Hari-hariku di sekolah menjadi tidak tenang lagi karena keberadaan Earth. Dia itu ancaman. Tapi, dia juga membuat masa sekolahku di tahun terakhir ini menjadi sedikit berwarna.
Hari ini adalah pengumuman hasil tryout pertama. Aku tak tertarik melihatnya. Sudah kubilang dari awal, aku tak begitu berorientasi pada nilai-nilaku. Aku hanya ingin punya teman. Ya, sesederhana itu. Selama ini aku tidak punya teman karena mungkin sifatku yang anti-sosial dan tidak bisa bergaul dengan orang baru. Sekali ada orang baru tanya kepadaku, aku pasti akhirnya akan membuatnya canggung. Ah, kenapa bisa begitu. Aku pintar dalam akademik, tapi begitu bodoh dalam pergaulan.
"Hai, Sun!"
Tak akan ada yang memanggilku seperti itu selain anak yang baru kukenal kemarin itu. Earth.Ia tampak berlari ke arahku dengan senyuman. Apa ia mendapatkan hasil tryout yang bagus? Kenapa ia begitu bahagia?
"Sun, kau hebat! Bagaimana bisa nilaimu sempurna? Semuanya 100!" ia memperlihatkan foto nilai yang diambilnya.
Aku mengedikkan bahu.
"Kau mendapat posisi pertama paralel di sekolah. Wah, kau harus mengajariku. Sebelumnya kau harus mentraktirku."
Aku tersenyum. "Bagaimana denganmu?"
Ia menggaruk tengkuknya. "Ah itu..." ia nyengir.
Aku mengambil ponselnya dan melihat daftar nilai itu.
"Earth... Apa aku tidak salah lihat? Kau di posisi lima terbawah? Lihat nilai matematikamu! 20?""Emm.. Itu.. Itu.. Aku belum belajar saja."
"Hmm.." aku hanya menatapnya miris.
"Ajari aku! Besok minggu kau harus datang ke rumahku!"
"Eh? Kenapa begitu?" elakku.
"Kita kan teman..." ia nyengir. "Jadi kau harus membantu temanmu yang sedang kesusahan ini. Oke?" ia hendak berlalu. "Tak ada penolakan!" tegasnya.
Hmm, iya Earth, iya, aku akan mengajarimu. Aku menggelengkan kepalaku pelan tak percaya bahwa aku bisa sedekat ini dengannya.
Pulang sekolah adalah waktu yang paling kutunggu. Aku bisa bersantai di kamar sambil mendengarkan musik klasik. Mama tak sibuk lagi, jadi ia menjemputku sekarang.
Aku bergegas ke gerbang depan untuk menunggu mama. Tapi saat melewati lapangan basket, aku terhenti.
Bukankah itu Earth?
Ia bermain basket bersama teman-temannya. Ia begitu antusias dan semangat, berlarian ke sana kemari mendribble bola. Aku masih memperhatikannya. Kenapa aku ini? Kenapa aku begitu penasaran dengannya?
Sial! Ia tahu kalau aku memperhatikannya.
"Hai, Sun!" ia melambaikan tangannya ke arahku. Aku terpaksa membalasnya dan tersenyum pias.
Ia berlari ke arahku. Ia ngos-ngosan. Keringat mengucuri seluruh tubuhnya. Aku tercekat, menelan ludah pelan.
Ia terseyum.
Kumohon Earth, jangan begitu. Aku khawatir kalau aku tidak bisa menganggapmu sebagai teman.
"Kau mau pulang?" tanyanya.
"Ya, mama sudah menjemputku."
"Ah, kukira kau akan pulang naik bus lagi."
Aku bingung mau menjawabnya apa. Begitulah aku. Selalu kehabisan kata-kata.
"Sun..."
"Eum?"
"Dari tadi kau menatapku ya? Kalau kau mau pulang, kenapa berdiri di situ?" ia tersenyum jahil. "Bagaimana? Apa kau sudah mulai menyukaiku?"
Deggg!
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Pianist [END]
Novela Juvenil"Kenapa kau terus menatapku?" "Tidak, aku tidak menatapmu, untuk apa aku menatapmu..." "Benarkah?" "Be..be..be..benar..." "Lalu kenapa kau gugup? Kau menyukaiku? Kau gay?" *** Hai halooo, ini adalah cerita terbaru KevNamja...yeay! Jangan lupa vote...