TB-10

105 8 2
                                    

Seperti ucapannya kemarin. Dissa tidak ikut mencari peralatan yang akan mulai mereka cicil. Dia sudah lebih dulu menjalankan kakinya keluar sekolah. Menaiki bus untuk sampai di cafe tempat dia bekerja.

"Dis, kalau udah selesai bersihin meja disana ya," kata Tasya. Perempuan itu menunjuk beberapa meja kosong yang masih terdapat piring kotor di atasnya.

"Iya kak."

Setelah menyelesaikan cucian piringnya. Dissa keluar untuk membersihkan meja yang tadi ditujukkan Tasya. Suasana sore di kafe itu cukup lengang hanya beberapa pengunjung yang datang. Bukan karena kafe itu tidak laris, tapi memang ketika sore sedikit pengunjung.

Lonceng di depan pintu masuk berbunyi. Penjaga kasir menyapa pelangganya. Seperti hampir kebanyakan, pelanggan itu duduk di salah satu meja. Kali ini meja yang baru dilap Dissa.

"Maaf saya baru bersihkan. Bisa mas pindah aja yang udah bersih," kata Dissa. Dia masih sibuk membersihkan meja itu sedangkan pelangganya tidak mau bergerak. Dia mendongak. "Ngapain lo disini?"

"Nyari tali tambang." Frans mendekapkan tangannya.

"Lo nggak lihat gue lagi ngapain! Gue nggak ada waktu buat ngurusin hal-hal kayak gitu." Dissa meningalkan meja. Membawa serta piring kotor yang tadi berada di sana.

Frans tidak tinggal diam. Dia melangkah menuju kasir. Entah berbicara apa tapi bisa dipastikan setelahnya Dissa sudah kembali kehadapannya lengkap dengan seragam sekolah beserta tasnya.

Dissa melirik sekilas wajah Frans dengan mata sinisnya sebelum berlalu. Frans merasa menang tentu saja. Dia beralih mengikuti kepergian Dissa.

Motor Frans melaju membelah jalanan. Dibelakangnya ada Dissa yang duduk dijok belakang. Tanpa menggunakan helm karena memang Frans tidak pernah membawa double. Dissa hanya diam sambil memainkan ponselnya.

Mereka mengelilingi hampir setiap tempat yang mungkin dapat meminjami mereka. Gerutuan dari mulut Dissapun berulang kali keluar.

"Kenapa pinjem? Beli ajakan bisa."

"Terus lo pikir tali tambang murah? Kalau iya terus belinya dimana?"

"Yakan lebih gampang beli. Ngerepotin aja."

Motor Frans kembali berhenti. Dissa sudah menghitung, dan ini kali kelima. Frans lebih dulu berjalan di depan. Dia mengetok pintu kayu yang mereka datangi. Rumah itu masih terlihat seperti rumah kuno pada umumnya yang dibangun menggunakan pohon jati. Tapi tak dipungkiri, rumah itu jauh lebih indah daripada gaya rumah seperti sekarang, bagi Dissa.

"Ehh. Mas Frans ya?" tanya laki-laki paruh baya dengan tubuh kurus. Kulitnya sudah keriput. Rambutnya juga sudah banyak yang memutih.

"Iyaa Pak. Lama nggak ketemu." Frans menyalami tangan bapak tua itu diikuti oleh Dissa.

"Udah banyak berubah ya mas. Ada apa kesini? Tumben?" Pak tua itu mempersilakan tamunya untuk duduk di kursi depan rumah yang tersedia.

"Saya mau pinjam tali tambang pak. Untuk satu minggu. Bisa?" tanya Frans dengan sopan.

Dissa mengerjapkan matanya tidak percaya. Dari semua perubahan yang terjadi dengan Frans, ternyata laki-laki itu masih menggunakan kesopanan.

Perasaan bersalah menghantuinya. Apa Frans menjadi laki-laki menyebalkan di sekolah itu karena perlakuannya dulu atau memang ada alasan lain? Jika benar berarti secara tidak langsung dia sudah merusak anak orang lain. Membuat orang itu menjadi buruk.

"Bisa. Sebentar ya saya ambil dulu." Pak Abdul yang tadi bicara padanya sudah masuk kembali ke dalam rumah. Meninggalkan Frans dengan Dissa seorang diri.

"Heh." Frans menyentakkan Dissa ke dalam dunia nyata. Lamunannya buyar ketika laki-laki itu memukulkan tangannya di atas meja dengan keras. "Lo ngelamun aja. Kayak orang banyak pikiran."

Dissa menghembuskan napasnya. Menetralkan jantungnya yang berdetak lebih kencang. Dia menatap Frans, laki-laki itu menaikkan alisnya. Kenapa?

"Lo kenal bapak itu darimana?" itulah pertanyaan yang dipikirkan Dissa saat pertama kali datang.

"Emang penting buat lo?" tanya Frans dengan ketus.

"Yakan gue cuma nanya."

Tidak ada pembicaraan yang terlibat lagi. Pak Abdul kembali dengan membawa satu kantong plastik yang ditebak isinya adalah tali tambang.

"Bawa!" setelah mengatakan itu, Frans berjalan ke arah motornya.

"Makasih ya pak." Dissa mengambil alih kantong itu. Ternyata tidak seperti perkiraannya. Kantong itu berat tapi masih bisa diangkat. Dissa berjalan sampai di motor Frans yang diparkirkan cukup jauh dari rumah pak Abdul.

Rumah pak Abdul memang berada di gang sempit. Maka dari itu Frans memilih memarkirkan motornya di depan gang.

"Cepetan naik." Frans sudah menstarter motornya.

"Iya bentar." Dissa sudah menaikkan kakinya ke pijakan. Tapi Frans sudah lebih dulu menggegas motornya menjauhi Dissa.

Kaki Dissa yang semula berpijak di pijakan motor kehilangan keseimbangannya. Dia jatuh terjerembab di atas aspal. Tangannya dia jadikan tumpuan. Terlihat berdarah ketika dia sudah berhasil membalik badannya. Kakinya juga lecet.

Terpikir dia ingin kembali ke rumah Pak Abdul untuk meminta obat. Tapi diurungkannya. Dia tidak terlalu akrab. Dengan sangat terpaksa dia berjalan. Menyusuri jalanan aspal dengan kaki berdarah dan berat kantong plastik yang dibawanya semakin membuat tangannya terasa sakit. Dia juga tidak tahu arah jalan itu.

***

Shakila merebahkan tubuhnya dilantai ruang osis. Hampir dua jam lebih dia mencari banyak peralatan. Berkeliling dari satu toko ke toko lainnya. Meminta bendahara lagi untuk memberikan uang ketika uang tidak cukup. Bahkan sudah selama itu juga Frans dan Dissa belum menampakkan wajahnya.

Setelah sekolah bubar mereka rapat per seksi lagi. Tapi saat Dissa tidak ada, Frans sudah menjanjikan dia akan menjemput dan mengajak Dissa untuk ikut mencari. Sudah selama itu pula mereka belum datang.

"Nih!" Ramdan berjongkok di samping kepalanya. Menyerahkan satu botol air mineral dingin. Botol itu ditempelkan dipipi Shakila. Terasa segar. Belum selesai menikmati rasa segarnya, Ramdan sudah menariknya.

"Jangan dilepas." Shakila menarik pergelangan Ramdan. Membawa tangan itu melakukan kegiatannya yang semula. Berada disamping pipinya. "Tunggu bentar."

Kali ini Ramdan tanpa banyak protes menuruti apa yang diinginkan perempuan itu. Terasa pegal dikakinya, dia merubah duduknya menjadi menyila.

"Frans sama Dissa kok lama ya?" tanya Shakila mengungkapkan pertanyaan yang selalu muncul dibenaknya.

"Palingan langsung pulang."

"Kok aneh sih. Dia udah janji mau balik lagi loh." Shakila beralih menjadi duduk menyila mengikuti Ramdan. Mereka berhadap-hadapan.

Keadaan ruang osis itu memang masih ramai. Seolah tersihir, Ramdan hanya terpaku pada wajah perempuan di depannya. Tangannya bergerak menempelkan botol dingin itu lagi.

—-----—

Thrown Back √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang