Gelap. Seperti biasa. Hening dan tenang. Selalu seperti itu keadaan apartement yang ditinggalinya. Langkahnya beralih ke dapur. Meneguk satu botol air mineral dari kulkas sampai habis. Lalu melempar botol itu tepat ke tempat sampah.
Kembali dia berjalan ke arah tempat tidurnya. Lagi-lagi tamu yang tidak diundangnya itu datang. Dia kemudian beringsut menghidupkan lampu apartementnya.
"Lo nggak pulang lagi?" Dia bersedekap di dada. Menghampirinya dan duduk disisi kanan.
"Hoaaam." Perempuan yang baru terbangun itu menguap. Mengucek matanya dan menatap sang pemilik tempat tidur sambil tersenyum. "Pulang malem terus. Nggak capek?"
"Ada apa lagi kali ini?" tanyanya mengalihkan topik. Dia menarik selimut sampai ke dadanya tanpa mengganti baju sekolahnya. "Apapun yang terjadi jangan sampai ganggu tidur gue."
Zara menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ladissa itu baik, tapi kelampau cuek, meskipun sangat peduli dengan orang disekitarnya. Seperti beberapa menit yang lalu, bertanya namun tidak memberi waktu untuk menjawab.
***
"Diss, bangun. Udah pagi nih. Lo telat gue yang dimarahin lagi." Zara menepuk pelan pipi Ladissa yang masih terlelap ditempat tidur. Ladissa atau yang akrab dipanggil Dissa itu mengerang.
"Jam berapa nih?"
"Kalau gue bilang. Setelah ini gue yakin lo bakal siap-siap secepat kilat." Zara memakai sepatunya menghadap Dissa. "Jam setengah tujuh."
"Mati gue."
Benar saja, Dissa langsung berlari kesana kemari bersiap-siap. Selalu seperti itu. Tidak heran jika Zara selalu membuatkan bekal untuknya sebelum berangkat ke sekolahnya sendiri.
Dissa keluar dari kamar mandi dengan seragam sekolah yang sudah melekat indah di tubuhnya. Zara sudah pergi lebih dulu ke sekolah, maklum anak ranjin tidak seperti dirinya. Dia hendak memakai pelembab wajah tapi matanya melihat bekal yang ada di atas meja belajarnya.
"Lo selalu bikin gue nyesel udah nyakitin elo Zar." Hebusan napas berat dari hidungnya seolah menjadi pertanda penyesalannya dimasa lalu mengenai kelakuannya yang sempat menyakiti Zara.
-------
KAMU SEDANG MEMBACA
Thrown Back √
Teen Fiction(Completed) "Lo tahu Frans apa yang paling menyakitkan?" "Apa?" "Disaat kita menyukai sesuatu tanpa tahu kapan waktu untuk berhenti." Frans tertegun mendengarnya. Dia menatap perempuan yang berdiri di sampingnya dengan cukup lama. Ada banyak hal yan...