"Aku memberimu kunci untuk masuk, bukan mengunciku sendirian dari balik pintu."
Namanya Dafa. Nama yang hingga kini masih membuatku bergetar saat mendengarnya. Dia adalah kakak kelas di sekolah baruku, kelas 3 IPA 3, aktif di berbagai organisasi sekolah yang namanya selalu dielu-elukan adik kelas.
Aku mengenalnya karena ikut ekstrakurikuler yang sama. Awalnya, aku juga tidak terlalu ambil pusing. Baru dua minggu di sekolah baru, kenapa harus cari gara-gara sama kakak kelas yang tenar itu? Ogah. Mending makan batagor Pak Jajang di kantin sekolah. Lebih bermanfaat.
Sebenarnya aku ingin ikut theater, tapi setelah kulihat bagaimana mereka berlatih, aku minder sendiri. Mana rela aku kalau wajahku dicekcoki dengan tumpukan bedak warna-warni atau rambutku digulung-gulung sampai dipotong demi menghayati peran.
Lalu, aku sempat tertarik ikut ekstra cheerleaders sekolah yang paling diminati teman-teman cewekku di kelas. Mereka juga menawarkanku untuk bergabung. Tapi setelah kupikir-pikir, dilempar lalu berputar, dan akhirnya jatuh ditangkap, lalu dilempar lagi, bukan gayaku. Mantanku sudah melakukan itu padaku. Aku tidak tertarik. (Maksudku dia sudah membuatku ke awan dan menendangku kembali ke tanah).
Sampailah aku di ekstra ini, jurnalistik. Tidak menarik sekali, bukan? Apalagi Aninda ikut ekstra renang dan aku bukan putri duyung seperti dia. Tidak punya pilihan lain, akhirnya aku membulatkan keinginanku untuk bergabung dengan tim jurnalistik, dan seperti yang kalian duga, Dafa adalah ketuanya.
"Anak baru ya? Coba perkenalkan namamu di depan teman yang lain." kata Dafa saat itu. Oh iya, bukan aku yang tidak sopan, tapi memang dia yang memintaku untuk tidak memanggilnya kakak karena katanya hanya beda satu tahun, jadi masih dianggap sebaya. Setelah aku mencari tahu, ternyata hanya aku yang diperbolehkan memanggilnya dengan nama langsung.
"Selamat siang semuanya, perkenalkan nama saya Diana Galvani, kelas 2 IPA 1, bisa dipanggil Diana. Mohon bantuannya ya." kataku saat itu dengan wajah yang berusaha sok santai padahal aku ingat sekali, belasan wajah garang senior perempuan di ekskulku itu sudah memandangku seperti singa kelaparan.
Dafa manggut-manggut dan mengisyaratkan padaku untuk kembali duduk. "Ada yang mau bertanya lagi?" tanyanya pada anggota yang lain. "Nomornya berapa?", "Punya pacar gak?", "Asalnya dari mana?", desis beberapa anggota laki-laki yang tak berani kutoleh.
"Gak usah minta nomor Diana. Cuma aku yang boleh dapet nomornya dia." kata Dafa tiba-tiba.
Hening. Aku bengong. Mataku membesar sebesar telur ayam. Benar, aku kaget. Mana bisa dia bercanda saat situasi serius seperti itu?
"Aku gak bercanda, Diana." sambungnya lengkap dengan senyum manisnya. Ah senyum itu, senyum yang kini hanya bisa dinikmati orang lain. Aku merindukannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
MY BEST MISTAKE
Storie d'amoreBukan masalah siapa yang pergi, kapan akhirnya pergi dan mengapa memilih pergi. Masalahnya adalah hatiku yang masih belum mau berhenti mencoba mengharapkanmu kembali, tetap mencintaimu dalam diam, dengan rindu yang selalu kurajut dalam doa.