Satu bulan telah terlewati begitu saja. Semua persiapan pernikahan Diana dan Romi telah selesai. Besok pernikahan mereka akan dilangsungkan disalah satu hotel kenamaan di Jakarta. Semua rekan kantor Diana dan para rekan kerja Romi sudah mendapatkan undangan mereka. Besok pasti akan banyak orang yang datang.
Dissa kembali terdiam mengamati lampu-lampu kota Jakarta yang penuh dengan warna-warni lampu dari kaca jendela apartementnya. Dia tidak pernah tahu jika semua yang terjadi saat ini seperti alur yang menyatu satu sama lain yang mengantarkannya pada titik ini. Dua bulan lagi ujian akhir semester akan dilaksanakan. Dia tidak sabar akan pindah ke Paris, kota impiannya. Kenangan yang di laluinya di kota ini tidak akan pernah dia lupakan. Bagaimana dia tumbuh dengan caranya sendiri dan kedewasaan yang dia temukan untuk dirinya. Semuanya adalah bagian dari pengalaman hidupnya yang terindah.
Namun ada yang mengganjal dihatinya. Sudah tiga hari ini ayahnya sulit untuk dihubungi. Bahkan nomor teleponnya selalu diluar jangkauan. Perasaannya pun tidak menentu. Ada perasaan sedih yang tiba-tiba datang padanya. Dia harap, besok semua kan baik-baik saja seperti biasanya.
***
Tiga jam sebelum acara pernikahan dimulai, Dissa masih berdiri menyambut tamu di depan pintu masuk. Menebarkan senyumannya dengan terpaksa bersama dengan Sereo di sisi lainnya. Namun pikirannya tidak tertuju pada acara ini. Justru dia memikirkan keadaan ayahnya yang entah sudah berapa kali coba dia hubungi. Tidak ada jawaban dan tidak ada cara untuk menemui ayahnya. Dia sendiri tidak tahu di mana Ayahnya tinggal dan apa bagaimana kehidupannya setelah berpisah dengan Mamanya.
“Lo kenapa Dis?” tanya Sereo yang melihat raut Dissa yang menyiratkan kekhawatiran. Melihat tatapannya yang tidak fokuspun membuat Sereo semakin khawatir.
“Ohh, nggak papa.”
Tidak seperti kebiasaannya, kali ini Dissa membawa ponselnya. Bahkan tidak melepaskannya barang sedetik pun. Sampai-sampai hal itu dapat ditangkap oleh Sereo dengan jelas. Dia merasa ada yang tidak beres dengan semua ini.
“Lo tumben bawa hape kemana-mana. Biasanya lo tinggal gitu aja.”
“Ohh. Cuman buat jaga-jaga aja. Siapa tahu ada yang penting.” Dissa menatap ponselnya sebentar. Kemudian dia ingat jika Frans belum datang juga. “Emm, Frans jadi datang?”
“Jadi, mungkin lagi diperjalanan.” Dissa mengangguk mengiyakan.
Drrrttttt... drrrttt...
Merasakan ponselnya bergetar, Dissa langsung mengangkatnya. Terdengar suara sopir Ayahnya yang berbicara.
“Saya akan ke sana.” Dissa menutup teleponnya. Tanpa mengucapkan salam Dissa berlari ke arah jalan raya. Mengabaikan suara Sereo yang memanggilnya. Dia segera masuk ke dalam taksi tanpa memperdulikan Sereo yang berusaha mengejarnya.
Dia tidak ingin mengacaukan pesta pernikahan Mamanya hari ini. Hanya dengan mengirimi Sereo pesan singkat, dia harap semuanya akan baik-baik saja. Yang terpenting saat ini adalah Ayahnya, dia harus sampai di sana secepat yang dia bisa.
Setelah hampir tiga tahun tidak bertemu, dia hampir membenci Ayahnya dan Mamanya yang berpisah karena sebuah alasan yang Dissa tidak pernah bayangkan sebelumnya. Jika dia tahu apa yang sebenarnya terjadi, Ayahnya pasti bisa sembuh dan masih bisa menikmati hari-harinya bersamanya. Baru kemarin rasanya dia membuka hatinya untuk mereka. kali ini dia harus menelan pahitnya kenyataan kembali. Penyakit yang selama ini di derita Ayahnya, saat ini membuat Ayahnya terbaring koma di rumah sakit. Hari ketiga, setelah pertemuan mereka. Ayahnya koma dan baru hari ini sopirnya menghubungi dirinya. Di saat yang benar-benar Dissa tidak sangka sebelumnya. Tapi baginya ini lebih baik daripada melihat Mamanya menikah dengan Ayahnya Sereo. Sesuatu hal yang sebenarnya sangat tidak dia sukai sebelumnya. Apalagi harus bersikap seolah-olah dia bahagia saat ini.Dissa segera berlari ke dalam rumah sakit tempat ayahnya di rawat. Namun, suasana rumah sakit kala itu penuh denagn hiruk pikuk orang-orang berlalu lalang berlari ke sana-kemari membawa brangkar dan alat kedokteran lainnya. Sepertinya baru saja ada kecelakan lalu lintas. Terlihat banyaknya orang di hallrumah sakit saat ini. Bahkan untuk menyelip pun Dissa hampir tidak bisa. Ada satu perawat beserta dokter yang membawa pasien dengan banyaknya lumuran darah lewat di depannya.
Meski pasien itu wajahnya berlumuran darah, tapi Dissa bisa mengetahui dengan jelas siapa yang saat ini berada di atas brangkar itu. Dia ... Frans, dengan kemeja putih dan jas hitam berlumuran darah. Dissa tidak siap dengan kenyataan ini, kenyataan yang membawanya sampai ke titik terlemahnya. Dua orang yang dia sayang berada di rumah sakit dan dalam keadaan yang tidak sadarkan diri. Bagaimana bisa takdir membuatnya benar-benar jatuh sejatuh-jatuhnya saat ini. Bahkan untuk menangis pun rasanya terlalu berat, tidak ada yang berubah dan tidak ada beban yang terangkat. Justru semakin terasa berat untuknya.
“Apa lo baik-baik saja?” Sereo mendudukkan dirinya di samping Dissa. Setelah acara selesai, Sereo langsung menuju ke rumah sakit tempat Dissa berada. Dia tidaj bisa meninggalkan acara seperti Dissa. Yang ada dia akan membuat suasana kacau. Maka dari itu dia memilih untuk tinggal.
“Apa acaranya berjalan lancar?” tanya Dissa dengan air matanya yang tidak berhenti dari kelopak matanya.
“Tentu saja.” Sereo menusuk susu kotak dengan sedotan yang dia bawa dan membuka bungkus roti di tangannya. Kemudian memberikan makanan dan minuman itu pada Dissa. “Lo harus makan Dis.”
“Gue nggak laper Re.”
“Nangis juga butuh tenaga Dis. Lo kalau nangis pasti butuh tenaga juga buat ngeluarin air mata lo. Lo makan ya.” Gurauan Sereo kali ini benar-benar tidak tepat. Meski Dissa tersenyum, tapi air matanya tetap turun. Justru semakin terlihat kacau.
“Apa semuanya akan baik-baik saja?”
“Iya, semua akan baik-baik saja. Semua pasti akan terlewati Diss. Dan apa yang lo rasakan saat ini akan terhapus begitu saja. Lo bahkan akan melupakan rasa saat ini nantinya.”
Iya, Dissa berharap semuanya akam baik-baik saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thrown Back √
Ficção Adolescente(Completed) "Lo tahu Frans apa yang paling menyakitkan?" "Apa?" "Disaat kita menyukai sesuatu tanpa tahu kapan waktu untuk berhenti." Frans tertegun mendengarnya. Dia menatap perempuan yang berdiri di sampingnya dengan cukup lama. Ada banyak hal yan...