Mama tersedak dan menatapku tajam. Aku tak tahu apa yang akan terjadi. Mungkin mama akan sangat marah padaku. Tapi...
Mama menangis.
Ambigu.
Mungkin ia kecewa padaku.
Kemudian ia pergi ke kamarnya dengan alasan lelah. Aku hanya duduk terpaku di ruang makan. Bodoh! Bahkan aku belum yakin Earth akan menerimaku. Kenapa aku harus memancing mama dan membuat keadaan menjadi seperti ini? Mama pasti sangat kecewa padaku.
Keesokan harinya aku bangun dan menuju ruang makan. Di sana mama memasak sesuatu untuk sarapan kami. Rasanya sangat canggung karena kejadian kemarin. Apa yang harus kulakukan?
Tak ada kata-kata.
Hanya hening.
Hingga aku berangkat sekolah dan sampai di gerbang, masih tak ada kata-kata. Mama...kecewa padaku?
Saat hendak masuk ke kelas, aku melihat Nick bertengkar dengan perempuan yang kulihat tempo lalu. Aku tak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan, tapi aku bisa melihat bahwa perempuan itu menangis dan mendorong-dorong Nick. Apa yang terjadi? Ah ya, mungkin ini berkaitan dengan Cho? Kemarin Earth buru-buru menemui adiknya itu setelah sekali telepon. Apa yang sebenarnya terjadi?
Bel masuk pun berbunyi.
Mrs. Jeane memberikan informasi bahwa aku akan mengikuti olimpiade sains nasional (OSN) bulan depan. Dengan itu, setiap pulang sekolah aku harus mengikuti bimbingan mulai hari ini.
Aku tak melihat Earth seharian ini. Ah, mungkin ia juga sudah pulang karena hari sudah larut. Aku baru saja menyelesaikan bimbingan OSN pertamaku. Sangat melelahkan.
Aku pun pergi ke halte untuk mencegat bus. Tak ada alternatif lain. Mama pasti sudah pulang.
Tapi, lagi-lagi aku bertemu dengannya. Earth. Sebuah ketidaksengajaan yang berulang disebut takdir, bukan begitu?
"Hai, Sun!" sapanya dengan nada khasnya.
"Earth! Kau belum pulang?" aku berdiri. Ia turun dari sepedanya dan berjalan ke arahku.
"Aku baru selesai latihan basket. Kau tahu kan, bulan depan aku harus mengikuti lomba?"
Aku mengangguk pelan.
"Kau sendiri?" tanyanya.
"Aku mengikuti bimbingan untuk OSN bulan depan." ia hanya mengangguk paham. Mungki ia sudah tak heran lagi karena telah tahu kemampuan akademisku.
"Ayo, kuantar pulang!" ia menarikku.
"Tapi Earth...rumahku kan..."
"Tidak apa-apa. Ayo!"
Lagi-lagi ia memboncengiku. Seakan seperti kebiasaan. Seakan seperti candu. Aku menyukai ini.
Setibanya di rumahku, mama menyuruh Earth untuk makan malam bersama. Tanpa penolakan. Katanya. Aku yang masih canggung dengan mama karena kejadian kemarin tak bisa mengatakan apa-apa.
"Oh, jadi ini temanmu, Sun? Siapa namanya?"
"Saya Earth, tante." jawab Earth.
"Terima kasih ya sudah mengantar Sun pulang. Kamu baik sekali."
"Tidak masalah, tante."
Kami sudah di meja makan.
"Ma, seperti yang aku katakan tadi di telepon, Mrs. Jeane menyuruhku mengikuti OSN bulan depan." ucapku membuka pembicaraan.
"Bagus dong, sayang. Kamu pasti bisa."
Aku hanya tersenyum.
"Jika itu keputusan kamu, mama mendukungmu...daripada menjadi pianis seperti yang mama inginkan..."
"Mama..."
"Sun, kau pernah menjadi pianis?" Earth penasaran.
"Dulu Sun sangat suka sekali bermain piano. Sampai akhirnya mama mencarikan guru privat karena suatu lomba. Tapi...entah kenapa Sun tidak mau lagi melanjutkannya." mama menjelaskan dan menatapku penasaran.
"Itu karena..."
"Tidak apa-apa sayang." mama memotongku. Mungkin Earth menjadi semakin penasaran.
"Ma, Earth itu seorang pianis, loh!" aku berseru, mengalihkan perhatian.
"Benarkah? Wah, kebetulan piano di sebelah itu jarang sekali berbunyi. Kau mau memainkan sebuah lagu, Earth?"
Earth menggaruk tengkuknya.
"Ayolah..." pinta mamaku.
Earth pun berjalan menuju piano dan bersiap memainkannya.
Symphony No. 9 Movement 4, karya Beethoven yang dimainkan Lizst.
Mengesankan.
Mama hanya kagum tak percaya melihat permainan Earth yang sempurna itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Pianist [END]
Fiksi Remaja"Kenapa kau terus menatapku?" "Tidak, aku tidak menatapmu, untuk apa aku menatapmu..." "Benarkah?" "Be..be..be..benar..." "Lalu kenapa kau gugup? Kau menyukaiku? Kau gay?" *** Hai halooo, ini adalah cerita terbaru KevNamja...yeay! Jangan lupa vote...