Halaman ke-8

1.2K 73 0
                                    


Sekitar satu bulan yang lalu, weekend adalah kegiatan rutin bagi Anna untuk merenung dan menyaksikan bagaimana kolam renang di rumahnya begitu sangat tenang. Candaan dan berbagai hal lainnya tak Anna alami sedikit pun ketika hatinya terluka. Matanya terlalu buta untuk melihat dunia yang seakan melambaikan tangan padanya.

Anna bukan tak ingin hidup seperti biasanya, tapi dia hanya ingin membiasakan diri dengan sesuatu yang kini hilang dari hidupnya. Melupakan tak semudah yang dikira kebanyakan orang, percayalah ... kenangan tak akan bisa tertutup rapat ketika kita masih mengharapkan itu terjadi kembali.

"Ini sebenarnya gimana sih, An?"
Anna terhenyak dan seakan baru tersadar bahwa weekend kali ini dia tidak sendirian lagi.

"Coba aku lihat!" Anna turun dari atas sofa dan ikut duduk di atas karpet bersama Cindy, Vanya, dan juga Febby yang hanya menonton sedari tadi.
"Oh soal yang ini, aku udah sempet ngerjain kalau nggak salah. Sebentar ya!" ujar Anna sembari bangkit dari duduknya dan melangkahkan kakinya menuju kamar yang berada di lantai atas.

Ketika Anna hilang dari pandangan, yang lainnya kembali berkutat dengan laptop dan juga buku pelajaran sejarah yang diletakkan di atas meja.

Febby mengambil handphone-nya dari tas punggung yang tergeletak di samping meja sembari berkata, "Erina nggak ke sini, 'kan?"

Cindy yang tengah sibuk dengan laptopnya hanya mengedikkan bahu, sedangkan Vanya mengalihkan pandangannya pada Febby dan menjawab, "Kemarin Erina bilang katanya sih mau ke sini, nggak tau deh jadi apa enggak."

"Serius lo, Van?"

Respon Febby yang berlebihan membuat Cindy juga mengalihkan pandangannya pada gadis itu. "Biasa aja kali. Emangnya salah kalau Erina ikut kumpul sama kita? Meskipun beda jurusan, tapi kan biasanya juga kita kumpul bareng."

Febby memutar kedua bola matanya dengan jengah. "Gue lagi males ketemu sama dia," ketus Febby sembari memainkan handphone-nya yang menyala.

"Kita udah temenan lama, jadi gue mohon sama lo, jangan terlalu membesarkan masalah yang sepele kayak gini."

Vanya yang berada di tengah-tengah antara mereka berdua begitu kebingungan sampai tak bisa berbuat apa-apa. Cindy yang selalu menasehati setiap kesalahan sahabatnya, dan Febby yang akan menentangnya.

"Sepele lo bilang? Gue itu udah terlalu risih sama dia, Cin. Dia tuh nggak bisa ngeliat keadaan, dia juga nggak pernah mau ngertiin perasaan orang lain. Yang dia pikirin selama ini ya cuma dia, dia, juga dia dan Syabil."

Cindy menghembuskan napasnya sebelum kembali membuka suaranya, "Dia ngomong kayak gitu ke lo buat kebaikan lo sendiri, Feb. Sekarang kalau misalnya lo cuma bisa diem, apa yang bakal lo dapet? Lebih baik nggak, tapi kepikiran terus iya. Bener, 'kan?"

Febby mematikan handphone-nya dan menatap serius ke arah Cindy meski terhalang Vanya yang masih berpura-pura fokus pada buku di atas mejanya.
"Ini urusan gue, jadi gue nggak mau kalian ikut campur. Oke kalau misalnya kalian prihatin ya nggak papa, tapi sewajarnya aja dong, jangan sampe dipaksa kayak gini. Gue punya pendirian, dan gue nggak mau ngelepas pendirian gue gitu aja. Apa lagi cuma karena Erina sama Syabil yang--"

"Yang apa?"

Cindy, Febby, bahkan Vanya langsung mendongakkan kepalanya ketika suara yang sangat familiar memotong perkataan Febby. Mereka sempat terdiam sesaat, tapi tak lama kemudian, Febby mengemasi barang-barangnya dan bangkit dari duduknya.

"Bilangin ke Anna, gue pulang duluan!"

Febby menyampirkan tas punggungnya di pundak kanan. Dia sempat menatap sinis kepada gadis yang baru saja datang dan memotong perkataannya.

"Lo kenapa sih, Feb? Kalau ada masalah ya bilang dong, jangan malah kayak gini! Lo nggak suka sama gue?"

