Bagaimana Selanjutnya?

3.2K 344 12
                                    

Aku tak bisa mengatakan apa-apa setelah Earth juga mengatakan kalau ia menyukaiku. Aku terkejut. Aku kira selama ini ia hanya menggodaku.

Kemudian ia mendekat dan menciumku. Menepis jarak di antara kami. Aku masih sangat terkejut. Jantungku tak berhenti berdetak, malah semakin kencang. Earth benar-benar membuatku...gugup.

Aku pun membalas ciumannya dengan menggigit bibir bawahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku pun membalas ciumannya dengan menggigit bibir bawahnya. Ia mendesah lalu mengeluarkan lidahnya untuk menyusup ke dalam dan mencari lidahku hingga kamu berpagutan. Ia menyesap dengan sangat dalam. Aku hanya melenguh sambil terus mengimbanginya. Napasku semakin memburu. Earth menghentikannya. Aku ngos-ngosan. Gila. Kemudian Earth tersenyum padaku.

 Kemudian Earth tersenyum padaku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Itu tadi ciuman pertamaku." ucapnya.
Kemudian ia berdiri. Aku hanya tersipu. Ketahuilah, tadi itu juga ciuman pertamaku, Earth.
"Di mana handuknya?" tanyanya padaku.

"Akan kuambilkan." aku membuka lemari dan mengambilkan handuk bersih serta kaos yang belum pernah dipakai.

Aku menyerahkan handuknya.

"Apa kau ingin mandi bersama?" kaos yang masih ada di tanganku terlepas tanpa sadar. Earth!

"Emm...kurasa lain kali saja." aku tak menjawab tidak. Ia hanya tersenyum ambigu. Tak dapat diartikan. Sial, Earth! Kau menggodaku!

"Baiklah. Aku ke kamar mandi dulu." ia mengambil kaos yang terjatuh tadi lalu masuk ke dalam kamar mandi.

Oh astaga, apa yang terjadi padaku? Aku harus mengontrol diriku.

Setelah selesai mandi, aku dan Earth berbaring di kasur.

Tak ada hal lebih. Kami saling menghargai untuk tidak melakukan hal yang...buruk (?)
Lagipula kami masih tujuh belas tahun. Belum cukup umur. Aku biasanya melihat warning 18+. Dan kami belum memenuhi persyaratannya.
Tunggu, perlukah persyaratan untuk itu?

Ah, entahlah. Aku tak mau memikirkannya. Yang jelas sekarang aku berbaring di atas kasur bersama Earth. Jantungku tak berhenti berdegup kencang karenanya.

"Sun..." ucapnya memecah pikiranku.

"Khap?" aku menoleh ke arahnya.

"Aku mencintaimu." katanya. Kemudian mengacak rambutku.

Aku merona.

"Aku juga mencintaimu, Earth."

"Terima kasih." ucapnya lagi.

"Untuk?"

"Untuk telah mencintaiku." ia menghela napas. "Aku takut kalau perasaanku tak terbalas." ia terkekeh. Aku pun tersenyun.
"Kau sangat manis, Sun."

"Terima kasih." tanggapku.

"Untuk?"

"Untuk segalanya. Tapi yang terpenting, terima kasih sudah mewarnai tahun terakhirku di SMA." aku tersenyum.

Ia merengkuhku. Aku bersandar di tangan kirinya. Membenamkan kepalaku ke dalam dadanya. Sangat nyaman.

"Sun..." panggilnya lagi.

"Eum?"

"Boleh aku tanya sesuatu?"

"Anything, Earth."

"Mengapa kau berhenti bermain piano?"

Aku menghela napas panjang.
"Aku membencinya."

"Mengapa begitu?"

"Sebenarnya dulu aku sangat suka bermain piano. Bahkan aku merasa bahwa piano adalah hidupku. Tapi suatu ketika, saat aku akan ikut sebuah lomba, mama mengenalkanku dengan guru privat piano. Pada awalnya aku suka. Tapi ia terus menyuruhku lebih dan lebih. Aku tidak suka itu. Aku bermain untuk kesenangan. Ia memaksaku mengikuti not, memukul tanganku saat aku salah, dan mengatakan kalau permainanku bodoh, kurang cepat, dan lainnya. Aku membenci itu." aku merasakan emosi kembali. Tapi Earth menenangkanku dengan mengelus pelan rambutku.

"Jadi alasan kenapa kau takut dengan La Campanella adalah..."

"Ya. Saat itu musik yang akan aku mainkan adalah La Campanella. Permainanku kurang cepat kata guru privatku itu. Jadi setiap kali aku mendengar lagu itu aku merasa ketakutan. Aku mengingat kejadian di mana tanganku dipukul, aku diteriaki, dipaksa, bahwa aku bodoh, kurang cepat, dan lain sebagainya." aku menjelaskannya.

"Aku mengerti. Sekarang kau tak perlu takut. Itu hanya masa lalu, Sun." Earth mengecup keningku.

Aku sangat berterima kasih karena ia membuatku nyaman.

"Tapi, Sun...apakah kau tidak ingin mencoba bermain piano lagi?"

Aku tak menjawab.

"Aku bisa mengajarimu perlahan. Dan keluar dari ketakuatan masa lalumu."

Sejenak aku berpikir. Ada benarnya juga. Aku tidak boleh terperangkap dalam masa lalu itu.

"Bagaimana?" tanyanya lagi.

"Baiklah. Bisa kita coba. Asal yang mengajariku itu kau, Earth." aku tersenyum manis. Ia mencubit pipiku.
Kemudian aku memeluknya erat dan tidur salam dekapannya. Sangat nyaman.

My Lovely Pianist [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang