Aku Tak Bisa Bicara

4K 384 15
                                    

Aku telah kembali ke rumah. Aku masih tak percaya kalau Nick pacaran dengan Cho, adiknya Earth. Dan Cho memintaku untuk bicara dengan Nick. Astaga, aku kan tidak sedekat itu. Meskipun satu kelas, kami tak seakrab itu. Aku kan tertutup dan nggak bisa bicara pada sembarang orang. Di kelas aku selalu menyendiri.

Tapi...apa aku harus bicara dengan Nick? Tidak, tidak, tidak penting juga bagiku. Untuk apa? Nggak ada gunanya. Lebih baik aku belajar, atau istirahat dan mendengarkan musik klasik.

Keesokannya di sekolah. Aku baru saja selesai merangkum beberapa bab penting pelajaran biologi di perpustakaan. Aku harus segera kembali ke kelas karena pelajaran berikutnya akan segera dimulai.

Saat aku melewati lorong kelas, aku melihat Nick dan salah satu teman sekelasku, perempuan, sedang berbicara. Kurasa mereka cukup dekat. Mereka bercanda seakan lupa bahwa sekarang saatnya pelajaran matematika. Tunggu, mereka sedekat itu? Lalu...ah, Cho? Apa aku harus bilang pada Earth tentang ini?
Ah entahlah, apa peduliku. Aku nggak mau ikut campur. Ini akan rumit. Aku tidak suka membawa diriku pada masalah. Lebih baik aku diam. Positif thinking aja, mungkin Nick dan teman sekelasku itu hanya berteman dekat. Sama seperti aku dan Earth.

Tunggu, aku dan Earth berteman dekat? Sejak kapan?

Sepulang sekolah, Earth mengajakku ke gudang itu lagi. Untuk mendengarkannya bermain piano. Kuakui, Earth adalah pianis yang hebat. Aku tak menyangkanya.

Kali ini ia memainkan lagu yang paling aku...takuti. La Campanella.

Aku mundur.

Air mataku menetes.

Aku terduduk.

Ingatanku tentang masa lalu berputar seperti rekaman video yang terekam jelas di otakku.

.

.

"Lakukan lebih cepat!"

"Perhatikan gerakan tanganmu!"

"Ini, ini, ini, tekan telunjukmu!
Kenapa kau begitu bodoh?"

"Kau memainkan nada yang salah!"

Tanganku dipukul dengan tongkat kayu yang selalu dibawanya.

Aku menangis.

"Aku tak mau! Aku benci bermain piano!"

.

.

Aku sesenggukan. Melihat itu, Earth menghentikan permainannya dan mendekat ke arahku.

"Sun, kau tak apa? Kau kenapa?" tanyanya bingung.

Aku hanya menggeleng pelan sambil terus mengatur napasku.

"Apa kau tidak suka dengan permainanku?" ia mengusap air mataku.

Aku masih tak menanggapinya.

Kemudian ia memelukku.

Aku masih linglung. Ingatan itu...muncul kembali. Aku tak kuat menahan tangis, dan akhirnya tangisanku tumpah dalam pelukan Earth. Aku tak bisa mengontrol diriku saat itu. Aku gemetar hebat. Aku takut akan ingatan itu.

"Tenanglah, Sun. Aku di sini. Kau bisa menceritakannya padaku." ia masih terus mencoba menenangkanku.

"Berjanjilah agar kau tak memainkan La Campanella lagi..." dengan sesenggukan aku melepaskan pelukannya dan menatapnya.

"Baiklah." ia memegang kedua pipiku. "Sekarang lebih baik?"

 "Sekarang lebih baik?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku mengangguk pelan.

Ia mengajakku kembali. Karena mama tak dapat menjemputku lagi, aku harus menunggu bus. Tapi kali ini Earth membawa sepedanya. Sepeda yang dicuci kemarin itu.

"Hai, Sun!" ia menghentikan kayuhannya dan berdiri di depanku yang sedang duduk di halte.
"Mamamu tak menjemputmu lagi?"

"Seperti biasa, ada pekerjaan tambahan katanya." aku masih duduk.

"Ayo ikut aku! Aku akan mengantarkanmu pulang." ia tampak semangat.

"Rumahku kan jauh..."

"Tak apa, kalau boncengan nggak akan terasa kok jauhnya. Ayo!" ia menarikku. Aku pun diboncengnya. "Siap?" aku mengangguk. Ia mulai mengayuh sepedanya.

Sudah lama aku tak bersepeda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sudah lama aku tak bersepeda. Mengapa bisa menyenangkan seperti ini? Aku tersenyum.

My Lovely Pianist [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang