"Cinta yang kau berikan, yang selalu kujaga, kini kau juga yang merebutnya. Lalu aku bisa apa selain merelakannya?"
Aku berjalan sempoyongan menuju kantor Dafa. Aku tahu dia masih di kantor karena hari ini adalah jadwal lemburnya. Aku tidak akan menunda lagi.
Badanku menegang, mataku terasa berat. Tapi aku tidak menangis. Aku merasa sangat lelah, sekaligus sangat emosi. Aku tidak ingin menunggu hari esok lalu bertingkah seolah semuanya baik-baik saja, seperti yang biasanya aku lakukan. Jika aku bisa menyelesaikannya hari ini, maka aku akan menyelesaikannya sekarang.
Ponselku terus bergetar tapi aku mengacuhkannya. Pintu besar kantor tempat Dafa bekerja masih sangat terang dan mataku menangkap beberapa orang masih lalu lalang di dalamnya. Aku tidak peduli, jika aku harus membuat Dafa malu, aku akan membuatnya malu. Biarkan saja. Toh aku juga punya harga diri bukan?
Wah, aku masih tidak bisa habis berpikir. Betapa bangganya dia bisa menaklukkan dua perempuan sekaligus? Atau mungkin dua puluh? Entahlah.
Belum sempat aku berjalan menuju pintu kaca itu, tanganku ditarik seseorang dengan kuat. Aku linglung dan tak sempat menolak sebelum akhirnya aku melihat Dafa berdiri di depanku. Wajahnya tampak lelah, kemeja dan rambutnya acak-acakan. Aku sudah menduga berapa kali dia akan menarik dasinya setiap dia merasa gusar.
"Diana.. ngapain kamu disini? Kamu gak tau ini udah jam berapa?"
Aku tersenyum sinis, memandang wajah itu. Tidak ada rasa berdebar-debar karena pesonanya lagi, yang ada hanya asa untuk membubuhkan cap bren*sek besar-besar pada wajahnya agar tidak ada lagi perempuan yang bisa tertipu oleh parasnya.
"Kamu udah tau semuanya kan?" tanyaku gamblang. Sekuat tenaga aku menjaga volume suaraku agar tidak mengundang perhatian banyak orang. Bagaimana pun, kami kini berdiri di parkiran kantor Dafa. Aku menyesal, kenapa tidak langsung mengoyaknya sejak awal.
Dafa menghela nafasnya. Dia memegang bahuku yang langsung kutepis dengan kasar. Sungguh, muak sekali rasanya!
"Maafin aku, Di. Harusnya aku bilang dari awal.. tapi, aku gak bisa ngeliat kamu pergi... aku gak maksud.."
"APAAN GAK MAKSUD, GAK MAKSUD? TERUS KAMU PIKIR DENGAN CARA KAYAK GINI, AKU BISA SENENG HAH?!"
Usahaku untuk menahan diri lenyap sudah. Aku tidak peduli apakah suaraku terdengar sampai ke lantai sepuluh. Sungguh, dadaku sudah terasa sangat sesak.
"Di.. dengerin aku dulu.." Dafa mencengkram bahuku. Walaupun samar-samar, aku bisa melihat bagaimana wajahnya terlihat sangat frustasi.
"Maaf karena macarin aku dari dulu sampai sekarang, tapi punya yang lain? Maaf karena cuma manfaatin kebodohanku untuk nemenin kamu yang selalu nungguin cinta pertamamu itu?!" teriakku putus asa.
"Mulai ngehindar karena tau dia bakal lulus dan mau ninggalin aku begitu aja karena tau kalau kalian bakal tunangan?! Iya? Kenapa gak sekalian bilang ke aku kalau kamu udah ngehamilin dia?!"
"Diana..."
"APA, DAF?! MAU NGOMONG APA LAGI?! MAU MINTA IZIN KE AKU TUNANGAN SAMA NICHI? IYA!?"
"Aku tau Nichi musisi, dan ayahmu musisi. Aku tau mana bisa aku masuk ke keluargamu kan? Setiap aku pergi kerumahmu dan ngeliat banyak alat musik disana, kamu gak pernah mau mainin alat musik itu di depanku karena takut keinget sama Nichi? Iya kan?!"
Aku terisak hebat sebelum akhirnya aku menangis, badanku bergetar dan jatuh ke tanah. Sungguh, kalian harus tahu bagaimana hancurnya aku saat itu. Dikhianati oleh orang yang sangat kamu sayangi, sosok yang sangat kamu percaya, laki-laki yang selalu menemanimu selama hampir lima tahun, siapa yang menyangka bahwa dikecewakan ternyata begitu sakit?
Dafa tidak mengatakan apa-apa. Aku benci sekali mengakui itu. Dia berusaha memelukku yang menangis dengan begitu hebatnya.
"Aku gak akan maksa kamu maafin aku, Diana. Aku gak minta kamu ngasi aku kesempatan lagi... aku minta maaf.."
Aku mengangkat daguku, tidak peduli bagaimana wajahku kini terlihat. Mataku terasa sangat panas dan berat, tapi aku tersenyum kecil. Wajah Dafa yang tampak mendung kini terlihat begitu jelas di depan mataku.
Dafa diam terpaku mendengar semua perkataanku. Dia berusaha memelukku lebih erat tapi badannya tampak menegang.
"Nyesel aku mertahanin semua ini sama kamu, Daf. Aku gak tau betapa puasnya kamu di belakangku karena bisa dapetin cewek bodoh kayak aku. Jangan mikir aku yang ninggalin kamu. Dari awal pun kamu gak pernah ngasi yang harus kamu kasih ke aku kan?" Aku tersenyum getir meskipun air mataku terus jatuh membasahi pipiku.
Tubuh Dafa yang awalnya berusaha memelukku kini merosot ke bawah dan menundukkan wajahnya.
"Aku mau putus." kataku akhirnya, dengan suara bergetar. "Aku berharap... semoga kamu gak bisa bahagia dengan mudah."
Aku berusaha berdiri dengan sekuat tenaga, sedangkan Dafa masih menundukkan wajahnya. Aku tidak tahu apa lagi yang tengah ia pikirkan, dan aku terlalu putus asa untuk menerkanya. Sungguh, yang aku inginkan saat itu hanyalah agar dia bisa merasa jauh lebih sakit daripada perasaanku kali ini.
Aku melangkah mundur sebelum akhirnya berjalan dengan gontai meninggalkan Dafa, sekaligus meninggalkan kenangan bertahun-tahun yang sudah kubuat dengannya. Dadaku rasanya sakit sekali, jantungku terus berdentam-dentam mencoba menghancurkanku dengan lebih kuat.
Aku masih terus menangis, menatap tanah yang tetap bergeming. Aku berjalan seorang diri, menyeret kakiku dengan putus asa. Bahkan hujan pun tampak enggan menemaniku malam itu. Malam yang selalu kuingat sebagai malam yang paling gelap seumur hidupku.
Tidak ada yang perlu dipertahankan lagi, bukan? Mengakhiri hubungan palsu ini secepat mungkin, itu lah yang terbaik.
![](https://img.wattpad.com/cover/152566342-288-k567871.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MY BEST MISTAKE
RomanceBukan masalah siapa yang pergi, kapan akhirnya pergi dan mengapa memilih pergi. Masalahnya adalah hatiku yang masih belum mau berhenti mencoba mengharapkanmu kembali, tetap mencintaimu dalam diam, dengan rindu yang selalu kurajut dalam doa.