Bukan masalah siapa yang pergi, kapan akhirnya pergi dan mengapa memilih pergi. Masalahnya adalah hatiku yang masih belum mau berhenti mencoba mengharapkanmu kembali, tetap mencintaimu dalam diam, dengan rindu yang selalu kurajut dalam doa.
"Tidak mudah untuk melupakan seseorang yang pernah mengisi hari-harimu, karena yang kau lakukan hanyalah menolak untuk mengingat."
Aku mematut diriku di cermin, berusaha menenangkan debar jantungku yang semakin kacau tiap bergantinya menit.
"Gimana Nin?" tanyaku bersungguh-sungguh pada Aninda yang kupaksa untuk datang. Tentu saja karena kencan pertamaku, bersama Dafa. Lagipula Aninda adalah tetanggaku, rumahnya hanya berjarak 1 blok dari rumah paman dan bibiku.
"Emang mau melayat make baju warna hitem? Heran deh, kenapa kamu bisa punya mantan. Padahal gak ada yang bisa dijual selain tampang."
"Shut up." sahutku ketus. "Emang salah make baju hitem? Kan biar keliatan langsing!"
"Ya kali langsing badan udah kayak papan penggilasan."
"Masa sih?"
"Cuma mempraktekkan majas hiperbola dalam kehidupan sehari-hari cemihiw." sahut Aninda sambil memeluk bantal gulingku.
"Serius, anjir." kataku mulai gerah. Jam sudah menunjukkan pukul setengah 2 siang, sedangkan Dafa berjanji untuk menjemputku jam 3 sore.
"Ya ampun, Di. Kamu disana main-main make baju hitem gak takut cepet gerah? Pake warna cerah, kek."
"Iya juga ya?"
"Ogeb kao."
"Bentar, aku milih dulu."
Akhirnya, setelah memakan waktu hampir 15 menit, aku membulatkan tekadku untuk menggunakan baju kaos lengan pendek putih dan denim overall dipadukan sneakers putih.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Udah kece belom?" tanyaku pada Aninda sambil cekikikan.
"Aku bilang jangan baju hitem ya gak baju putih juga keles...." sahut Aninda malas-malasan yang mau tak mau membuatku tertawa kecil.
"Aku gembel aja dia suka, apalagi kalau cantik, Nin?" sahutku bercanda. "Lagian kayaknya dia make baju kaos biasa deh, gak heboh banget."
"Ya gimana senengnya kamu aja." jawab Aninda sambil bangkit dari duduknya, membantu menyisiri rambutku yang panjang.
"Kayaknya dia udah dateng, deh." kata Aninda tiba-tiba yang membuatku kaget, seperti tersengat aliran listrik. "Serius? Tau dari mana?"
"Itu suaranya Bi Irma ketawa-ketawa. Kayaknya doi suka banget deh sama Dafa? Apalagi mamamu ya Di?"
"Hih, apaan sih. Yaudah cepet kuncirin!"
Setelah menggunakan make up ala korean style yaitu no make up make up, aku bergegas keluar kamar, diekori Aninda yang cengengesan seperti monyet habis makan pisang.
"Oh, ini Diana udah siap." kata Bibiku sambil tersenyum kecil ke arah Dafa yang kini berdiri menyambutku dengan senyum manisnya.
Bibirku rasanya mau robek dan pipiku memanas setelah sadar bahwa Bibi dan Aninda asyik menertawaiku. "Apa sih, Daf...." jawabku dengan suara parau. Kencan sama dia memang benar-benar bikin sakit jantung.
Parah tuh anak, ngegombal terus pengen kuselepet mulutnya pakai cinta plus kasih sayang, huh.
Aku memandang Aninda yang masih sibuk cekikikan. "Pergi dulu, ya. Tengkyu loh."
"Oleh-oleh ya beb, good luck and have a nice day!" jawab Aninda sambil memberikan kode-kode pada Dafa. Sepertinya mereka sering bertukar informasi mengenaiku di belakang pantatku.
"Bi, Diana pergi dulu ya?"
Bi Irma tersenyum dan menganggukan kepalanya seraya mengelus rambutku. "Iya, Di. Hati-hati.. Udah izin mama belum?"
"Udah kok, Bi. Pergi dulu yaa... Dadah!"
Setelah selesai ber-dadah-dadah-ria, aku berlari mengikuti Dafa yang sedang mengenakan sepatunya.
Sama seperti dugaanku, dia hanya menggunakan baju kaos putih dengan celana jeans panjang. Simple aja ganteng... gumamku dalam hati sambil terus memperhatikannya.
"Udah? yuk?" Dafa memegang tanganku dan sontak, darahku berdesir.
"Kenapa?" tanya Dafa lagi, memperhatikan wajahku sambil mesem-mesem. Grogi lah anjir! isi acara pegang-pegangan segala lagi. sahutku sewot dalam hati.
"Engga kenapa. Yuk, cepetan!" sahutku ceria dan buru-buru duduk di motornya. Dafa menggeleng-gelengkan kepalanya lalu membantuku menggunakan helm, dan lagi-lagi.... jantungku yang gak tahu diuntung ini berdisko dengan dahsyatnya. Bagaimana bisa aku lupa menggunakan helm?
"Makasi, Daf. Hehehe..." kataku pelan begitu helmku terpasang.
Dafa lantas menggunakan helmnya dan melihatku melalui spionnya. "Jangan marah ya, Di."
"Kok marah?"
"Bukan cuma kamu doang kok yang deg-degan, aku juga." kata Dafa akhirnya dengan suaranya yang ala ala Afgan itu.
Aku senyam senyum gak karuan dan tangannya perlahan menowel pipiku dengan gemas, "Makasih karena udah ngasi aku kesempatan. Aku gak bakal bikin kamu nyesel."