TB-25

84 6 0
                                    

"Apa yang mau lo bicarain?" tanya Dissa.

Sereo bukan membawanya ke taman, cafe, mall, atau lainnya. Laki-laki itu justru menghentikan mobilnya di tepi jalan.

"Gue tahu lo nggak setuju dengan rencana orang tua kita. Tapi gue mohon lo izinin. Mereka juga butuh teman saat masa-masa tua nanti."

"Gue setuju atau enggak mereka masih tetep akan lanjutin hubungan mereka. Jadi buat apa pendapat gue?" Dissa mengalihkan pandangannya pada Sereo. Dia tahu diri untuk tidak memaksakan kehendak orang tuanya. Yang dia takutkan hanya dirinya yang semakin terlupakan.

"Pendapat lo penting dalam hubungan mereka."

"Nggak ada yang penting dari omongan gue."

"Kalau lo nggak penting. Orang tua kita udah nikah sebelum ngenalin anaknya masing-masing."

"Ohh bagus kalau gitu."

"Bagun Dis! Bangun!" Sereo sudah tidak sabar menghadapi Dissa, suaranya meninggi. Dia mengguncang tubuh itu agar bisa diajak untuk berbicara. "Gue tahu lo punya pemikiran yang beda."

"Gue takut dilupain!!" Dissa menaikkan volume suaranya. Dadanya sesak hanya memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bahkan belum terjadi. Dia takut sendirian di dunia ini. Padahal masih ada orang terdekatnya yang pertama kali dia kenal di hidupnya masih hidup tapi melupakannya.

"Lo nggak tahu seberapa hancur gue lihat orang tua gue berantem,cerai, dan mereka ninggalin gue." Dissa mengusap air matanya dengan kasar. Di tatapnya wajah Sereo dengan tegas sebelum mengeluarkan kembali kata-katanya.

"Lo tahu. Gue sendirian selama tiga tahun ini. Gue berjuang buat hidup gue sendiri. Gue selalu yakinin diri gue baik-baik aja. Lo nggak pernah ngerasain gimana rasanya tidak dipedulikan ketika lo masih punya orang tua lengkap. Lo nggak tahu, setelah mereka cerai. Nggak ada yang pernah ngehubungin gue."

"Gue---" Dissa tidak bisa menyelesaikan kata-katanya. Dia terlalu takut mengenang semua keterpurukannya dulu. Seberapa hancur dia dan seberapa susahnya dia bangkit sampai dititik ini. Itu tidak mudah, seharusnya mereka tidak muncul lagi dihidupnya hanya untuk menghancurkan dunianya kembali. Dia sudah tidak punya apapun untuk diperjuangkan jika bukan ada sahabat di belakangnya.

Sereo tahu seberapa berat yang dialami Dissa. Seperti yang terjadi dihidupnya. Namun dia tidak tahu bahwa perempuan di sampingnya ini mempunyai masalah yang begitu memilukan. Kedua orang tua Dissa berpisah karena sebuah perceraian, sedangkan orang tuanya berpisah karena ajal yang memisahkan keduanya.

"Pikirkan matang-matang Dis. Lo nggak mau sendiri, mereka juga nggak mau sendiri. Gue harap lo izinin mereka."

Sereo menyetir mobilnya kembali. Sedangkan Dissa masih menangis. Menangis dalam diam lebih menyakitkan daripada menangis dengan raungan. Terlihat betapa tidak berdayanya dia untuk meluapkan semua emosinya.

Benar memang air mata mengandung racun yang harus dikeluarkan. Racun yang jika ditahan akan tetap mengendap di hatinya. Yang membuatnya tidak akan pernah merasa lega. Kali ini tangisannya berhasil mengobati sedikit sesak yang dia tahan dari dulu.

Setelah beberapa saat, mereka sampai di apartement Dissa. Tidak ada yang ingin bersuara. Dissa membuka pintunya tanpa berkata apapun pada Sereo.

"Diss. Besok gue jemput jam setengah tujuh." Dissa tidak menjawab, justru menutup pintu mobil Sereo dengan sangat kencang. Membuat sang pengemudi menatap horror wanita yang kini sudah berjalan menuju lobi apartement.

***

Seperti apa yang dibilang Sereo kemarin. Laki-laki itu benar-benar menepati janjinya. Tepat pukul setengah tujuh, dia dikejutkan dengan kedatangan Sereo yang sudah duduk di ruang tamu apart-nya. Pasti Diana yang menyuruh Sereo masuk, siapa lagi kalau bukan wanita itu.

"Lo ngapain di sini?" tanya Dissa sambil mengucek matanya. Gadis itu tentu masih memakai baju tidur bergambar kepala teddy bear besar di tengahnya.

"Njemput lo." Sereo menatap santai ke arah gadis itu. Tangannya bersedekap di dada dan kaki kirinya berada di atas kaki kanannya. Persis seperti bos yang berbicara dengan bawahannya. Benar-benar menyebalkan dimata Dissa.

"Kalau lo masih di sini. Gue jamin lo bakalan telat." Bukannya melangkah ke kamar mandi, Dissa justru mendudukkan tubuhnya ke atas sofa. Tidak berniat untuk bersiap-siap ke sekolah.

Bau harum masakan ditangkap oleh indra penciumannya. Baunya semakin lama semakin dekat. Dissa berubah lapar, dia ingin mengambil makanan itu. Namun tangannya ditahan oleh pemiliknya.

"Mandi dulu, ini buat Sereo. Nanti mama siapin di bekal kamu."

"Nggak ah. Nggak sekolah aku ma."

"Ohhh. Yaudah nggak usah makan."

"Mahh!! Ah!" Dissa bangkit dari duduknya. Mamanya sengaja membuatkan nasi goreng kesukaan Dissa. Katanya, masakannya berbeda dari masakan orang lain. Bahkan jika disuruh memilih nasgor restoran atau buatan mamanya, Dissa akan memilih masakan mamanya. Maklum, dulu Dissa sangat dimanja oleh kedua orang tuanya.

Sepeninggalnya Dissa, Sereo dan Diana menikmati acara makan pagi mereka.

"Maafin Dissa ya Re. Anaknya emang gitu. Keras kepala, harus dibujuk dulu. Padahal aslinya Dissa itu manja."

Diana mengenang kembali masa-masa dimana Dissa kecil berlari-lari di taman bunga sambil membawa alat penangkap kupu-kupu. Tertawa tanpa beban. Terkadang Dissa akan berlari ke arahnya dan bercerita banyak hal saat malam hari. Namun, semua itu telah usai. Kini Dissa yang sekarang bukanlah Dissa si kecil yang akan memeluknya ketika ketakutan. Perempuan itu sekarang begitu dingin dan tidak tersentuh. Entah apa yang harus dia lakukan.

"Gapapa tan. Dissa pasti bakal jadi lebih baik. Hanya saja perlu ada yang berjuang untuk menyadarkannya."

"Sudahlah. Tante mau nyiapin bekal dulu. Jangan lupa dihabiskan." Diana masuk ke dapur, bersiap menyiapkan bekal untuk Dissa. Sudah lama sekali dia tidak melalukan rutinitas itu.

Cukup sepuluh menit bagi Dissa untuk bersiap-siap. Sereo yang melihatnya hanya geleng-geleng kepala. Dia tidak tahu ada perempuan sesingkat itu untuk bersiap-siap. Matanya meneliti dari atas hingga bawah.

"Ngapain lo lihat-lihat?" tanya Dissa dengan ketus.

"Yokk berangkat!"

Bukannya mengikuti ajakan Sereo, Dissa justru melangkah ke dapur. "Lohhh. Belum berangkat? Udah mau telat lohh. Nih mama siapin bekal kamu."

Diana memasukkan bekal yang dibuatnya ke dalam tas gendong Dissa. Sedangkan dirinya sibuk meminum susu sapi yang sudah dia tuangkan digelas.

"Udah, Dissa berangkat." Dissa meletakkan gelas bekas susu ke atas meja makan. Tanpa bersalaman terlebih dahulu, Dissa langsung meninggalkan Diana.

"Lo nggak salaman?" tanya Sereo. Dia melihat kelakuan Dissa yang menurutnya tidak patut menjadi contoh.

"Kalau lo mau telat ya ayo." Dissa melenggang pergi. Tidak menghiraukan pertanyaan Sereo.

—-----—

Thrown Back √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang