"Langit akan selalu biru meskipun awan hitam menutupinya. Aku juga tetap menyukaimu, meskipun keburukanmu terkadang menggodaku untuk menyerah."
"Diana, cepet sini!" teriak Aninda heboh. Aku buru-buru berlari menghampirinya, ikut penasaran.
Aku mendekat ke balkon, mengikuti arah pandangan mata Aninda. Murid lainnya juga ikut berdesakan, saling berebut berusaha melihat apa yang sebenarnya terjadi.
"Apaan sih, Nin? Heboh banget?"
"Lihat! Kak Hilda sama adik kelas kita yang famous itu, siapa ya namanya? Bella? Della? Mereka bertengkar!"
Suasana riuh. Ada yang bersorak, sibuk memotret, mencoba melerai, dan berteriak ala menonton konser. Kepalaku pening mendengar teriakan-teriakan melengking di sekitarku. Kupikir Dua Lipa datang ke sekolah, kan wajar ya mereka heboh seperti sekarang.
"Ngapain coba ditonton? Kalau gak bisa ngelerai ya gak usah nonton." kataku pada Aninda.
"Yee... seru keles! Kayaknya mereka ngerebutin cowok deh! Iya gak, Di?"
"Bukan urusanku, hadeh." sahutku lalu berusaha berjalan melalui badan teman-temanku yang lain, meninggalkan Aninda yang masih gak kalah hebohnya dengan murid-murid di sekitarnya.
"DIANA!!!!!!! CEPET LIAT SINI!!"
Baru saja aku hampir sampai di pintu kelas, suara teriakan Aninda makin menjadi-jadi. Gila tuh, cewek. Kok bisa suaranya menyaingi teriakannya Isyana Sarasvati? Sepertinya aku akan menjebloskannya ke lomba seriosa.
"Aduh, apa sih Nin?!" teriakku tak kalah heboh. Tentu saja aku terpaksa berteriak walau sebenarnya aku malu begitu melihat ekspresi salah satu temanku yang langsung mengkerut begitu mendengar suaraku.
"Buruan cepet sini, Di! Cepet!"
Mau tak mau aku mengalah. Aku memutar haluan dan kembali mendekati balkon. Syukurnya badanku kecil, jadi bisa menyelip dengan mudah.
Belum sempat aku menyemprot Aninda dengan amarahku yang sudah sampai ke ubun-ubun, pandanganku langsung tertuju pada Dafa. Jelas itu dia. Mataku bisa langsung menangkap dia kini berada di antara dua cewek yang sedari tadi menjadi pusat perhatian itu.
"Dafa...?"
"Iya ih, bener kan? Itu Kak Dafa, kan?" sahut Aninda yang seolah membenarkan penglihatanku.
Aku terdiam, badanku kaku. Entah karena didesak, atau memang badanku yang mulai menegang.
Benar, itu Dafa. Kini dia berada di antara dua cewek yang tampak ngos-ngosan itu, mendelik satu sama lain.
Kulihat Dafa mencoba menenangkan salah satu yang lebih tinggi sambil mencoba menjauhkan jarak antara adik kelas itu dengan Kak Hilda. Tak lama, guru-guru mulai datang dan membantu Dafa untuk melerai pertengkaran itu.
Aku terhenyak. Walau Dafa berada cukup jauh di bawah, aku bisa melihat bagaimana ekspresinya dengan jelas. Wajahnya tampak kesal, rambutnya acak-acakan dan sorot matanya tampak lelah. Sangat berbeda dengan yang biasanya aku lihat. Dia belum pernah menunjukkan ekspresi seperti itu padaku.
Gak heran sih ngerebutin Kak Dafa, iya kan? Kak Dafa kan ganteng banget!
Wah parah, ngerebutin cowok satu aja sampe segitunya ya? Horror juga cewek zaman sekarang..
Kasian ya Kak Dafa, keduanya sama-sama cantik.. bingung pasti milih yang mana hahahaha..
Kalau aku jadi Dafa sih langsung embat keduanya!
"Kamu gak apa, Di?" tanya Aninda tiba-tiba.
Aku terhenyak, beberapa kerumunan yang awalnya bersorak sorai ternyata sudah berhenti. Aku mengerjapkan mataku. Kenapa aku malah melamun?
"Mana Dafa?"
"Tadi dia udah pergi bareng sama guru yang ngelerai."
"Kak Hilda dan adik kelas itu.. ngerebutin Dafa?"
"Kayaknya iya deh. Kenapa?" Aninda menatap wajahku yang pias. Aku bahkan tak berani mencari tahu bagaimana ekspresi wajahku terlihat saat itu.
"Siapa yang tahu ternyata dia direbutin sampe segitunya, ya?" ujarku pelan, tertawa kecil. Miris sekali rasanya. Bagaimana aku bisa lupa fakta bahwa Dafa begitu mustahil untuk kuraih?
Aninda tampaknya mengerti maksudku. Dia tidak membalas omonganku. Perlahan, tangannya menyusup ke bahuku.
"Jangan salah paham dan menduga-duga sendiri, Di. Lebih baik bertanya langsung. Omongan orang lain belum tentu benar, kan?"

KAMU SEDANG MEMBACA
MY BEST MISTAKE
RomanceBukan masalah siapa yang pergi, kapan akhirnya pergi dan mengapa memilih pergi. Masalahnya adalah hatiku yang masih belum mau berhenti mencoba mengharapkanmu kembali, tetap mencintaimu dalam diam, dengan rindu yang selalu kurajut dalam doa.