TB-29

84 7 0
                                    

Pagi ini Sereo kembali mendatangi apartemen Dissa. Demi mengunjungi sang calon mama-yang akan menjadi mamanya nanti-ketika Dissa mau memberi restu untuk mereka. Sereo memarkirkan mobilnya ke area parkir yang tersedia. Dia keluar dari mobil dan mengunci mobilnya dengan tombol yang ada dikunci mobil.

Sebelum melangkah keluar dari area parkir, matanya lebih dulu melihat mobil Frans yang terparkir disana. Jadi benar Frans peduli dengan Dissa, sekarang terlihat jelas. Ada senyum yang terbit dibibir tipisnya. Dia kembali melangkah menuju lift untuk sampai ke apartemen Dissa.

Sereo memencet bel apartemen Dissa. Beberapa menit kemudian pintu itu terbuka. Menampilkan wajah Frans yang menatapnya dengan terkejut. Sedangkan Sereo justru tersenyum semanis mungkin.

"Lo ngapain ke sini?" tanya Frans dengan tatapan tajamnya seperti kemarin.

Sereo memegang pintunya, membuka ruang lebih lebar agar dia bisa masuk ke dalam ruang apartemen. Matanya menatap Frans seolah mengejek.

"Mau nemuin pacar gue. Siapa lagi?" Sereo mulai akting menjalankan tugasnya seperti perjanjian mereka kemarin-diantara para sahabat Dissa. Hal itu mendapat respon Frans dengan tatapan seolah tidak setuju jika Dissa diakui sebagRautberubaberubah berubaberubah tegas.

Sereo tidak berniat meladeni Frans lagi. Dia melangkah ke dalam apartemen. Rasa lapar diperutnya tidak bisa dia tahan lagi. Apalagi tidak ada papanya di rumah, beliau kembali keluar kota untuk sampai minggu ke depan. Alhasil dia mengabari Diana tadi malam untuk mengizinkan dia makan di sana setiap hari. Tentunya Diana sangat senang, apalagi Sereo cukup menyenangkan diajak berbicara satu sama lain.

"Wuihh udah siap aja." Sereo melirik jam tangan di tangan kirinya. Pukul 06.00 Dissa sudah berpakaian lengkap dengan seragamnya. Berbeda dengan keadaan kemarin, di mana Dissa justru baru bangun pukul 6.30 yang berhasil membuatnya harus ekstra sabar menunggu.

"Kenapa?" tanya Dissa dengan cuek sambil memakai sepatu. Rambutnya yang tergerai jatuh ke bawah seiring tubuhnya yang menunduk.

"Kemarin aja pas gue dateng lo masih pakai baju tidur. Mana mepet lagi berangkatnya. Beda sama yang sekarang. Kelihatan semangat gitu." Sereo meletakkan tas punggungnya ke sofa.

"Iyalah." Dissa selesai mengikat tali sepatunya. Dia beralih menatap Sereo yang berdiri menatapnya. "Ngapain lo ke sini?"

"Mau makan. Laper gue." Sereo berlalu ke dapur. Namun telinganya masih sempat mendengar Dissa berucap.

"Belum jadi sodara aja udah minta makan. Gimana kalau udah jadi, bisa-bisa nggak ada sisa buat gue."

"Gue denger kata-kata lo!" teriak Sereo setelah jauh dari jangkauan Dissa. Lelaki itu sengaja membuat Dissa tambah kesal. Dia merasa Dissa sudah mulai sedikit mau menerima dia sebagai keluarganya.

"Mah!" Sereo memanggil Diana yang sedang memasukkan lauk pauk ke dalam tiga wadah bekal berwarna pink, biru, dan hijau yang juga sudah berisi nasi dibagian yang lain.

"Hei. Udah dateng ternyata." Diana berbalik mengembalikan wajan ke tempat pencucian piring. Lalu kembali membawa piring yang berisi makanan yang sudah dia siapkan untuk Sereo. "Nih, mama udah siapin. Di makan." Diana meletakkan piring itu ke depan Sereo.

"Ma, aku pergi!" Dissa muncul dari arah pintu masuk dapur. Lalu mengambil dua wadah bekal berwarna hijau dan biru.

"Udah siap aja mau berangkat. Gitu ya kalau sama orang yang disayang," sindir Sereo yang berhasil mendapat tatapan elang Dissa. Perempuan itu mengambil bekalnya lalu berbalik dengan cepat. Mengibaskan rambut panjangnya dengan sengaja agar mengenai wajah Sereo.

"Gila. Lo nggak sopan banget. Itu potong?!" tantang Sereo dengan geram. Namun Dissa justru berjalan menjauh dari dapur. "Ehhh lo nggak salaman sama mama?!!" teriak Sereo kembali yang hanya dianggap angin lalu saja oleh Dissa. Terbukti perempuan itu tidak berbalik, apalagi membalasnya.

"Udah, kamu makan aja."

"Tapi mah, kalau Dissa dibiasain dia bisa ngelunjak. Mama tetap orang tua Dissa meski semua yang udah terjadi. Seharusnya Dissa bersikap sopan sama mama, nggak ada alasan lain untuk nggak sopan.

"Dia masih butuh waktu Re. Mama yakin nggak lama lagi dia bakal balik sopan lagi kok. Sekarang kamu selesain makan. Ntar terlambat. Dan ini bekal kamu." Diana menyodorkan bekal dengan wadah berwarna pink. Dia menelan kunyahannya dengan susah. Pasti Dissa sengaja mengambil wadah yang berwarna biru dan hijau agar dia membawa yang berwarna pink.

"Nggak ada yang lain bun?" tanya Sereo mendramatisir.

"Nggak ada, semua wadah ada di rumah lama mama. Ini aja mama ambil sebelum kesini, itupun diantar ayah kamu."

"Yaudah deh ma. Nggak pa-pa." Sereo kembali melahap makanannya. Makanan yang dibuat Diana terasa cocok dilidahnya. Sudah lama dia tidak memakan masakan rumah jika tidak Diana yang memasaknya.

"Ayah kamu seminggu-kan di luar kota, bagaimana kalau kamu tinggal di sini saja daripada kamu datang pagi dan sore untuk makan. Pemborosan bahan bakar. Kamu tinggal di sini aja. Masih ada satu kamar."

"Nggak pa-pa mah? Kalau Dissa bagaimana?"

"Biar mama yang ngomong."

Sereo mengangguk. Dia sudah lama tidak berbicara dengan wanita yang seperti mamanya. Lama sekali sampai dia lupa bagaimana bersikap pada orang yang berumur sesuai mamanya. Dia sangat beruntung bertemu Diana. Rasanya dia seperti mendapat sosok ibu baru yang sudah lama hilang. Dia bersyukur Diana mau menganggapnya seperti anaknya sendiri dan memperbolehkannya memanggil Diana dengan sebutan mama.

-------

Thrown Back √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang