Mobil yang dikendarai Diana berhenti di depan kafe Alastha. Tempat di mana Diana akan bertemu dengan seseorang. Mereka keluar dari mobil dengan gaya yang berbeda. Yang satu formal dan satunya lagi casual.
Diana berhenti di depan laki-laki yang entah siapa Dissa tidak tahu tapi ada perasaan buruk yang dirasanya saat ini. Dissa menggelengkan wajahnya, berusaha mengabaikan segala pikirannya.
"Rom!" Diana menyebut nama pria itu. Wajahnya terlihat familiar, seperti wajah salah satu teman Frans.
"Eh, akhirnya udah sampai. Duduk!" Dissa mengamati tingkah keduanya. Dia tidak bodoh untuk mengerti situasi yang berada di depannya. "Ladissa ya? Ayo duduk." Dengan ramah pria itu menyuruh Dissa duduk.
"Anak kamu?" tanya Diana basa-basi. Setelah membasahi tenggorokannya yang kering, Diana mencoba berbicara senatural mungkin. Dihatinya kini dia sedang gugup.
"Oh itu dia, dari kamar mandi." Pria yang diketahui Dissa dengan sebutan Rom itu menunjuk kamar mandi di arah belakang tempat duduk Dissa. Mau tidak mau Dissa ikut menoleh.
Dissa tidak tahu ini kebetulan ataukah memang direncana. Anak yang dimaksud Romi adalah Sereo-sahabat Frans. Sereo memakai tema casual seperti dirinya. Laki-laki itu kemudian duduk bersebrangan dengannya.
"Rom, ini anak aku, Dissa." Dissa menundukan wajahnya dengan sopan. "Dan Dissa, itu Sereo, anaknya om Romi." Diana beralih menunjuk Sereo. Sereo bersikap hal yang sama seperti Dissa, menundukkan kepalanya dengan sopan.
"Ternyata tante lebih cantik daripada yang ada difoto," puji Sereo dengan tulus.
"Makasih lhoo. Kamu juga lebih ganteng, sama kayak papa kamu."
"Biasa aja tan."
Dissa mengalihkan pandangannya. Dia tidak suka situasi seperti ini, apalagi melihat mamanya berinteraksi dengan Sereo. Terasa begitu menyesakkan untuknya.
"Diss, kamu suka makanan apa?" tanya Romi dengan hangat. Dissa mengalihkan tatapannya. "Salad buah aja om."
"Oh oke." Pelayan yang tadi mencatat pesanan mereka masuk kembali ke dalam dapur. Susana di meja itu kembali diisi percakapan antara Sereo dan Diana. Sesekali Romi akan ikut menimbrung, sedangkan Dissa lebih memilih diam dan menyeruput sedikit jus jeruk yang sudah sejak datang tadi ada di depannya. Dia tidak berminat mengikuti pembicaraan mereka.
"Kamu satu sekolahankan sama Dissa?" tanya Diana pada Sereo.
"Iya tan." Sereo membenarkan, matanya melirik Dissa yang merasa tidak terganggu dengan namanya yang disebut tadi. "Wahh bagus, kamu bisa jagain Dissa kalau gitu Re," kata Romi dengan antusias.
Kali ini Dissa merasa terusik. Wajahnya menatap ketiga orang yang membahas dirinya. Dia tidak peduli akan sopan santun untuk malam ini.
"Maaf om. Sebenernya kita ada di sini mau membicarakan apa? Saya bisa menebak apa yang terjadi saat ini. Tapi saya butuh penjelasan." Kalimat Dissa cukup membuat atmosfer disekeliling mereka berubah panas. Tidak ada lagi wajah-wajah ramah, yang ada hanya wajah serius.
"Begini Dissa." Romi menangkupkan tangannya ke atas meja. "Saya dan mama kamu saling mencintai. Kami ingin melanjutkannya ke jenjang yang lebih serius. Kami ingin meminta restu dari kalian."
Dissa menolehkan pandangannya ke kanan. Jujur hal sejak tadi yang dia takuti memang benar adanya. Dissa tahu hal ini akan terjadi cepat atau lambat, tapi dia kira mamanya masih orang yang setia. Sekarang dia benar-benar merasa sendiri. Setelah ini mamanya pasti sibuk dengan keluarga barunya jika Dissa menyetujui rencana mereka.
"Dissa," panggil Romi dengan suara yang lembut. "Kami tahu kamu pasti tidak langsung menerima dengan mudah. Om akan buktiin kalau om serius dengan ini."
"Terserah kalian. Lagipula kalian ada atau tidak dihidup saya. Saya tetap sendiri." Dissa membalasnya dengan ketus. Dia tahu itu tidak sopan, namun apa yang lebih menyakitkan dari perilakunya malam ini? Ketika sudah cukup dia melihat perceraian kedua orang tuanya dan tinggal sendirian. Itu lebih menyakitkan dari apapun.
Acara makan malam itu telah selesai. Meski yang meramaikan suasananya adalah Sereo, tapi tetap saja masih terasa canggung. Setelah Romi membayar tagihannya. Mereka berjalan keluar rumah makan yang didahului Diana dan Romi yang masih asik membicarakan sesuatu. Sedangkan Dissa dan Sereo berada di belakang.
"Diss, gue mau ngomong." Sereo menghentikan langkah Dissa. Dia memegang lengan perempuan itu.
Dissa menatap tangan Sereo yang memegangnya dengan tatapan tidak suka. Dia tidak suka disentuh oleh siapapun.
Sereo melepaskan tangan Dissa. "Sorry. Gue terlalu berlebihan."
"Heem."
"Mau ngomong apa?" Dissa menyedekapkan tangannya di depan dada. Matanya menatap Sereo dengan penuh selidik.
"Kita pamit dulu sama mereka."
Dissa menghembuskan napasnya dengan kesal. Berada disituasi seperti ini bukanlah keinginannya. Entah apapun yang berkaitan dengan mamanya, dia sudah tidak peduli. Lagipula siapa yang peduli dengannya? Entah dia hidup atau mati tidak akan ada yang mencarinya.
"Pah, Tan. Sereo mau pergi dulu sama Dissa, nggak papa kan?" tanya laki-laki itu dengan sopan. Sementara Dissa menunggu Sereo di depan mobil ayah Sereo sesuai dengan perintah lelaki itu.
"Udah?"
"Hemmm. Ayo masuk."
—-----—
KAMU SEDANG MEMBACA
Thrown Back √
Fiksi Remaja(Completed) "Lo tahu Frans apa yang paling menyakitkan?" "Apa?" "Disaat kita menyukai sesuatu tanpa tahu kapan waktu untuk berhenti." Frans tertegun mendengarnya. Dia menatap perempuan yang berdiri di sampingnya dengan cukup lama. Ada banyak hal yan...