"Gimana? Lo mau, 'kan? Mau dong, pliis ...."
Suara Erina yang lebih terdengar seperti rengekan terus saja terdengar di ambang pintu ruangan kelas XII IPS 1. Gadis itu menyatukan kedua telapak tangan di depan dada dengan binar mata penuh damba di depan sahabat dekatnya ... Febby.
"Biar nanti lo bisa bicara baik-baik juga sama Eka di sana."
Sedari tadi, Febby hanya memutar kedua bola matanya dengan jengah ketika Erina menahan langkah kakinya yang ingin keluar dari kelas. Febby sengaja tak pergi ke kantin bersama Anna dan yang lainnya ketika istirahat, karena dia tak ingin bertemu Erina. Tapi ternyata orang yang dihindari menemuinya.
"Kalau gue bilang nggak mau, ya berarti gue nggak mau!" Dengan sedikit penekanan Febby berbicara di depan wajah Erina.
"Lo itu udah marahan sama Eka terlalu lama, jadi menurut gue ... mending baikan aja. Nggak ada salahnya kok kalau cewek yang minta maaf duluan. Lagian kan ...."
"Udahlah, Er!" Febby memotong perkataan Erina dengan wajah yang sudah malas. "Gue nggak mau diatur-atur kayak gini. Kalau lo mau anniv, ya anniv aja sana! Jangan bikin susah orang lain!"
"Loh? Gue mau ngajak lo seneng-seneng, kenapa lo malah ngira gue nyusahin lo sih?" Erina yang tadinya menatap penuh damba kini ikut menyipitkan mata karena terbawa emosi.
"Lo itu nyusahin banget, Er! Lo selalu menuntut ini dan itu dari sahabat-sahabat lo. Apapun yang lo mau selalu aja harus diturutin, dan lo nggak mikirin perasaan sahabat lo kayak gimana. Kalau gue udah bilang nggak mau, ya udah dong jangan paksa. Lo ngerti kan maksud gue?!"
Dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya, emosi Febby meluap saat itu juga di depan Erina. Gadis itu hanya merasa tertekan ketika Erina selalu saja menuntutnya tentang hal yang jelas tak dia sukai.
"Ya gue kan cuma mau ajak lo. Kalau misalnya lo nggak mau, ya bicara baik- baik aja, nggak usah kayak gini dong!"
Erina memang tak sekeras Febby. Gadis itu menurunkan volume suaranya dengan kedua tangan mulai memilin rok abunya. Lagi-lagi mendapatkan bentakan dari sahabatnya bukan hal baik yang Erina harapkan sebenarnya. Erina tahu apa yang akan terjadi jika dia berbicara pada Febby hari ini, tapi dia tak menyangka bahwa Febby merasa serisih itu kepada dirinya.
"Gue udah bicara baik-baik sama lo sejak di telepon tadi malam, Er. Tapi sampai saat ini lo nggak ngerti juga."
"Ya gue kan cuma mau berusaha ...."
"Usaha lo gagal. Sekarang mau apa? Gue akan tetep nggak mau, Er."
Erina menundukkan wajahnya dan memerhatikan bagaimana sepatu berwarna hitamnya bergerak tak nyaman di atas permukaan lantai. Ternyata dia tak bisa setegar yang diharapkan.
"Feb ...." Meski mulai melirih, Erina berusaha untuk mendongak dan bertemu pandang dengan mata Febby. "Kalau selama ini gue cuma nyusahin lo, gue nggak pernah bisa ngertiin lo, dan lo selalu risih dengan semua perlakuan gue ... maaf, gue nggak sadar dengan semua itu."
Kedua mata Erina yang berkaca-kaca membuat Febby memandang khawatir padanya. Erina akan menangis.
"Mending kita berhenti temenan aja. Maafin gue ...."
Setelah tetesan air mata lolos keluar dari pelupuk mata Erina, saat itu juga dia berbalik dan berlari sekencang yang dia bisa. Beberapa murid yang menyaksikan kejadian itu hanya bisa terdiam tanpa ingin berkomentar sama sekali. Febby yang terkenal sangat emosian memang tidak hanya diketahui sahabat-sahabatnya, tapi hampir seluruh murid di sekolahnya.
Tatapan mata Febby tak terlepas dari punggung Erina yang semakin menghilang dari pandangan. Dia merasa bersalah sekaligus emosi dengan kejadian yang baru saja terjadi. Febby juga tak menyangka bisa setega itu menyentak Erina di depan beberapa murid yang masih berlalu lalang di depan kelasnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Sama Terulang (Completed) ✓
Roman pour Adolescents~~Ketika lelah membalik halaman yang sama~~ Mungkin, semua takdir kini telah terucapkan secara lantang di depan semua insan. Takdir di mana seharusnya seorang gadis tetap berdiri tegar dan menentang semua kesalahan yang seharusnya ditinggalkan. Ingi...