TB-14

117 9 4
                                    

Lagi. Delon mengarahkan untuk berkumpul hari ini. Tinggal satu minggu lagi acara lomba untuk memeriahkan ulang tahun sekolah akan segera diadakan. Bukan hanya kesibukan di sekolah. Dissa juga disibukkan dengan acara ultah Zara yang tinggal dua hari lagi. Bahkan sudah jarang dia tidur di apartementnnya selama dua hari kemarin.

Badannya sudah terasa tidak karuan. Dia ingin segera menyelesaikan semuanya dan kembali seperti dulu lagi. Seperti orang yang tidak terlihat sibuk dan tetap tenang. Sungguh bukan ini yang dia inginkan. Keinginannya ya hanya bersekolah tanpa terlibat dalam organisasi.

"Dissa!!" Suara cempreng pemilik dari orang bernama Shakila itu mengagetkannya. Perempuan dengan rambut lurus panjang menghampirinya dengan senyuman yang merekah. Dialah satu-satunya orang yang dengan gencar ingin bersahabat dengannya. Perempuan dengan dandanan yang bisa terbilang waw. Jauh di atasnya untuk saat ini. Sangat berbeda dari dirinya yang berkacamata, rambut dikuncir kuda, beserta seragam yang acak-acakan. Sangat berbeda seratus delapan puluh derajat.

"Ayokkk!" Shakila dengan semangat menarik tangan Dissa. Setelah melewati pintu kelas, barulah dia sadar kalau ada Ramdan. "Ihhh. Aku kebelet Diss. Bentar ya. Pegangin." Shakila menyerahkan tasnya sebelum meluncur ke kamar mandi yang letaknya masih jauh.

"Lo marahan sama Frans, Ram?" tanya Dissa memecah keheningan.

Semenjak kejadian dia bertemu dengan Shakila dan Ramdan malam itu yang dia tahu juga ada Frans. Semenjak itu juga Ramdan menjaga jarak dengan sahabatnya yang lain. Dissa tahu jika Ramdan tidak ingin kalau dirinya tahu keberadaan Frans malam itu. Tapi tanpa sepengetahuannya, Dissa lebih dahulu tahu.

"Nggak kok." Ramdan menyenderkan tubuhnya pada tembok dibelakang. Sedangkan Dissa duduk di atas bangku yang memang diletakkan di depan kelas.

"Lo nggak perlu belain gue sampe segitunya. Justru lo harus nyadarin Frans kalau dia salah. Gue nggak mau dia nyesel kayak gue dulu. Gue emang salah. Dan gue juga tahu kalau dia jadi kayak sekarang itu karena rasa balas dendam sama apa yang gue lakuin dulu. Gue tahu gue salah. Gue nyesel, tapi gue nggak mungkin bisa ngembaliin semuanya kayak dulu. Ngembaliin Frans yang masih bisa diselamatin jika gue nggak dengan tololnya ngebully dia habis-habisan."

Satu persatu tetesan air mata Dissa mengalir dipipinya. Ramdan diam, memilih hanya menyaksikan air itu mengalir tanpa bisa dicegah. Shakila yang memang mendengar pembicaraan secara tidak langsung pun ikut merasakan pahitnya rasa bersalah Dissa. Direngkuhnya tubuh perempuan itu.

"Diss. Kadang lo hanya perlu cukup untuk diam. Diam merasakan semua sakit, diam merasakan kesakitan, dan diam memendan perihnya kesakitan. Gue yakin semua akan baik-baik saja."

***

Keadaan ruang osis sangat tidak karuan. Beberapa barang yang akan digunakan nanti diletakkan di atas kursi begitu saja. Sementara anggotanya sibuk mengurusi hal lain. Bahkan Delon belum muncul diruangan itu. Sang ketua osis itu pasti sibuk dengan urusannya, dengan berkas-berkas yang akan digunakan untuk pengadaan acara.

"Dis. Gue mau ngurus ini dulu sama Ramdan. Lo tunggu aja sini." Shakila melenggang pergi bersama Ramdan. Meninggalkannya seorang diri.

Getaran di saku roknya menandakan adanya chat yang masuk. Maklum, dia sering lupa mematikan data seluler. Sambil membaca chat, dia duduk di kursi yang tidak ditempati barang.

Zaraaaaaaa

Disssss

Heeem

Nanti gue jemput jam 5. Lo harus udah keluar lewat gerbang pokoknya

Teruss. Lo kira gue nggak lewat gerbang gitu

Heem. Kan biasanya lo loncat kayak katak

Hehhh. Dasar. Gue sibuk nih

Iya deh iyaa

"Ekheeem." Dissa mendongakkan wajahnya. "Semua orang disini lagi sibuk. Lo sibuk main hp. Nggak tahu diri." Laki-laki yang diketahui Dissa bernama Rizal itu menginterupsinya, menatapnya dengan tatapan tajam.

"Sorry. Gue bisa bantu apa?" tanyanya sambil memasukkan ponselnya ke dalam tas.

"Nih. Lo panitia lomba tali tambangkan? Lo buat bagan lombanya. Sama Frans sekalian."

Rizal hendak meninggalkan Dissa. Tapi langkahnya terurung ketika suara perempuan itu memanggilnya. Tubuhnya kembali menghadap ke arah Dissa.

"Dia dimana?"

"Tuh." Matanya mengikuti arah yang ditunjukan Rizal. Di sudut ruangan paling pojok terdapat laki-laki yang dicarinya. Laki-laki itu tidur sambil mendengarkan lagu.

Dia seharusnya pergi menjauh bukan malah memilih mendekat. Dia bisa membuatnya sendiri tapi bukan itu artinya sebuah organisasi. Organisasi ada itu untuk bekerjasama, bukan bekerja secara individu.

"Kalau dilihat-lihat. Frans itu nggak pernah berubah. Meskipun gaya dan sikapnya beda. Dia boleh bersikap buruk untuk saat ini. Tapi hatinya masih sama. Gue yakin itu."  Semangatnya dalam diri. Berusaha membangun sebuah semangat yang tidak dia yakin itu masih bisa mendapatkan kemungkinan yang diharapkan.

"Frans." Pertama, laki-laki itu masih diam. "Fransss." Dissa mencondongkan wajahnya supaya suaranya masuk benar-benar ditelinga orang itu. "Fransss!" Untuk ketiga kalinya pun tidak ada jawaban. "Franssss!!!" kali ini Dissa memanggil Frans untuk keempat kalinya. Suaranya sudah meninggi. Tangannya pun tak tinggal diam, terulur ke pipi yang sedikit gembulnya Frans. Menoel-noel dengan telunjuknya. Ternyata berhasil membuat sang empunya membuka mata. Bukan hanya itu, tangannya dipegang dengan erat oleh Frans.

"Lo ganggu gue," kata Frans dengan cuek. Matanya memerah tanda kekurangan untuk tidur.

Dengan sangat keras, tangan Dissa dilepaskan. Melihat keadaan Frans untuk saat ini, Dissa tidak ingin memperparah emosi Frans yang bisa saja memuncak. Meskipun setelah apa yang terjadi beberapa hari lalu pada dirinya yang bisa saja membenci laki-laki itu. Tetapi kenyataanya dia tidak bisa untuk melakukan itu.

Frans mulai menutup matanya kembali. Melihat Frans yang benar-benar butuh istirahat, rasanya dia tidak perlu meminta bantuan untuk membuat bagan lomba.

Keadaan disekitarnya terlalu bising untuk digunakan tidur. Dengan tiba-tiba, Dissa menarik tangan Frans. Membawanya keluar ruangan. Tentu Frans berusaha menolak, tapi rasa kantuknya lebih mendominasi. Tidak ada tenaga lagi untuk menolaknya.

"Nah. Sini kalau mau tidur. Udah sepi dan tenang. Kamu butuh istirahat." Dissa menepuk pahanya. Keadaan taman kelas yang sepi, sejuk, dan rindang cukup nyaman dijadikan tempat untuk tidur.

Awalnya Frans tidak mengerti. Tapi ketika rasa kantuknya semakin tidak terelakkan, Frans mulai menaruh kepalanya disana. Berusaha terlelap dengan tenang.

Dissa baru sadar. Untuk pertama kalinya dia bahagia melihat seseorang tidur di dekatnya. Tanpa sadar, Dissa menggores-gores kertas yang diberikan Rizal dengan bolpoinnya. Bukan untuk membuat bagan, melainkan menggambar seseorang yang terlelap dipangkuannya kini.

—-----—

Thrown Back √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang