Dissa menemukan penghuni baru apartement di rumahnya. Siapa lagi kalau bukan Sereo, laki-laki yang saat ini membukakan pintu apartement dengan senyum yang mengembang sempurna dibibirnya. Berbanding terbalik dengan dirinya yang hanya menatap dengan datar. Dia hanya menampilkan pandangan mata yang tidak terarah, terlihat seperti seseorang yang banyak pikiran. Ya, dia memikirkan pesan singkat dari sang papa yang berhasil mengacaukan pikirannya untuk saat ini.
Dissa mendorong pintu yang dipegang Sereo untuk terbuka lebih lebar. Dia masuk begitu saja, meski laki-laki itu mengikutinya di belakang. Dia seolah tidak peduli akan kehadiran Sereo yang muncul di apartement keramat miliknya.
"Diss, gue bakal nginep di sini!" Dissa menaruh sepatunya di rak sebelah pintu ketika Sereo berkata padanya. Gerakan tangan Dissa berhenti sebentar, lalu menaruh sepatu itu ke tempatnya seperti biasa hanya saja raknya sudah terisi lebih banyak sepatu Sereo. "Lo nggak kaget? Seneng gitu kek."
"Oh," gumam Dissa menanggapi kata-kata Sereo yang baginya tidak penting saat ini.
"Oh?" Sereo mengernyitkan dahinya bingung, perasaan Dissa tidak cuek seperti ini. "Gue ada di sini selama seminggu loh," tambahnya untuk memancing Dissa marah. Baginya Dissa sangat lucu ketika marah. Entah mulai dari kapan dia menganggapnya seperti itu.
"Terus? Gue harus gimana?" Dissa berhenti berjalan. Dia beralih menatap Sereo dengan pandangan bertanya. Sebenarnya dia lelah dan ingin segera masuk ke dalam kamarnya. Hanya ketenangan yang ingin dia rasakan saat ini.
"Marah kek biasaanya," ucap Sereo dengan balasan sepolos mungkin yang bisa dia berikan pada Dissa. Situasi saat ini terasa lebih canggung daripada biasanya.
Dissa mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu berbalik badan dan berjalan ke dalam kamar. Sereo yang melihat sikap Dissa hari ini terasa berbeda. Dia hanya bisa melihat sosok Dissa yang kini sudah menutup pintu kamar jauh di depannya. Mungkin memang gadis itu perlu ketenangan untuk saat ini.
"Mama tadi kayaknya denger suara Dissa pulang, kok nggak ada?" tanya Diana yang muncul dari dapur. Di tangannya ada spatula berminyak yang dibawanya di tangan kanan. Clemek yang dipakai melindungi baju depannya menandakan wanita itu sedang memasak untuk makan malam nanti.
"Dia, masuk kamar mah."
"Ohhh, dia emang lebih suka di dalam kamar. Mama aja kadang bingung Dissa ngapain di kamar nggak keluar-keluar. Udah biarin aja, di emang gitu."
"Kali ini Dissa kayaknya beda deh ma. Kayak banyak pikiran."
Diana mengerutkan keningnya. Dia kira Dissa baik-baik saja dan tidak meiliki masalah atau memang dia sendiri yang tidak pernah memperhatikan anaknya. Diana menghela napasnya. Dia memang bukan ibu yang baik untuk Dissa. Dia tidak pernah ada setiap waktu untuk anaknya. Bahkan untuk sekedar bertanya keadaan atau mengajak anaknya berbicara pun tidak pernah semenjak empat tahun terakhir. Padahal dulu ketika Dissa berada di dalam rahimnya dia sangat menjaga dan mengasihinya. Namun kini dia seolah melupakan semua penantiannya dulu ketika menginginkan seorang anak.
"Mama nangis?" tanya Sereo ketika melihat air mata keluar dari kelopak mata Diana.
Diana menghapus air mata yang tidak disadarinya keluar begitu saja. Aroma bawang merah di tangannya yang digunakan untuk menghapus air matanya justru menambah air mata yang keluar di matanya.
"Nggak, mata mama perih dari tangan mama yang tadi ngupas bawang merah. Mama mau ke dapur lagi." Diana berlalu sambil mengedip-kedipkan matanya agar rasa perih dari aroma bawang merah hilang.
Selagi berada di dapur dia ingin membuatkan salad buah untuk Dissa. Dulu jika Dissa dalam keadaan merajuk meminta sesuatu, Diana akan memastikan Dissa berhenti merajuk hanya dengan salad buah yang dia buat. Hal itu selalu berhasil. Ketika Dissa dalam mood yang kurang baikpun hanya dengan salad buah, gadis itu bisa menjadi lebih baik. Seakan-akan salad buah adalah moodboster-nya.
Diana mengeluarkan buah naga, anggur merah, anggur hijau, pear, apel, dan kiwi dari kulkas. Lalu memotongnya menjadi kotak-kotak ukuran sedang. Barulah dia membuat saus saladnya dengan mencampurkan mayonaise kental manis dan air perasan jeruk. Kemudian dituangkan ke dalam satu wadah buah-buahan yang sudah dipotong tadi.
Diana mengambil nampan dan menaruh salad itu di atasnya. Dia beralih menuangkan susu yang baru diambilnya dari kulkas ke dalam gelas. Setelah itu menaruh susunya di samping salad buah. Membawa nampan itu keluar dari dapur menuju kamar Dissa.
"Udah jadi ma masakannya?" tanya Sereo dari ruang keluarga sambil mengganti channel televisi.
"Sudah, kalau mau makan ambil sendiri Re."
"Okey."
Diana mengetuk pintu kamar Dissa dengan tangan kanannya. Tidak ada jawaban. Dia memutuskan membuka pintunya. Ternyata tidak dikunci dan keadaan kamar begitu gelap. Diana hampir menyentuh tombol lampu yang ada di dinding sebelah kirinya. Namun suara Dissa membuatnya mengurungkan niatnya.
"Jangan dihidupkan!" suara itu begitu dingin dan kaku. Membuat Diana kembali merasakan keadaan Dissa yang dulu setelah dia bercerai dengan suaminya. Dissa dulu juga seperti ini, namun lebih parah.
"Mama bawain kamu salad buah sama susu. Mama-"
"Nggak perlu, aku nggak butuh salad buah." Suara itu kini beralih lebih rendah. Ada nada tertahan yang tidak ingin dia perlihatkan.
"Mama cuma mau kamu baik-baik saja. Mama taruh di sini saladnya." Diana menaruh nampan itu di atas meja belajar. "Jangan lupa dihabiskan. Kamu kalau ada masalah jangan lupa cerita juga." Diana menutup pintu anaknya. Sebelum itu dia bisa mendengar kalimat Disaa terakhir yang dia dengar sebelum benar-benar pintu ditutupnya.
"Dissa baik-baik saja kalau kalian tidak memilih bercerai." Itulah kalimat yang didengarnya. Yang cukup menohok hatinya sampai ke titik terdalam dirinya sendiri. Dia tidak tahu bagaimana Dissa kembali terpuruk dengan keadaan seperti ini. Dia tidak tahu hal apa yang harus dia lakukan.
"Ma! Dissa nggak makan malam?" tanya Sereo yang makan di ruang keluarga dengan santainya.
"Mama udah anterin salad buah di kamarnya."
"Dissa baik-baik ajakan ma?" tanya Sereo mengalihkan pandanganya ie arah dapur di mana Diana sedang meminum air putih.
"Nggak papa mungkin."
"Ohh." Sereo kembali memakan makanannya yang masih banyak di piringnya. Mendengar kata mungkin ditelinganya memunculkan sebuah sugesti untuk tidak percaya. Dia rasa keadaan Dissa saat ini tidak dalam keadaan baik-baik saja. Dia harus mengeceknya sendiri. Jika memang Dissa tidak dalam keadan baik, maka dia harus tahu dan mencari tahu akar permasalahannya.
—-----—
KAMU SEDANG MEMBACA
Thrown Back √
Teen Fiction(Completed) "Lo tahu Frans apa yang paling menyakitkan?" "Apa?" "Disaat kita menyukai sesuatu tanpa tahu kapan waktu untuk berhenti." Frans tertegun mendengarnya. Dia menatap perempuan yang berdiri di sampingnya dengan cukup lama. Ada banyak hal yan...