balik duluan, ya. Semangat, Ris buat ngeluluhin kutub es. Kabarin gue kalo lo, dapet nomer teleponnya," ucap Lintang cekikikan.

Risha hanya tersenyum geli mendengarnya. "Dasar, pecinta cogan tingkat akut," ucapnya.

Mereka berdua sama-sama melambaikan tangan. Lintang langsung pulang ke rumahnya. Sedangkan Risha setelah selesai membereskan buku, dia dengan segera pergi ke lapangan basket yang terdapat di belakang sekolah.

Sesampainya di sana, Risha melihat sekelompok orang yang lagi bermain basket. Terlihat Raka sedang mendribble bola. Cowok itu sangat fokus saat latihan. Matanya menatap terus ke arah benda bulat itu. Risha berdiri di samping lapangan basket. Tidak terlalu jauh dari tempat mereka latihan.

"Eh, ngapain lo, kesini!"

Tiba-tiba saja terdengar suara cempreng yang masuk ke indra pendengarannya. Langsung saja Risha membalikkan badan. Ditatapnya cewek yang memanggilnya tadi. Karin, batinnya.

"Lo, mau caper, ya sama Raka!" serunya lantang.

"Enggak, kok. Gue cuma pengen ngeliat tim basket latihan," ucap Risha sambil melihat mereka berlima. Karin, salah satunya.

Yap, Karin dengan teman-temannya.

"Halah, bohong. Palingan lagi ngeliatin Raka," ucap perempuan berambut pirang, kuncir kuda. Salah satu bestie-nya Karin.

Karin maju selangkah. Mengikis jarak diantara dirinya dan Risha. Dengan gerakan cepat cewek itu langsung mendorong tubuh Risha dengan kedua tangannya.

Bruukkk

Risha terjatuh. Mendadak Karin mendorongnya.  Dia tidak sadar jika sekretaris Raka menekan bahunya sampai bokongnya menyentuh tanah.

"Apa-apaan, sih," ucap Risha spontan.

"Gue udah bilang berkali-kali ke, lo. Jangan pernah deketin Raka. Tapi apa?! Lo malah kesini ngeliatin Raka main basket," bentak Karin, "yang boleh caper ke Raka, tuh cuma gue, KARIN," lanjutnya. Menekankan dengan jelas perkata pada namanya sendiri.

Risha berusaha berdiri, namun cewek berambut pirang tadi mencegah bahu Risha menggunakan kakinya.

Sontak saja Risha memegang dan menyingkirkan kaki itu dari bahunya. "Apaan, sih, lo! Gak sopan banget jadi orang," bentaknya tak terima seragam putihnya menjadi kotor.

Tiba-tiba rambut Risha yang diikat satu ditarik ke atas oleh Karin. "Aduh, aduh ... sakit," rintihnya sambil memegangi rambut. Rasanya seperti ingin putus dari akarnya.

Risha berdiri perlahan mengikuti arah tarikan rambutnya. Sakit banget, batinnya. Risha tidak bisa melawan mereka semua. Terlalu banyak, dia hanya sendirian.

Karin tetap menjambak rambutnya. Rasa perih menjalar di kulit kepala Risha.

"Jangan caper lo, jadi cewek. Apalagi ke Raka! Raka itu cuma punya gue. Gaada yang boleh ngasih perhatian ke Raka selain gue!" teriak Karin di depan muka Risha.

"Emang cuma, lo yang punya urusan sama Raka! Dia tuh ketua OSIS. Gak cuma lo, doang. Lo, tuh gabisa profesional jadi sekretaris. Kerja ga bener. Bisanya ngebully orang." teriak Risha tak kalah kencang. Seumur-umur dia tidak pernah di keroyok seperti ini.

Mata Karin melotot mendengarnya. Tangannya semakin kencang mencengkram rambut hitam Risha. Cewek itu meringis kesakitan.

"Tau apa, lo tentang gue. Ngaca jadi orang! Ekskul, lo aja ga pernah diurus," ucap Karin kesal.

Karin melirik ke belakang. Menatap teman-temannya. "Hajar aja nih, lonte. Ganggu hubungan gue sama Raka!"perintahnya.

Detik itu juga mereka mengambil alih tempat Karin lalu mendorong Risha dengan keras. Risha dipukul ramai-ramai. Kedua tangannya dipegang dua orang di antara mereka agar tidak bisa memberontak. Mulutnya ditutup oleh kain putih polos. Dua orang lainnya menampar Risha, menjambak, dan menendang kaki perempuan yang tertindas itu.

Karin hanya menonton. Senyum kemenangan tercetak jelas di kedua sudut bibirnya.

Risha mengaduh menahan pukulan, tamparan, dan tendangan itu. Dia ingin berteriak, tapi suaranya tertahan akibat benda putih polos yang kini ada di mulutnya. Entah darimana mereka mendapatkan,nya.

Rasa perih dan panas terasa di pipi Risha. Kakinya yang kecil terasa sangat sakit ditendang menggunakan sepatu olahraga mereka. Dia ingin berseru kencang. Jarinya memegang angin dengan sangat keras, ia menggigit bibir bawahnya. Menahan rasa sakit yang dirasakan.

Cairan hangat bewarna merah mengalir dari sudut bibir Risha. Darah merembes dari kain itu.

Mata Risha melihat sekeliling. Tak adakah yang menyadari dia dibully seperti ini? Pandangannya melihat ke arah lapangan basket.  Tidak ada yang memperhatikan, nya. Netra matanya jatuh menatap lekat oniks hitam itu. Cowok dengan rambut hitam, perawakan tinggi sedang menengok ke arahnya. Raka melihatnya. Mereka saling bertatapan. Lima detik. Tidak lama memang, tapi lelaki itu mengetahui jika Risha disini dengan keadaan babak belur. Tidak ada ekspresi di wajahnya. Secuek dan sedingin itu, kah Raka? Apakah benar dia ketua OSIS? Ada siswi yang dibully di sini. Kenapa dia diam saja, malah melanjutkan latihannya.

"Udah, yuk. Bentar lagi latihan basket selesai. Gue mau nemenin bebeb Raka," ucap Karin centil. "Biarin aja dia. Gaakan ada yang mau nolongin," lanjutnya.

Mereka berlima meninggalkan Risha sendirian. Badan Risha meringkuk seperti bayi yang kedinginan. Matanya terpejam, menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Tulangnya terasa remuk.

Satu menit, dua menit, tiga menit.

Risha membuka matanya perlahan. Tangannya ia gerakan untuk membuka ikatan kain yang membekap mulutnya. Cewek itu berusaha bangkit perlahan. Dia tidak boleh lama-lama di sini. Angkot tidak akan ada jika kemaleman.

Risha berjalan tertatih tanpa menengok ke lapangan basket. Percuma, semua orang menutup mata atas kejadian ini. Termasuk cowok itu. Lelaki yang ia tunggu. Risha ada di sini karena Raka. Kalau bukan karenanya dia tidak mungkin seperti ini. Sudah pasti dia ada di rumah dan Karin tidak akan membully, nya. Jahat sekali Raka. Hanya bisa menonton dari kejauhan, batin cewek itu.

Lagi-lagi Risha menggigit bibirnya. Menahan tangis. Sakit sekali rasanya. Entah difisik ataupun batin. Tega sekali Raka, jahat banget semua orang.

Jari Risha mengenggam erat tali tas. Pusing melandanya. Pandangannya mulai kabur. Telinga Risha berdengung. Kaki cewek itu sudah tidak tahan menopang berat tubuhnya. Dia-pun jatuh terduduk. Napas Risha ngos-ngos, san. Risha meraup oksigen banyak-banyak. Mencoba untuk tetap sadar.

Pandangannya menatap ke bawah. Memejamkan mata sejenak, tetapi rasa pusing tetap menyerangnya. Membuka mata lambat-lambat, Risha melihat sepatu converse di depannya. Kepalanya perlahan ke atas ingin tahu siapa yang ada di hadapannya sekarang.

"Ra-ka," ucap perempuan itu lirih.






TBC.

You Are ProofTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang