Seperti biasa, tempat paling ramai di jam-jam istirahat. Di manapun sekolahnya, kantin pasti akan terisi banyak siswa. Baik siswa laki-laki maupun perempuan.
Paling banyak diantara mereka akan bergerombol bersama sahabat-sahabatnya. Siswa laki-laki pastinya lebih menyukai bagian pojok diantara banyak kantin yang buka. Katanya lebih baik dipojok yang jarang dijamah banyak orang. Well, tempat pojok memang sarangnya siswa laki-laki. Para perempuan tentu akan berpikir dua kali untuk memilih mendatangi kantin itu sebagai tempat mereka makan.
Para lelaki tak segan untuk menggoda siswa perempuan yang berani mendekati wilayah kekuasaan mereka, sungguh memprihatinkan. Maka untuk kenyamanan bersama, para siswi memilih untuk tidak mendekat. Hanya perempuan kurang waras saja yang mau mendekat ke sana.
Dan salah satu perempuan itu saat ini sedang berjalan ke pojok kantin. Ditangannya ada satu amplop terbungkus plastik bening rapi yang ditujukan ke salah satu dari sekelompok laki-laki yang dikenal paling populer. Apapun namanya, perempuan dengan kacamata dan rambut dikepang satu itu seolah tidak peduli. Matanya menatap lurus target yang dimaksud di dalam benaknya.
***
"Ehh, Dis! Mau kemana?" tanya Heni, salah satu teman yang suka mengajaknya berbicara."Kesana Hen." Dissa menunjuk arah kantin.
Heni mengangguk, setelah itu dia masuk ke dalam kelas. Membiarkan Dissa melakukannya sendiri. Disaa sudah biasa dengan perlakuam seperti itu. Baginya orang lain hanya mau mengetahui masalah orang lain sebagai formalitas, bukan untuk membantu menyelesaikan.
Dissa kembali melangkahkan kakinya ke arah pojok kantin. Tempat dimana para anak laki-laki berkumpul. Entah itu dalam predikat baik atau tidak pun sama saja. Mereka sama-sama berkumpul menjadi satu dengan geng masing-masing.
Keberanian yang tersimpan rapat hampir selama satu tahun dia simpan untuk dirinya sendiri, kali ini tertarik keluar. Ketika berhadapan dengan Frans, rasa-rasanya semua hal yang terjadi dimasa sekolah menengah pertama itu muncul kembali.
Semua mata menatapnya dengan heran. Bahkan sudah banyak yang berbisik-bisik membicarakannya. Masih dengan rasa masa bodonya Dissa berjalan ke sana, membiarkan semua orang berbicara sesukanya. Dia cukup terbiasa untuk itu, dari dulu memang selalu menjadi pusat perhatian semua orang. Lalu untuk hari ini kenapa dia harus malu?
Kedua bola mata mereka terkunci. Mata yang menyimpan rahasia satu sama lain. Mata diujung pojok yang kini menatapnya bahkan tidak berkedip sedikitpun seolah menunggu orang yang berjalan sampai ke arahnya.
"Ekhhhmmm." Ramdan berdehem singkat. Kedatangan Dissa cukup membuatnya terkejut. "Ada urusan apa Diss?" tanyanya basa-basi.
"Diundang Zara." Dissa meletakan kartu itu di depan Frans. Suara yang dikeluarkan Dissa tidak seperti biasanya yang terkesan lirih. Dia lebih tegas dari sebelumnya. Frans masih mengamatinya dengan tajam. Dengan kikuk, Dissa menaikkan kacamatanya yang merosot. "Gue duluan Ram." Dissa meninggalkan tempat para lelaki itu.
"Gue cabut, ada urusan sama Dissa." Ramdan bangkit berdiri. Langkahnya secepat mungkin mengejar Dissa yang sudah hilang dipenglihatan mereka.
Sepeninggal Ramdan yang mengejar Dissa, Frans ikut mengangkat pantatnya. Kartu undangan yang diberikan Dissa sudah dia masukkan ke saku celananya.
"Lah. Lo juga mau kemana?" tanya Sereo pada Frans yang masih belum selesai memakan makanannya.
Frans tidak menjawab, laki-laki itu berlalu begitu saja. Meninggalkan pertanyaan-pertanyaan negatif dimasing-masing orang.
"Semakin nggak habis pikir. Dia kelihatan beda," gumam Sereo.
"Lo mikir kayak yang gue pikirin?" tanya Rizal dengan pandangan yang masih menatap kepergian ketiga orang tadi.
"Nggak mungkin Frans suka sama Dissa." Sereo menggelengkan kepalanya.
"Kita lihat aja nanti kemana ini cerita."
***
Dissa membalik tubuhnya. Dilihatnya Ramdan dengan napas memburu telah berdiri dibelakangnya.
"Eh. Ada apa?" tanya Dissa kebingungan melihatnya.
"Gue baru tahu lo temenya Zara."
"Ehh. Gue kirain apa. Iya dia temen gue. Kenapa? Kok lo kenal"
"Dia sepupu gue."
"Ohhh." Dissa menatap sekilas arah belakang Ramdan. Lalu kembali menatap wajah laki-laki itu. "Shakila suka sama coklat. Lo kalau mau pdkt, beliin dia coklat yang banyak. Biar cepet jadian." Dissa tahu kedua orang itu punya rasa yang sama. Dari mata dan perilaku mereka berdua sudah memperlihatkan dengan jelas.
"Ehh."
Dissa mengurai tawanya. Raut wajah Ramdan yang melongo sungguh berhasil membuatnya tertawa. Dissa tentu tadi melihat tatapan Shakila yang menatapnya sedang berbicara dengan Ramdan. Dan Dissa cukup paham dengan arti tatapan itu.
"Gue mau bicara sama lo." Tangan Dissa tiba-tiba ditarik dengan kuat oleh laki-laki yang tadi ditemuinya.
"Bisa nggak dilepas aja. Tangan gue bisa patah lo tarik begini."
Brukkkk
Frans mendorong tubuh Dissa ke tembok. Tempat yang dipilih Frans cukup sepi dari keramaian. Kedua tangannya dipegang dengan erat terkunci menjadi satu dengan tembok. Tidak ada kesempatan untuk lari atau memberontak. Dengan keberaniannya yang menipis, Dissa menatap bola mata hitam yang saat ini dekat dengan matanya. Menatapnya dengan penuh rasa kesal.
"Lo mau ngomong atau mau nyiksa gue?" tanya Dissa dengan lirih tapi penuh penekanan disetiap katanya.
"Mau lo apa?"
"Maksud lo?"
"Lo nggak tahu bahasa gue? Gue tanya, mau lo apa!?" Frans menaikkan suaranya. Wajahnya sudah memerah, terlihat lebih mengerikan.
"Pertama." Dissa dengan berani berjinjit untuk meluruskan tatapan matanya dengan Frans. Tubuh Frans masih tetap terlalu tinggi untuknya. "Gue nggak pernah ganggu lo. Kedua, gue udah nggak mau ngancurin hidup lo. Ketiga, lo bukan Frans yang gue kenal. Jadi, gue nggak perlu apa-apa dari lo."
Cengkraman itu sudah terlepas. Dissa melihat sekilas pergelangan tangannya. Berwarna merah, dengan rasa kebas yang masih terasa.
"Heh." Frans tertawa sinis mengingat kalimat Dissa. "Lo lupa? Lo yang udah ganggu gue. Lo yang udah ngancurin hidup gue. Dan lo juga yang udah ngerubah gue. Lo masih nggak mau ngasih tahu gue mau lo apa? Lo ngikutin gue ke sekolah ini buat apa?"
"Lo!" Dissa menunjuk dada Frans dengan kuat, membuat sang empunya terdorong lebih ke belakang. "Gue nggak ngerti gue seburuk itu. Tapi nggak semua pemikiran lo itu sejalan sama realita. Lo harusnya tahu itu. Disini, lo seharusnya tanya diri lo."
Dissa melepas kacamata dan kuncir kudanya. Membuangnya tepat di depan mata Frans.
"Seberapa keras gue berusaha jadi baik. Gue kira lo nggak akan pernah tahu. Jadi untuk apa, lo lebih suka ngelihat gue kayak ginikan? Gue yang akan selalu ngebully lo."
Dissa mundur ke belakang. Matanya berkaca-kaca. Dia bingung dengan dirinya sendiri. Dengan perasaan yang entah dari kapan mulai menghantuinya lagi. Dissa berlari menjauhi tempat Frans. Setelah dirasa cukup jauh untuk berlari, Dissa membalik badannya. Kakinya berlari menyusuri belakang kelas yang sepi.
—-----—
KAMU SEDANG MEMBACA
Thrown Back √
Fiksi Remaja(Completed) "Lo tahu Frans apa yang paling menyakitkan?" "Apa?" "Disaat kita menyukai sesuatu tanpa tahu kapan waktu untuk berhenti." Frans tertegun mendengarnya. Dia menatap perempuan yang berdiri di sampingnya dengan cukup lama. Ada banyak hal yan...