12

114 6 0
                                    

"Selalu ada alasan ketika meninggalkan seseorang. Tapi saat mencintaimu, aku tidak membutuhkan alasan apapun."

Halte bus tampak lengang siang itu. Aku hanya duduk seorang diri disana dengan pikiranku yang pergi kesana kemari. Kejadian kemarin masih terekam dengan sempurna di kepalaku.

Aninda menyarankanku untuk mencari Dafa lebih dulu, tapi gengsi-ku berhasil mengambil alih. Aku takut dia merasa puas karena akhirnya aku memakan umpan yang dia berikan.

Apalagi aku agak kaget karena tahu Dafa adalah cowok yang terkenal cukup playboy. Bahkan, dia tak mengirimiku pesan satu pun dari kemarin hingga hari ini. Tentu saja itu membuatku semakin ragu apa aku pantas untuk bertanya padanya atau membiarkannya saja, seperti tidak ada yang terjadi.

Aku memejamkan mataku, mencoba menghitung berapa banyak kendaraan yang lewat di depanku untuk memudahkanku mengambil keputusan. Apa kalian juga pernah melakukan hal yang sama?

Chat duluan, gak usah.... Chat duluan, gak usah... Chat duluan, gak usah.... Chat du...

"Heh, kebiasaan deh matanya!" seloroh Dafa tiba-tiba, senyam senyum gak jelas dengan seragamnya yang sudah awut-awutan. Pasti dia baru pulang sekolah.

Aku membuka mataku, dan tanpa sadar aku tersenyum kecil. Syukurlah, aku tidak perlu mengirimi pesan padanya duluan.

"Dafa?"

"Hem?" ujarnya sambil membuka botol minuman dingin, minuman isotonik rasa buah apel. Sepertinya itu minuman kesukaannya karena sama seperti yang dulu sempat ia tempelkan di pipiku.

"Kemarin ke rumahku?"

"Iya hehe." jawabnya sambil memandangku, lalu tersenyum kecil. "Kamu mau minum?"

"Engga usah." jawabku sekenanya, mengalihkan pandanganku ke jalan. "Kenapa ke rumah?"

"Bawain makanan kesukaan bibimu."

"Biar apa?"

"Biar kamu nanya sama aku." sahutnya singkat, masih tetap memandangiku. "Kan capek kalau aku terus yang nanya." sambungnya geli.

"Gitu ya?" tanpa sadar, aku ikut tersenyum.

"Is, sinian gih, duduknya."

"Kenapa?"

"Mundur dikit, Diana." katanya lagi.

Dengan bodohnya aku menurut lalu memundurkan dudukku. "Kenapa sih?"

"Cantiknya kelewatan soalnya."

Aku diam, berusaha menahan agar bibirku tidak terangkat. Bagaimanapun, aku perempuan! Siapa coba yang tahan?

"Duh, diem ah." kataku akhirnya setelah sadar bahwa ternyata dia diam-diam cekikikan sendiri.

"Senyum makanya biar diem."

"Iya."

"Mana?" tanyanya sembari mencondongkan badannya menghadapku. Sumpah ya!

"Dafa, jangan gitu anjir!" kataku sewot. Aku merasa pipiku akan segera terbakar karena disengat terik matahari, sekaligus mendengar apa yang dia katakan.

Dia tertawa tergelak-gelak. Matanya menghilang, berkebalikan dengan lesung pipinya yang justru semakin terlihat. Aku sudah tidak tahan dengan pemandangan itu. Sungguh, aku tersiksa, tapi perasaanku membuncah.

"Kenapa senyumnya gitu?" tanyanya lagi, di sela tawanya.

Aku memicingkan mata, meminimalisir pemandangan cowok itu di depanku agar tidak merusak sistem pernafasanku. "Yaudah aku gak jadi senyum, nih?"

"Yaudah jangan dulu deh kalau gitu."

"Kenapa jangan?"

"Simpen dulu buat bekel nanti malem. Biar mimpi indah gitu.."

Lagi-lagi! Bibirku yang gak tahu diri ini malah senyam senyum tak karuan. Dafa tampak memperhatikanku dari samping, masih dengan senyumnya.

"Liat aja kalau mau, gak usah malu gitu, Diana."

"Gak aku gak malu."

"Iya ya? Kan make baju."

Aku mendelik dan dia makin tertawa. "Jangan sok ganteng gitu." kataku tiba-tiba. Kupikir dia akan tersinggung, tapi ternyata pikiranku salah.

"Oh, berarti aku ganteng nih? Kalau gitu nanti aku sering-sering nyari kamu." sahutnya lagi sambil cekikikan.

Asal kalian tahu, pernafasanku sudah sangat kacau. Tapi aku masih berusaha sekuat tenaga sampai akhirnya bus tiba. Syukurlah!

Buru-buru aku bangun dari bangku halte dan melihatnya yang masih duduk disana. "Aku pulang ya." kataku tiba-tiba.

Dafa menganggukan kepalanya pelan. "Udah bisa pamit, nih? Gak kabur lagi?" ejeknya yang ngena banget di hatiku.

Hhhhhh, bodo amat!

Aku langsung naik ke bus dan memilih duduk di bangku paling belakang. Tapi dia masih duduk disana, memperhatikanku. Dia selalu berangkat ke sekolah mengendarai motornya. Lalu, apa alasannya pergi ke halte?

Saat akhirnya bus mulai menjauh, aku melihat Dafa berdiri dan berjalan menuju parkiran sekolah. Sepertinya.. aku melihatnya tersenyum dari kejauhan.

Benar... akhirnya senyum itu mulai mengusik pikiranku.

MY BEST MISTAKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang