6

119 10 1
                                    

"Masa lalu memang tidak perlu diungkit, tetapi harus dihargai. Tanpanya, kau hanya akan jatuh ke lubang yang sama."

"DIANAAAAA.. BANGUN!!!" teriak Aninda dengan kencangnya di samping telingaku. Suaranya bahkan lebih keras dari lengkingan Agnes Monica saat konser.

Aku terbangun, mataku berat sekali. Nyawaku tercerai berai, entah kemana mereka pergi. Dengan segenap kekuatan, aku duduk dan menatap Aninda dengan ekspresi tak suka.

"Apa?!" bentakku kesal.

"Hehe..." doi malah cengengesan. "Apa Aninda, apa?" ulangku lagi, dengan sedikit lebih sabar.

"Aku minta maaf, Di. Ini aku udah bawain pisang coklat sama oreo goreng. Aku terpaksa nemenin Raka tadi karena lupa kalau sebenernya aku udah janji duluan sama dia. Maaf ya?" cerocosnya tanpa ba bi bu lagi dengan mataku yang masih setengah tertutup.

Oh iya, Raka itu nama pacar Aninda saat itu. Aku lupa berapa lama mereka berpacaran, yang jelas mereka tidak bertahan lama. Aku gak perlu menjelaskan dia ke kalian, kan?

"Hooh, hooh. Terus gak minta maaf udah bangunin aku?" tanyaku lagi, mencoba meledeknya.

"Enggak lah, ogah." sahutnya tak peduli dan bangkit dari duduknya. "Tau kok yang habis ditemenin Kak Dafa!"

Heh? Aku tercengang pake kuadrat. Dari mana Aninda tahu?

"Tau dari mana anjir?" semprotku kesal. "Wah, ngamuk nih ngamuk.." selorohnya mengejek. "Selama Upin Ipin gak naik kelas, tak ada yang tak kuketahui wahai, Diana..." sahutnya lalu berlari kecil keluar kamarku. Benar, dia sangat menyebalkan. Aku hanya mengelus dada, dadaku sendiri, karena dada Justin Bieber terlalu jauh untuk kuraih. Skip.

Aku bangkit dari dudukku dan menyusul Aninda keluar. Belum sampai di pintu kamar, ponselku berdering.
say boy, let's not talk too much, grab on my waist and put that body on me..

Belum sempat aku menggeser tombol hijau, layar ponselku mati. Nomor yang tidak kenal. Siapa nih? gumamku ngeri sendiri.

Ddrtt.. ddrrttt..

Ponselku bergetar lagi. Bukan telepon lagi, tapi pesan masuk. Dari nomor yang sama.

0812564*****
Sore, Diana.. aku Dafa. Save nomorku ya!

Heh?? Kok bisa??? Aku mengernyit. Mencoba mengingat. Aku tidak memberinya nomor teleponku tadi siang. Saat bus datang, aku buru-buru masuk ke bus dan dia hanya memandangku lalu melambaikan tangannya dan berteriak heboh, "Hati-hati, jangan ketiduran lagi ya!"

Tanganku gatal ingin membalas pesannya tapi aku malu, dan gengsi. Atau malu saja? Ah, aku bingung. Akhirnya aku hanya menyimpan nomornya tanpa membalas pesannya dan siap menginterogasi Aninda, tersangka utama.

"Udah di chat Kak Dafa belum?" tanya Aninda tiba-tiba. Tuh kan, apa kubilang!

Aku tergopoh-gopoh menghampirinya yang duduk dengan santai di kursi dekat kamar Gita. "Sumpah ya, kenapa kamu gak minta izin dulu sih?!" semprotku kesal.

"Minta izin itu biar diizinin. Ngapain minta sama kamu? Mana dibolehin lah!" jawabnya tak ingin kalah.

Aku cengo. Melongo. "Dia ketua ekskulmu, wajar dong?" kata Aninda lagi, dengan senyum sumringah. "Eh tapi, kamu ngerasa Kak Dafa ini familiar gak sih, Di? Kayak pernah liat? Iya kan?"

Aku terlanjur sebal dan malas menaruh perhatian. "Tau ah, gelap gak denger!" selorohku lalu pergi meninggalkan Aninda.

Benar, ini kesalahanku. Seharusnya saat itu aku mendengar kata Aninda.

MY BEST MISTAKETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang