TB-33

82 4 0
                                    

Sereo mendorong pintu kamar Dissa dengan perlahan. Di tatapnya sekeliling ruangan dengan pupil matanya yang menajam. Berusaha mencari sesosok gadis remaja yang entah bersembunyi di daerah gelapnya lampu dibagian mana. Tidak ada lampu, yang ada hanya temram sinar rembulan yang menelusup melewati korden putih yang menutup pintu kaca balkon. Tangannya meraba di dinding guna mencari tombol lampu.

Setelah lampu menyala, Sereo masih belum menemukan sosok Dissa yang entah ada dimana. Dia kemudian memilih berjalan ke arah sisi kiri tempat tidur Dissa. Disitulah dia menemukan Dissa berjongkok sambil menundukkan kepalanya. Sereo berjongkok, tangannya mengelus rambut Dissa dengan lembut. Melihat napas Dissa yang naik turun dengan tidak teratur ditambah tarikan ingus yang terdengar, semakin meyakinkan Sereo bahwa Dissa dalam keadaan yang tidak baik-baik saja.

Entah dorongan darimana, Sereo berjanji pada dirinya sendiri, jika Frans adalah penyebab Dissa menangis, maka dia akan memutuskan hubungan persahabatan mereka. Sugesti itu muncul begitu saja dalam pikirannya. Mungkin secara ilmiah dia sudah merasa memiliki Dissa sebagai adiknya. Hal itu memang bisa saja terjadi, tinggal waktu yang menentukan.

"Diss, kalau lo nangis saat ini. Mendingan lo makan dulu, mama udah buatin salad buah buat lo. Khusus buat lo, gue aja nggak dibuatin. Lo sekarang udahan dulu ya nangisnya."

Dengan perlahan Dissa menatap wajah Sereo. Matanya yang sembab dan ingus yang berada di ujung hidungnya sangat kentara. Benar-benar jelek, bisa dipastikan jika keadaan dalam keadaan yang lebih baik dari saat ini, Sereo pasti akan menertawakan rupa Dissa yang berantakan.

"Gu-e bukan anak kecil." Dissa berdiri dan menaiki kasurnya. Air mata yang membekas dipipinya sengaja tidak dia hapus. Dia menatap Sereo dengan mata yang memincing seolah ragu dengan apa yang dilakukan Sereo saat ini dikamarnya. Lelaki itu sedang mengambilkan salad buah yang terletak di atas meja belajar. "Sejak kapan mama gue jadi mama lo?"

"Sejak mama Diana nyuruh gue buat manggil dia mama." Sereo menjawab sambil memposisikan dirinya duduk di tepian ranjang Dissa. Dia menusuk satu buah naga berbalut saus salad dengan garpu lalu menyodorkan buah itu ke arah Dissa.

Dissa tidak menolak, dia sejujurnya memang lapar. Apalagi setelah menangis membutuhkan asupan energi yang telah hilang. Dissa mengunyah buah itu dengan perlahan sambil merasakan biji-biji buah naga yang hancur dengan gigitannya. Matanya masih mengamati Sereo dengan baik-baik. Mencerna perlakuan lelaki itu saat ini. Penuh kehangatan seperti seorang kakak.

"Lo sayang sama mama?" tanya Dissa setelah menelan buah naga yang dikunyahnya.

"Iyaa." Sereo kembali menyodorkan buah pada Dissa. Kali ini buah melon yang masuk ke dalam mulut Dissa.

"Kalau gue nggak pernah ngerestuin mereka gimana?"

Sereo menghentikan tusukan garpunya pada buah ketiga untuk disodorkan pada Dissa. Dia menatap wajah Dissa di depannya dengan pandangan yang tidak tebaca. Dia sendiri sebenarnya sudah lelah dengan segala penolakan yang Dissa lakukan selama ini kepadanya maupun kepada papanya.

"Sendirian itu adalah hal yang tidak pernah mengenakkan. Kalau lo nggak ngerestuin mereka, sama aja lo ngebiarin mereka hidup sendiri di hari tuanya nanti."

"Gue selalu bisa hidup sama mama."

"Nggak, lo nggak akan bisa." Sereo meletakkan salad buah yang masih tersisa banyak ke atas nakas yang terletak di sana. "Coba lo pikir. Lo bakalan kuliah, pasti jarang di rumah dan sibuk sama urusan lo sendiri. Belum lagi kalau lo nikah nantinya, mama bakalan sendiri. Lo lupa sama kenyataan itu."

"Setiap orang pasti punya pemikiran masing-masing tentang kehidupan dimasa depannya nanti. Tapi lo harus ingat itu, lo perlu berpikir hal yang lebih luas daripada hanya berpikir apa yang ada di depan lo saat ini aja."

Dissa menundukkan kepalanya. Dia melupakan hal itu, atau justru memang dia tidak pernah memikirkan kemungkinan yang akan terjadi nantinya. Dirinya, masa depannya, dan kehidupan lainnya yang masih mempunyai ikatan dengan dirinya. Seharusnya dia tidak egois dengan memaksakan apa yang hanya dia inginkan tanpa mau melihat sekelilingnya.

"Diss, dengerin gue. Kalau lo mikir banyak orang di luar sana yang bisa hidup tanpa pasangan sampai ajal menjemput, pasti mereka juga pernah merasakan yang namanya kesepian."

Dissa mendongak mendengar kalimat sok tahu Sereo yang tidak mengenakkan di telinganya. "Gue nggak mikir kayak gitu."

"Eh?" Sereo dibuat salah tingkah dengan kalimat Dissa. "Ya gue kira lo mikir kayak gitu sih. Terus ngapain lo nangis?"

"Apaan sih malah tiba-tiba bahas gue yang nangis."

"Hehee. Air mata lo yang kering tuh yang ngingetin gue sama lo yang nangis di sini tadi." Sereo menunjuk lantai tempat Dissa menangis. Sedangkan Dissa sudah siap akan memukul kepala Sereo dengan kepalan tangannya. Namun lelaki itu cukup gesit untuk berkilat.

"Awas lo ya."

Sereo berlari menuju pintu sambil tertawa. Sebelum dia menarik gagang pintu, dia membalil badannya. Ada yang perlu dia katakan pada Dissa. Belum sempat dia membuka mulut, bantal bersarung hijau lebih dulu melayang ke wajahnya.

Sereo mengatur napaanya sebelum berbicara. "Jangan lupa cuci wajah, muka lo kayak kunti." Sereo menunduk mengambil bantal Dissa lalu melemparnya kembali ke arah sang pemilik. "Kalau lo nangis gara-gara Frans, gue pastiin dia bakalan absen di kelas." Setelah mengatakan itu, Sereo keluar dari kamar Dissa.

Dissa menggigit bibirnya, tidak menyangka dengan reaksi Sereo yang seolah melindunginya. Dia merasa semakin salah dengan perasaannya. Seharusnya dia mengizinkan kedua orang tua mereka menikah, tapi dia sendiri belum yakin dengan apa yang harus dia pilih. Dia masih perlu banyak bukti bahwa Sereo memang benar-benar orang yang cocok untuk menjadi saudara tirinya.

—-----—

Thrown Back √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang