Prolog

439 22 3
                                    

Setelah sekian lama menutup diri, aku mulai berusaha bangkit dan menutup rapat masalah percintaanku yang bisa kubilang tidak ada yang bisa dibanggakan. Toh hanya masa lalu, buat apa dipusingkan terus menerus?

Oh iya, aku tumbuh di kalangan anak-anak super hits, (ingat ya supernya pakai huruf tebal) jadi mau tak mau aku cukup terbiasa beradaptasi dengan mereka tanpa terpengaruh sedikit pun oleh pergaulan mereka terutama bagian "percintaannya" yang berbanding terbalik dengan caraku dalam menjalin hubungan *ceile.

"Buat apa sih sedih terus-terusan Di? Toh masih banyak ikan di laut." seloroh Aninda siang itu.
Aku terkekeh. Dia tak tahu bagaimana sulitnya aku berusaha melupakan seseorang yang sempat mengisi hari-hariku. Walau norak, kalian pasti pernah merasakannya juga kan? Apalagi ini adalah pertama kalinya bagiku untuk menjalin komitmen bersama seorang laki-laki, ketika akhirnya itu berakhir, bayangkan bagaimana kalutnya aku berselimut air mata tiap malam dan berusaha baik-baik saja setiap harinya.

Setelah berpikir sebentar mau jawab apa, aku tersenyum kecil dan menatap Aninda santai, "Haha iya dong, Nin! Boleh tuh bagi stok gebetanmu ke aku biar cepet move on" candaku asal-asalan. Tentu aku hanya bercanda. Baru saja patah hati, masa iya langsung cari pengganti?

"Bener nih? Kalau kamu beneran mau aku bisa kirim kontaknya ke kamu. Biar aku yang rekomendasiin yang paling cocok buat Diana temanku tersayang...." ujar Aninda semangat dan mulai mengeluarkan ponselnya.

Aku melihatnya sekilas, jari-jari gemulainya sudah bergerak cepat di layar ponsel. Sejujurnya aku sangat menghargai Aninda, dia adalah teman yang baik. Dia yang selalu mendengarkan keluh kesahku saat bercerita. Aku tidak perlu meragukan sepak terjangnya dalam cinta karena mantannya saja sudah tidak bisa kuhitung dengan jari.

"Gak perlu terlalu buru-buru, Nin. Aku juga belum terlalu siap pacaran lagi." kataku dengan suara pelan yang sontak membuat Aninda berhenti memainkan ponselnya.

"Kenapa?" tanyanya dengan wajah yang menyebalkan, mulut yang dimonyong-monyongkan. Belum sempat aku menjawab pertanyaannya, dia memotong.

"Takut patah hati lagi? takut ditinggal lagi? takut disakitin lagi? kalau terus-terusan takut ya mana bisa bahagia, Di." katanya dengan lugas.

Aku tertohok, serius. "Ya sudah terserah kamu aja, Nin." kataku pasrah, malas berdebat karena tahu pasti aku yang kalah.

Aninda tersenyum simpul, "Kamu harus berani dan jangan takut biar jodohmu gak takut deketin kamu." canda Aninda yang kupikir-pikir, mungkin ada benarnya? mungkin juga tidak? Ah entahlah, tapi perempuan mana sih di dunia ini yang tidak takut patah hati? Patah hati untuk kedua kalinya?

MY BEST MISTAKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang