TB-26

94 6 0
                                    

Dissa turun dari mobil Sereo setelah laki-laki itu sampai diparkiran. Mereka tentu menjadi pusat perhatian saat ini. Dissa tidak peduli, baginya itu bukan urusannya. Beberapa menit lagi bel akan berbunyi. Dissa tidak ingin terlambat masuk kelas.

"Lo jalan santai aja kenapa sih Dis." Sereo menjajari langkah Dissa. Mudah bagi lelaki itu untuk menyamakan langkahnya. Kakinya cukup panjang, dia bersyukur untuk itu.

"Nggak usah ngomong sama gue kalau di sekolah."

"Apa salahnya?"

Dissa berhenti berjalan. Dia kesal dengan laki-laki di depannya. "Lo bikin gue jadi pusat perhatian."

"Terus masalahnya?" tanya Sereo tidak mengerti apa hubungannya dengan menjadi pusat perhatian.

"Gue benci. Dan lo nggak perlu tahu masalahnya." Dissa menyingkirkan tubuh Sereo yang menghalangi langkahnya.

"Apa ini berkaitan sama masa lalu lo?"

"Lo nggak perlu ikut campur."

Dissa berlari meninggalkan Sereo. Dia haya tidak ingin laki-laki itu mengungkit apa yang terjadi di masa lalunya dan seberapa hancurnya dia.

"Heii bro!" Rizal menepuk pundaknya. "Gue lihat lo deket sama Dissa? Lo suka sama dia?"

"Mana mungkin gue suka sama dia."

"Lhaa terus kok lo bareng sama dia?"

Sereo menghembuskan napasnya. Bimbang harus menceritakan masalahnya atau tidak. Lagipula tidak masalah baginya jika orang lain menganggapnya menyukai gadis itu. Hanya saja dia juga perlu bantuan orang lain untuk membujuk Dissa. Mungkim dengan dia bercerita dengan Rizal. Tapi itu tidak mungkin. Lebih baik dia bercerita dengan Ramdan yang lebih dia percayai.

"Ya karena gue pengen bareng." Sereo meninggalkan Rizal begitu saja. Daripada nantinya dipaksa untuk bercerita.

***

Bel istirahat pertama berbunyi. Dissa dengan langkah lebarnya melesat ke arah kantin. Matanya mencari-cari laki-laki yang tadi mengiriminnya pesan. Yang berhasil memancingnya sampai ke kantin diantara banyaknya orang berlalu lalang. Jika bukan laki-laki itu penyebabnya dia tidak mungkin mau menginjakkan kakinya di sana.

"Gue perlu bicara sama lo!" Dissa menatap Sereo dengan tajam. Matanya yang sipit melotot ke arah laki-laki yang menjadi tujuan utamanya.

"Oke!" Sereo bangkit dari duduknya. Dia mengikuti kemana gadis itu akan membawanya.

"Maksud lo ngirim ini apa?" tanya Dissa dengan menekan suaranya. Tangannya memperlihatkan ponsel yang berisikan ruang obrolannya dengan Sereo.

"Lo bisa lihat-kan?"

Tadi, saat jam pelajaran pertama Sereo mengiriminnya sebuah foto. Foto yang memperlihatkan kedekatan Sereo dengan mamanya. Berharap gadis itu akan terpancing dengan apa yang dia kirimkan. Melihat Dissa saat ini, sudah menunjukkan keyakinannya.

"Lo benar-benar licik."

"Heyy. Gue tahu lo sayang sama mama lo. Tapi kalau lo bersikap tak acuh sama dia. Gue dengan senang hati ngambil kasih sayang sepenuhnya dari nyokap lo."

"Lo bener-bener licik. Nekan gue pakai cara gini. Lo sama liciknya sama temen lo."

"Well. Memang harus ada yang licik buat menang."

Sereo melangkah kembali ke kantin. Dia merasa bangga akan keberhasilan dirinya melihat kemarahan dimata perempuan itu.

"Gue lihat lo sekarang deket sama dia." Frans membuka suara pertama kali setelah Sereo mendudukkan dirinya kembali diantara teman-temannya.

"Heemm." Sereo bergumam tidak peduli. Dia meminum jus mangganya.

"Lo kok bisa deket sama dia gimana?" Rizal kembali bertanya. Laki-laki itu masih ingin mengorek apa yang belum dia mengerti.

"Ya gitu. Kayak lo sama Sarah." Sereo menjawab acuh. Sedangkan Frans entah kenapa ingin menghajar Sereo yang seolah menyembunyikan sesuatu. Dia hanya tidak ingin Dissa menjadi korban ke-playboan Sereo.

Frans berdiri dari duduknya kemudian menendang kaki meja dengan sekuat tenaga. Membuat seseorang yang duduk di atasnya menatap kesal. "Sorry, gue sengaja. Jangan deketin dia kalau lo cuma mau main-main."

Frans melenggang pergi. Kini hanya tinggal Sereo, Rizal, dan Ramdan yang ada di sana. Mereka saling bertatapan.

"Dia cemburu nggak sih?" kata Rizal membuka pertanyaan yang ada di kepalanya.

"Kayaknya, menurut lo Re?" sambung Ramdan meminta persetujuan Sereo.

"Sama." Sereo menjawab singkat. Pikirannya justru memikirkan bagaimana lagi caranya dia menyadarkan Dissa. Bagaimana membuat gadis itu kembali percaya dengan mamanya.

"Kayaknya kita perlu main-main sama dia. Menurut lo?" kata Rizal dengan seringaiannya.

"Gue nggak ikut-ikutan kali ini," kata Ramdan.

"Oke, kita mulai." Sereo menyetujui hal yang mereka rencanakan. Baginya selain mendekatkan Frans dengan Dissa, dia juga menginginkan Dissa setidaknya lebih bisa bersosialisasi. Tak jarang dia melihat Dissa bersama temannya yang lain. Lebih sering melihat gadis itu sendirian kemanapun langkahnya.

—-----—

Thrown Back √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang