☕ ~ 18

416 24 1
                                        

Ketikan keyboard menjadi alunan yang ada di dalam ruangan.

Hening. Tak ada suara.

Hanyalah suara ketukan keyboard yang saling bersahutan. Kedua orang yang berlawanan jenis sama-sama sedang mengetik laporan.

"Raka," ucap salah satu orang yang kini sedang berjalan ke arah cowok yang tadi ia panggil.

Raka, cowok itu hanya menatapnya sekilas.

"Udah, gue benerin, nih, laporannya." Cewek itu menaruh flasdisk di atas meja Raka.

Tangan Raka mengambil bendanya, lalu mencolokkannya di laptop. Mata Raka membaca tulisan-tulisan di hadapannya, meneliti satu per satu kalimat yang terpampang di laporan itu.

"Benerin lagi," ucapnya singkat.

"Tapi, gue udah nge-cek berkali-kali. Gak ada yang salah, kok, Ka."

"Cek, lagi yang bener."

Karin, cewek itu terdiam sejenak

"Yaudah, gua cek lagi. Tapi habis ini lo, makan bekel gua, ya. Gua udah bikin yang special buat, lo."

"Lo, ngerti tugas lo, kan?!"

Karin menghela napasnya pelan, ia sangat mengerti tugasnya sebagai sekertaris OSIS yaitu mebuat laporan dan tidak boleh salah kata bahkan penempatan tanda koma dan titik, jika salah laporannya tidak akan diterima, bisa saja dibuang, maka dari itu membuat laporan dan sejenisnya harus diulang-ulang sampai benar.

Padahal, niat sebenarnya Karin menjadi sekertaris OSIS agar cewek itu bisa dekat dengan Raka. Ia sudah membayangkan jika dia jadi anggota OSIS, tak menutup kemungkinan membuatnya bisa menjadi pacar Raka. Tetapi, nyantanya dekat dengannya saja tidak, apalagi jika bisa berada di hatinya.

***

Suara ketukan spidol di papan tulis menjadi melodi yang terdengar di kelas itu, deretan angka terpampang di papan tulis putih yang dilapisi kaca.

Bayangan wanita yang tengah menggoreskan angka tampak memantul di depan papan tulis berbentuk persegi panjang.

Bermacam rumus tampak di mata Risha, tatapan matanya fokus pada guru yang terlihat sedang menerangkan apa yang sudah ia tulis. Pelajaran matematika memang cukup sulit dengan beraneka ragam cara-cara untuk menyelesaikannya.

"Siapa yang ingin menjawab?"

Pandangan guru itu menyapu seisi kelas, menatap murid-muridnya yang sepertinya masih terlihat bingung.

"Kalau tidak ada yang mau maju, kalian semua lari lapangan sepuluh putaran!"

Semua murid tampak tegang, tapi mereka hanya bisa merundukkan kepalanya, takut dan tidak berani menatap wanita tua yang berada di depan. Berhadapan dengan mereka.

Risha masih fokus dengan tulisan yang ada di papan tulis, alisnya menukik, dahinya berkerut, otaknya mencoba untuk memahami rumus dan penjelasan yang tadi diberikan gurunya.

"Masih tidak ada yang mau maju," ucap guru itu. "Yasudah, sekarang kali-,"

"Saya, Bu," ucap seorang siswi, memotong perkataannya.

"Baiklah, Risha. Sekarang kamu maju."

Menganggukan kepalanya, cewek itu bangkit dari tempat duduknya dan melangkah ke depan.

Sebelum menulis jawabannya, Risha menatap angka-angka yang ada di hadapannya. Matanya melihat satu per satu rumus itu, memandang dari atas papan tulis sampai bawah.

Setelah mengerti, Risha mengambil spidol dan mulai menulis rumus yang ada di kepalanya. Guru itu masih menatapnya. Memperhatikannya dengan seksama.

"Sudah, Bu."

Risha memandang gurunya yang tengah melihat hasil dari pemikirannya. Wanita yang sudah lanjut usia itu megamati jawaban dari Risha secara teliti, matanya menyapu dari awal cara yang dipakai Risha menjawab sampai dengan selesai.

"Jawaban kamu benar, meskipun rumusnya berbeda dari punya saya. Tapi, malah lebih baik seperti itu, dapat menemukan rumus sendiri. Karena, MTK apapun rumusnya selagi hasilnya sama bereti benar," ucap guru itu menjelaskan. "Sekarang, kamu bisa duduk kembali," lanjutnya.

Semua murid bernapas lega, karena mereka tidak jadi dihukum oleh guru matematika yang memang killer. Untung saja ada Risha, kalau tidak, mereka pasti sudah berlari mengelilingi lapangan.

***

Setelah pelajaran selesai, Risha dan temannya duduk di samping kelas, sepanjang koridor. Mereka sedang membuat sesuatu seperti prakarya. Menggambar pola yang sudah dibuat, Risha menggunting kertas warna sesuai pola tadi.

"Ris, habis ini kita bikin apa lagi?" tanya salah satu teman Risha yang juga tengah menggunting pola.

"Habis itu, kita tempelin ke sterofoam terus kita namain bagian-bagiannya," ujar Risha menjelaskan.

Setelah itu, mereka mengerjakan apa yang sudah diberitahukan Risha. Membuat pola tubuh hewan dan bagian-bagiannya, itu termasuk tugas kelompok pelajaran biologi yang terdiri dari empat orang dengan Risha sebagai ketua kelompoknya.

Tiba-tiba HP Risha bergetar dan layarnya menyala, tanda pesan masuk. Melihatnya, Risha langsung mengambil gadget lalu membuka kunci layarnya.

From: Mata Panda

Lo, dimana? Gue nungguin lo, di depan gerbang!

Risha, pun mengetik balasannya.

Lo, duluan aja. Gue lagi kerja kelompok.

Send.

Setengah jam kemudian, mereka menyelesaikan tuganya lalu mereka semua pulang ke rumah masing-masing, kecuali Risha, ia masih ada urusan dengan seseorang dan menyuruh teman-temannya pulang duluan. Gue, harus ke lapangan basket dulu, ucapnya.

Dia ingin menemui Raka terlebih dahulu, karena tak lama lagi ekskul jurnal akan benar-benar dihapus. Maka dari itu, ia harus bisa meluluhkan Raka dengan begitu nilai B.Indonya tidak akan menurun.

Sesampainya di lapangan basket, Risha tak melihat siapapun.

Kosong. Tak ada orang, hanya dirinya.

Netra matanya jatuh pada tiga buah bola basket yang terdapat di tengah-tengah lapangan. Mendekati benda itu perlahan, cewek itu tampak mengambil salah satu bola basket yang bewarna oren dengan garis putih yang mengelilinginya.

Kepalanya merunduk, memandang bola yang cukup berat berada di kedua tangannya, mengamatinya lekat-lekat. Kenapa masih ada bola basket di sini? Kan, udah gak ada orang. Batinnya bingung.

Suara sepatu mengalihkan pikirannya. Kepalanya menoleh ke samping, mendapati cowok yang sedang berjalan ke arahnya.

Tubuhnya mematung, kelereng hitamnya menatap orang yang kini tambah mendekat padanya, mengikis jarak di antara mereka.
Tangannya tetap memegang bola itu, bahkan pegangannya lebih kencang dari sebelumnya. Tatapannya masih fokus memerhatikan cowok yang hanya berjarak satu langkah darinya.

Cowok itu mencondongkan tubuh ke arahnya, kepalanya merunduk. Terlihat jelas rambutnya yang bewarna hitam pekat. Tangannya terulur ke bawah, mengambil bola basket. Badannya kembali ditegakkan, bola mata hitamnya menatap Risha sekilas lalu membalikkan badannya ke hadap ring.

Risha masih berdiam diri, menatap cowok yang tingginya melebihi tinggi badannya. Hidungnya mancung jika terlihat dari samping, tatapan matanya ke depan, menatap ring.

"Raka," ucap Risha memanggil cowok itu.



TBC.

You Are ProofTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang