TB-12

102 8 0
                                    

Frans kalang kabut mencari Dissa. Menyusuri sepanjang perjalanan ke rumah Pak Abdul kembali, dia tidak menemukan sosok Dissa yang dicarinya. Ketika melihat suasana langit yang sudah menggelap, rasa bersalahnya semakin menjadi-jadi. Apa yang terjadi dengan Dissa saat ini? Pertanyaan itu tak kunjung berhenti dari pikirannya.

Dia membelokkan jalan menuju jalan lain untuk pulang. Saat ini tujuannya untuk pulang dan beristirahat. Matanya tak sengaja melihat perkelahian di jalan. Awalnya dia ingin berlalu begitu saja, tapi ketika melihat siapa orang yang dipukuli, Frans menghentikan motornya.

Frans berlari ke arah salah satu preman. Tangannya berusaha melepas kaitan helm. Setelah berhasil dia melempar helm itu tepat ke atas kepala sang preman yang berperawakan kekar. Alhasil preman itu terhuyung ke depan. Melihat temannya hampir tidak sadarkan diri dan tubuhnya yang sudah babak belur juga. Preman itu beralih membatu temannya, pergi sejauh-jauhnya.

"Lo ngapain sih nyegah gue," bentak laki-laki itu tidak terima. Dia menepis tangan sepupunya dengan kasar.

"Emang lo siap masuk penjara kalau orang itu mati?"

"Mereka yang pantes buat masuk penjara. Lo emang nggak ngerti apa yang terjadi. Temen pacar gue hampir dilecehin sama mereka." Laki-laki itu membela dirinya. Napasnya masih ngos-ngosan.

"Cuman temen pacar lo doang lo sampe belain kayak gitu? Jo, Jo, lo nggak pernah kayak gini sebelumnya," kata Frans yang berdecak tidak mengerti.

"Ngapain lo lewat jalan sini?" tanyanya.

Bukan menjawab, Frans malah berjalan mengambil helmnya yang terpental tidak jauh. Tapi cukup membuat cat helmnya terkelupas dengan lecet dibeberapa bagian.

"Johan! Ganti helm gue kalau gitu," teriak Frans sebelum menjalankan motornya kembali.

***

"Stttss. Udah ya Diss, udah. Yang penting lo nggak kenapa-kenapa." Zara menenangkan Dissa yang masih syok. Tangannya mengusap air mata Dissa yang mengalir. Masih mendekapnya dengan kehangatan. Memberi ketenangan yang semoga bisa berpengaruh.

Zara masih ingat bagaimana kejadian tadi. Yang hampir membuat masa depan Dissa hancur. Awalnya dia tidak menyangka jika perempuan yang diganggu dipinggir jalan itu Dissa. Mengingat jalanan itu sangat sepi. Memang jarang dilalui kendaraan. Hanya sebuah kebetulan jika dia dan Johan lewat tadi.

"Lagian lo ngapain sampai ke jalan ini? Lo nggak tahu jalanan ini sepi? Untung gue tadi minta Johan lewat sini. Kalau enggak gimana?" cecar Zara yang sangat mengkhawatirkan keadaannya.

Memang setelah Zara jadian dengan Johan, Johan memaksanya untuk berangkat dan pulang bareng. Seperti hari ini. Johan memang tidak mempermasalahkan jika Dissa berangkat bareng mereka, tapi Dissa memilih untuk naik kendaraan umum. Setelah melewati perdebatan panjang tentunya.

"Udah Zar udah. Kasian dia lagi syok. Jangan nyudutin dia juga." Johan mengangsurkan air mineral ke Zara. Zara menerimanya dan membuka tutup botol. Menyuruh Dissa meminumnya. "Udah malem. Ayo pulang."

Johan masuk terlebih dahulu ke dalam mobilnya. Disusul oleh Zara yang membantu Dissa untuk berjalan. Johan menolehkan kepalanya ke belakang. Zara memilih duduk bersama Dissa.

"Kok nggak di depan?" tanyanya.

"Nggak. Mau disini." Zara menjawab cuek.

"Depan aja."

"Nggak."

"Udah depan aja." Kali ini suara Dissa yang mengisi mobil. Perempuam itu terlihat lemah dan lesu. "Gue mau rebahan."

Seolah mengerti suasana sekarang. Zara menurutinya. Beralih duduk di depan. Johan tersenyum senang karenanya.

"Ke apartnya Dissa," kata Zara yang tanpa Johan bertanya. Meskipun laki-laki itu belum mengucapkan kalimat tanyanya yang masih bersarang di otak.

Kurang lebih tiga puluh menit mereka sampai di apartement Dissa. Si empunya turun, beserta Johan dan Zara. Mereka berjalan ke lift dengan keadaan tenang. Selama di dalam lift pun tetap tidak ada suara. Ketika memasuki apart barulah Zara mengeluarkan kalimatnya.

"Gue tidur sini ya Diss?" kata Zara. Perempuan itu sudah tidur terlentang di tempat tidurnya.

Keadaan di apartement Dissa yang tanpa sekat. Membuat sang pemilik apart dapat melihat dengan jelas kelakuan sahabatnya.

"Heeem," gumamnya. Setelah kejadian tadi, dia malas untuk berbicara. Dia membuka kulkas dan mengeluarkan dua botol air mineral.

"Diss ini taruh mana?" Dissa menoleh ke arah Johan. Ditangannya ada satu kantong plastik.

Dia lupa dengan isi di dalamnya jika tidak mengingat kejadian tadi. Jika bukan karena Frans, dia tidak akan mau diajak pergi. Meskipun mengancam akan dipecat karena pemilik kafe adalah omnya Frans. Dia tidak akan berakhir seperti itu juga kalau dia mau kembali ke rumah pak Abdul. Tapi sayangnya dia belum seakrab itu sampai-sampai harus meminta bantuan orang lain.

"Situ aja." Johan menaruh plastik itu di samping rak sepatu yang berada tidak jauh dari pintu.

Dissa melempar satu botol lainnya yang masih utuh ke arah Johan. Johan menangkapnya dengan cepat. Dia mengikuti Dissa duduk di depan televisi.

"Luka lo!" tanya Johan yang baru menyadari luka di tubuh Dissa.

"Santai aja." Dissa mengambil obat di bawah meja yang berada di depannya. Ada plester, kasa, betadine, dan revanol. Dengan cekatan perempuan itu mengobati luka-lukanya sendiri. Terakhir ditutup dengan kasa dan plester.

"Wahhh. Lo canggih juga. Bisa ngobatin sendiri," puji Johan yang mengamati hasil kerja Dissa mengobati lukanya. Cukup rapi dan cepat.

"Udah biasa gue." Dissa mengubah channel tvnya. Beralih menatap Johan yang mengamatinya. "Ngapain lo ngelihat gue? Zara cemburu entar."

Tukk...

Johan menjitak kepala Dissa dengan keras. Dissa memegang kepalanya. Semoga saja tidak membekas. "Kalau ngomong ati-ati."

"Lo tadi ngapain sampai ke jalan itu? Bukan arah ke sekolah lo kali." lanjutnya bertanya hal yang menggajal sejak tadi.

"Gapapa lah. Biasa. Yang nggak suka sama gue ya senengnya gitu. Ngerjain." Dissa menjawab dengan mengedikkan bahunya. Tak acuh dengan urusan itu lagi.

"Jangan lewat jalan itu lagi." Kali ini Johan mengambil remot dan mengganti saluran channelnya. "Daripada lo jomblo. Gue kenalin aja gimana sama sepupu gue?" tawar Johan yang ditanggapi tatapan tajam dari Dissa.

"Lo mau gue pukul pa gimana?" ancamnya. Tangannya sudah mengepal dan mengayun diudara, Johan menghindar.

"Ya nggak gitu. Coba aja kenalan dulu. Dia baik kok."

Dissa menurunkan tangannya. "Udah lo pulang aja sana!"

"Jawab dulu mau. Ntar gue pulang."

"Ck. Udah sana. Udah malem." Dissa mendorong tubuh Johan menuju pintu apartnya.

"Bilang 'ya' dulu."

"Ya. Puas lo. Udah sana." Tenaga Dissa yang tidak sebanding dengan Johan terkuras habis. Dia melepaskan tangannya yang semula digunakan untuk mendorong tubuh Johan.

"Bentar." Johan berjalan ke tempat tidur Dissa. Terdapat perempuan yang sudah sejak tadi tidak terdengar suaranya. Dia menghampiri, menundukkan tubuhnya, menatap dengan lekat raut wajah Zara yang tertidur. Johan menyingkirkan rambut-rambut Zara yang menutupi sebagian wajahnya. Wajah terlelap itu masih memperlihatkan kencantikan alami. Tak sadar, Johan memajukan wajahnya hendak mencium bibir Zara.

"Emmm. Ini apart gue."

Johan membuka matanya kembali. Mengalihkan mata itu pada sosok yang berdiri jauh darinya. Sang pemilik apart itu kini menatapnya dengan tangan yang bersedekap di dada.

"Gue rasa lo emang harus punya pacar. Biar nggak gangguin gue." Dissa memutar bola matanya malas mendengarkan Johan yang berbicara sambil melewatinya.

"Gue rasa lo perlu izin gue lagi buat pergi sama Zara." Dissa menutup pintu apartnya setelah Johan sudah keluar.

—------—

Thrown Back √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang