TB-16

111 11 0
                                    

Drrrrtttt..... Drrrttttt......

Ponsel yang berada di saku roknya bergetar, membuat sang empunya terbangun dari tidurnya. Entah apa yang terjadi, tapi kini dia terbangun dalam keadaan tertidur di atas bangku taman. Seingatnya dia tadi duduk di bawah pohon dengan Frans yang tidur dipangkuannya. Dia melihat sekeliling, tidak ada Frans, hanya seorang diri.

Dengan kesadarannya yang belum sepenuhnya kembali, Dissa mengangkat teleponnya.

"Ya, bentar. Heeeemm," sambil menguap dia berjalan ke luar area taman. Menghilang dibelokan.

Semua itu tidak lepas dari tatapan seseorang yang bersembunyi dibalik pohon. Ada senyum yang terukir tipis yang bahkan bisa tidak dianggap tersenyum.

***

Seperti janjinya. Dissa akan menginap lagi ke rumah Zara. Dengan senang hati perempuan itu menjemputnya. Sebuah lagu bahagia terputar di dalam mobilnya. Sang empunya pun ikut bernyanyi terbawa alunan musiknya.

"Lo kelihatan seneng banget. Berasa gue lagi liat orang keracunan tau nggak," kata Dissa. Tubuhnya terasa lemas dan tidak bertenaga. Bahkan tadi ketika kembali ke ruang osis untuk mengambil tasnya pun hampir dia urungkan. Jika bukan karena beberapa tugas yang harus dikumpulkan besok. Dia tidak akan mengambilnya.

"Daripada lo. Lemes gitu." Zara menolehkan kepalanya ke samping. Pemandangan yang sama yang setahun ini mengisi hari-harinya. Pemandangan dari seorang Dissa yang semula berpenampilan rapi dan wah tiba-tiba berubah seperti sekarang.

"Jangan ingetin gue mulu. Lo jalan gih. Udah ijo." Zara buru-buru melajukan mobilnya. Pikirannya masih melayang. Dia harus mengatakan pada Dissa atau tidak tentang mamanya.

"Diss. Lo nggak kangen nyokap bokap?" tanya Zara yang berusaha sesantai mungkin untuk bertanya hal itu. Meskipun disuatu sisi dia tahu akan keenggangan dari Dissa atas bahasan yang dia pilih.

"Gue nggak butuh. Buat apa gue mikirin mereka yang nggak pernah mikirin gue."

"Ya kan lo nggak bisa gitu. Mereka tetep orang tua lo Dis."

"Mereka aja nggak peduli. Terus gue harus gimana? Setelah mereka cerai, mereka nggak pernah peduliin gue." Nada yang diucapkan Dissa terdengar tenang tapi tidak dengan rasa kecewanya akan sikap kedua orang tuanya.

Hubungan keluarganya tidak harmonis. Semenjak memasuki sekolah menengah pertama, kedua orang tuanya mulai sering bertengkar. Entah itu di depannya atau saat dia berada di ruangan rumah yang berbeda. Rumah yang dulunya terasa begitu nyaman tiba-tiba berubah. Ayahnya memilih untuk menceraikan ibunya. Setelah bercerai ayahnya memilih bekerja di provinsi Papua yang jauh dengan tempatnya berada saat ini. Sedangkan ibunya semakin tidak bisa dijangkau. Pulang larut malam, pergi bekerja sepagi mungkin. Bahkan kadang tidur dikantor. Hal seperti itu membuatnya tertekan. Dia merasa sendirian dan kecewa akan keadaanya saat itu.

Puncak dari itu semua ketika ibunya mengiriminya pesan singkat bahwa dia harus pindah dinas cabang ke kota lain yang jelas sangat jauh dari tempatnya tanpa pulang terlebih dahulu.

Dissa menangis saat itu. Setelah tidak pulang selama hampir dua minggu lebih dan tidak ada kabar. Akhirnya kabar itu datang, tapi bukan kabar seperti itu yang dia mau. Dissa hanya butuh ditanya satu hal yang sepele seperti 'sudah makan?' atau kalimat ucapan keterlambatan akan pulangnya ibunya. 'Mama pulang terlambat' hanya cukup satu kalimat singkat yang ingin dia terima di ponselnya. Tapi tak pernah sedikitpun itu ada.

Semenjak itu dia memutuskan untuk hidup sendiri. Tinggal di apartement yang dulu dibelikan ayahnya. Katanya suatu saat dia bakal butuh. Mungkin dahulu dia memang tidak tertarik untuk tinggal sendirian tapi waktu telah berputar. Justru sekarang dia senang hidup sendiri. Berusaha tidak tergantung dengan mamanya yang bahkan hanya menghubunginya via chat dalam satu kali selama sebulan.

Dissa sangat rindu hubungan keluarganya yang dulu. Meskipun mereka jarang berkumpul tapi rasa memiliki satu sama lain itu ada. Tidak seperti sekarang, yang bahkan mengingat keadaanya setiap saat pun tidak.

"Lo nggak kerja hari ini?" tanya Zara yang baru mengingat sesuatu hal yang terlupa.

"Nggak, gue libur. Ganti hari sabtu."

Setelah kesibukan beberapa tugas sekolah dan dalam organisasi akhirnya Dissa pindah jam kerja. Sebenarnya dia tidak ingin memilih hari itu. Alasannya dia nanti harus mencuci banyak piring dikarenakan para pelanggan yang ramai pada saat weekend.

Zara memasukkan mobilnya langsung ke dalam garasi. Setelah memarkirkannya mereka masuk ke dalam rumah Zara yang sudah sebagian ditata lebih rapi. Bi Ika selaku pembantu rumah tangga yang saat itu tertidur di meja makan terlihat sangat lelah. Dissa berdecak panjang.

"Hiiih. Hobinya nyuruh Bi Ika ini itu. Liat deh kasian sekarang."

"Yaa gimana lagi. Gue nggak bisa kalau nggak minta Bi Ika ngedekor semua ini. Tapi asal lo tahu ya. Gue juga ikut bantu."

"Ya ya ya. Gue iyain aja biar gampang." Dissa membuka pintu kamar Zara. "Buseeet. Kamar lo kayak kapal keombang-ambing saat ombak pasang deh. Beneran. Ini lo nyari apaan sih?"

Dengan ekspresi jijiknya, Dissa memasuki kamar Zara. Sedangkan pemiliknya terlihat biasa saja dengan komentar Dissa.

Beberapa pakaian bersih yang berserakan di lantai dan di atas tempat tidur diangkat Dissa ke dalam lemari langsung.

"Ehhhh dasarr. Jangan dimasukin dong. Itu belum dilipet." Teriakan Zara menggema diseluruh ruangannya. Dissa membalik tubuhnya. Menutup almari itu dengan santai lalu merebahkan dirinya di atas karpet.

"Lo mau gue bantuin apa? Gue lelah nih. Butuh tidur, asal lo tahu."

Meskipun masih kesal dengan kelakuan Dissa, Zara mengikuti perempuan itu duduk di atas karpet. Ditangannya sudah ada satu pack kartu undangan berisi lima puluh kertas. Zara membuka ikatannya, ditanganya yang lain memegang bolpoin untuk menuliskan nama yang akan diudangnya.

"Diss!" panggil Zara. Perempuan itu menoleh melihat sahabatnya. Dissa menatapnya tapi tidak menjawab. "Gue mau undang Frans. Dan besok lo berikan sama dia. Oke."

"Hahhh!!!" Dissa merubah posisinya beralih dengan duduk. "Gue nggak mau. Kan lo yang ngundang, yaudah lo aja yang beri." Zara kembali menatapnya setelah menuliskan nama Frans di kartu undangan.

"Ya kan sekolah kalian sama."

"Gue tetep nggak mau." Keukeuh Dissa yang menampakkan wajah cemberutnya.

Zara yang melihat wajah itu tak kuasa untuk tidak menjahili sahabatnya. Dengan gerakan cepat, Zara menggelitiki perut Dissa yang langsung berefek tawa dari sang empunya.

Selalu ada cara terbaik yang bisa dipilih Zara ketika sahabatnya itu tidak menuruti permintaanya. Dengan perjanjian yang selalu menguntungkan Zara. Lagi-lagi hal itu berhasil. Sekarang setelah lelah menggelitiki perut Dissa, Zara juga berhasil membuat Dissa mau membantunya memberikan kartu undangan untuk Frans.

Bisa saja di menyuruh Ramdan untuk memberikan pada Frans, tapi ada rencana lain yang sudah disiapkan Zara untuk itu. Rencana yang tidak akan bisa dihindari seorang Dissa.

Thrown Back √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang