Semenjak pertemuan Anna dan Yanu di koridor siang hari itu membuat hubungan di antara keduanya semakin renggang. Berpapasan tanpa ada niat saling tegur sapa. Jika kedua manik mata mereka dengan tak sengaja bertubrukan pun, mereka akan langsung saling membuang muka. Mungkin sudah seharusnya seperti itu.
Anna memang sempat merindukan kehadiran Yanu dalam hidupnya. Rindu dengan suaranya, perlakuan manisnya, juga beberapa lirik lagu yang sering dinyanyikannya. Namun, setelah kejadian siang hari itu membuat Anna semakin sadar bahwa rindu yang dia rasakan tak akan pernah terobati. Yanu terlihat sangat memuakkan di mata Anna.
Rindu bukan berarti harus bertemu. Membiarkan rindu untuk tetap saling menjauh sepertinya hal yang cukup menarik. Biarkan saja rindu, daripada harus bertemu lalu kedua belah pihak merasakan pilu.
"Baru pulang, Sayang?"
Elis yang terduduk di atas sofa sembari membaca buku majalah langsung menyambut kehadiran anaknya yang pulang larut sore. Senyumnya mengembang meski melihat Anna sedikit kurang baik dengan keadaannya.
Anna berjalan malas ke arah Elis, mencium kening mamahnya dan duduk di sampingnya. Hembusan napasnya yang terdengar berat membuat tangan Elis bergerak menyimpan majalah ke atas meja dan menarik lembut dagu Anna agar anaknya menatap ke arahnya jauh lebih lama.
"Ada apa? Apa telah terjadi sesuatu?" Dengan sangat lembut Elis bertanya pada Anna.
Dengan sopan Anna menangkis tangan Elis dari dagunya. Tatapan mata sendunya dengan terpaksa menatap ke arah Elis yang sedari tadi menatapnya penuh khawatir dan kebingungan.
"Papa mana, Mah? Belum pulang juga?"
"Minggu depan, Sayang ...." Elis menjawab sembari mengangkat tangan kanannya untuk mengelus lembut rambut panjang Anna yang terlihat lepek.
"Satu minggu yang lalu juga Mamah jawab kayak gitu." Lagi-lagi Anna menangkis dengan sopan tangan Elis yang mengelus rambutnya. "Minggu depan mana yang Mamah maksud? Satu tahun satu minggu setelah hari ini?"
Anna hanya lelah, dia berbicara seakan semua orang di sekitarnya salah.
"Papa memang sibuk, Sayang. Papa baru saja kasih kabar nggak bisa pulang sekarang. Jadi ...."
"Iya aku tahu." Anna mencela perkataan Elis. "Tugas Mamah saat ini adalah berusaha agar aku tetap percaya. Iya aku percaya, Mah."
Di ruangan itu tak ada yang tahu apa yang sebenarnya disembunyikan dan juga diharapkan. Lelah menanti sedari dulu membuat Anna kesal dan tak berpikir panjang untuk berucap. Gadis itu beranjak dari sofa dan bergegas pergi ke kamarnya untuk mengunci diri. Setidaknya sampai lusa Anna tak keluar kamar dan memutuskan untuk bolos sekolah.
✓✓✓
"Anna bolos lagi?"
Pertanyaan yang terlontar dari mulut Anya membuat semua teman yang makan bersama di satu meja langsung mengangguk mengiyakan.
"Kemaren tante Elis kasih kabar, katanya sih Anna sakit. Rencananya pulang sekolah nanti gue mau ke rumahnya. Gimana? Ada yang mau ikut?" ajak Erina.
Anya, Cindy, Febby, dan Vanya memutuskan untuk ikut bersama Erina. Mereka khawatir telah terjadi sesuatu dengan Anna sampai dia sakit selama dua hari berturut-turut. Terakhir mereka melihat Anna pun memang dalam keadaan yang kurang baik. Lebih tepatnya sepulang Anna membeli map dari koperasi, gadis itu terlihat murung dan cenderung diam tanpa banyak bicara.
"Dia sakit apa ya kira-kira?" tanya Vanya.
"Kurang tahu, semoga aja nggak parah," jawab Cindy.
"Iya, semoga ...," ujar mereka hampir serentak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Sama Terulang (Completed) ✓
Teen Fiction~~Ketika lelah membalik halaman yang sama~~ Mungkin, semua takdir kini telah terucapkan secara lantang di depan semua insan. Takdir di mana seharusnya seorang gadis tetap berdiri tegar dan menentang semua kesalahan yang seharusnya ditinggalkan. Ingi...