Erina menahan kepergian Febby dengan menghalangi akses jalannya. Tapi karena tenaga Febby lebih kuat dari Erina, dia menyingkirkan gadis itu dengan mudahnya.

"Loh? Itu Febby kenapa?" Anna yang baru saja datang dengan buku di tangannya langsung terheran ketika melihat Febby mendorong pundak Erina dan pergi begitu saja.

Erina menggigit bibir bawahnya sembari memilin rok bunga-bunga yang dipakainya saat ini. Dia hanya ingin berperan sebagai teman yang baik, tak ada niatan untuk menyakiti sama sekali. Erina tak menyangka bahwa Febby mempunyai pemikiran seperti itu terhadapnya.

Karena tak tega dengan keadaan Erina, Vanya buru-buru bangkit dari duduknya dan membantu Erina untuk duduk di atas sofa.

"Gue cuma mau bantuin dia, apa gue salah lagi?"

Anna ikut menghampiri Erina dan membantu menenangkannya.

"Gue cuma mau dia baikan sama Eka, dan gue juga berharap mereka nggak kayak gini terus. Gue udah berusaha, tapi dia malah kayak gitu ke gue. Apa itu adil?"

"Udah Er, tenangin dulu diri kamu," ucap Anna sembari mengelus pundak Erina sebelah kanan dan Vanya sebelah kiri.

Cindy yang masih terduduk di atas karpet sedikit menghembuskan napas kasarnya ketika melihat kejadian itu. "Gue bakal coba ngomong sama dia."

¢¢¢

"Mau pergi ke mana, Nu?"

Langkah Yanu terhenti ketika mendapati ibunya berdiri di halaman depan rumahnya sembari menyiram tanaman. Kegiatan rutin yang selalu Gia--nama ibunya Yanu--lakukan setiap pagi adalah menyirami tanaman yang sangat terawat.

"Pergi sebentar Mah, sama temen." Yanu menghampiri Gia yang berada di halaman itu. Air dari keran langsung Gia matikan ketika Yanu menghampirinya. "Mamah mau pesen sesuatu?"

"Nggak kayaknya, tapi  mamah lagi mau minta bantuan, boleh?"

"Apa? Biar nanti Yanu bantuin."

Mencoba jadi anak yang berbakti bukan sebuah kesalahan. Sedari dulu sampai saat ini, Yanu begitu mencintai keluarga kecilnya.

"Anna ke mana?"

Yanu merubah ekspresinya begitu cepat ketika nama Anna terlontar begitu santai oleh ibunya. Kedua wanita itu memang sudah terbilang sangat dekat, maklum saja jika Gia menanyakan Anna ketika gadis itu tak mengunjungi rumah ini lagi.

Memang semenjak Yanu dan Anna memutuskan untuk berpisah, tak ada lagi kata yang terlontar dari keduanya. Tak ada satu waktu yang mereka habiskan bersama lagi. Tak ada sama sekali. Bahkan, jika mereka tak sengaja berpapasan di sekolah, berpura-pura tak melihat satu sama lain adalah cara yang paling sering mereka lakukan.

Mungkin karena tak ingin saling menyakiti lagi, keduanya lebih memilih untuk mengambil jalan masing-masing.

"Anna? Ada, Mah." Sedikit gugup Yanu menjawabnya.

"Suruh main sini ya, bilangin aja kalau mamah kangen."

Yanu menautkan kedua alisnya sembari tersenyum tipis ke arah ibunya. Bagaimana caranya membawa Anna ke rumahnya lagi? Dulu memang Anna sering datang, tapi saat ini ... untuk alasan apa Yanu mengajak Anna datang ke rumahnya? Karena ibunya? Itu konyol.

"Sebenarnya ...."

"Mah! Sabuk papah mana? Ini mau dipake ketemu sama temen kantor."

Tiba-tiba teriakan seorang pria terdengar begitu nyaring dari dalam rumah untuk menghentikan ucapan Yanu.

"Iya Pah, sebentar!" Gia membalas dengan teriakan yang tak kalah nyaringnya. "Udah ya, mamah ke dalam dulu. Jangan lupa bawa Anna ke sini!" Gia sedikit berteriak ketika dia menjatuhkan alat yang tadi dia gunakan untuk menyiram tanaman dan berlari masuk ke dalam rumah.

Tugas baru untuk Yanu di hari weekend. Mengumpulkan mental untuk meminta Anna mengunjungi rumahnya. Ugh ... sial!

Chapter baru 🤗
Jangan lupa tinggalkan jejak 😘

Regards,
Vv

Yang Sama Terulang (Completed) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang