Dissa menatap foto yang berisi dirinya dan Frans yang terpasang di meja belajarnya. Sudah satu bulan lamanya Frans meninggalkannya. Sejak hari itu, dia tidak pernah bertemu lagi dengan Frans. Saat keberangkatannya, Dissa hanya menatap dari jauh lelaki itu di ujung bandara. Dia bersyukur melihat Frans yang masih bisa tersenyum, meski bukan dia yang menjadi alasannya.
"Heuhhh!! Hari ini benar-benar melelahkan."
Dissa memnbalik tubuhnya. Lagi-lagi kakaknya itu masuk ke dalam kamarnya tanpa izin. Seolah kamar itu adalah miliknya sendiri.
"Kayaknya gue harus pasang penyensor wajah deh di pintu. Biar lo nggak bisa masuk ke sembarangan arah."
"Emang ada?" tanya Sereo dengan wajah polosnya yang berhasil membuat Dissa melongok di tempatnya.
"Lo sycho deh. Kalau ada udah gue pasang," ujar Dissa dengan sinis. Matanya memincing tajam ke arah lelaki itu.
"Lo kapan berhenti sih Dis?" Sereo berucap tenang dalam duduknya. Dia sangat tahu kalau Dissa tidak baik-baik saja. Bukan satu atau dua kali dia menemukan Dissa melamun. Bahkan hampir setiap sendiri dia menemukan Dissa tidak bergerak dalam lamunannya.
"Lo ngomong apa sih? Gue berhenti ngapain coba." Dissa menggelengkan kepalanya berpura-pura tidak mengerti. Dia memilih menyibukkan dirinya kembali membaca buku fisika yang ada di depannya. Entah sejak kapan Dissa mulai menyukai rumus-rumus rumit itu. Hanya saja, kerumitannya mampu membuat dirinya lupa dengan segala hal yang mengacaukan hidupnya akhir-akhir ini.
"Gue beliin lo coklat. Semoga lo masih betah sembilan bulan lagi di Indo. Gue tahu lo pengen cepet-cepet ke Perancis."
Sereo menepuk pundaknya. Laki-laki itu memang tidak sedarah dengannya, tapi dia bisa mengerti perasaannya dengan baik. Mungkin memang sudah takdirnya dia bahagia dengan cara seperti ini.
***
"Eh kemarin gue vidcall-an sama Shakira. Dia bilang sama gue tentang keadaan Frans," ujar Ramdan dengan tenang. Sebelum Shakira ikut pindah ke luar negeri bersama Frans, mereka lebih dahulu jadian. Ramdan merasa dia benar-benar beruntunh. "Dia bilang ...""Ssttt..." Rizal menendang kaki Ramdan di bawah meja. Membuat empunya meringis kesakitan.
"Hai Dis!" Dissa tidak menanggapi panggilan Rizal. Perempuan itu memilih melenggang pergi begitu saja. Sifatnya kembali seperti dulu. Muram dan tidak tersentuh.
"Gue rasa adik lo itu butuh refreshing Re. Ckck, malah tambah parah dari yang dulu."
"Heeeh. Gue, Mama, sama Papa udah nggak tahu harus gimana lagi sama dia. Dia itu... udah kayak manekin hidup."
"Parah si emang. Apa gue suruh Shakira balik ke Indo? Setahu gue, Shakira adalah orang pertama yang bisa bikin hati Dissa luluh saat itu. Dia juga orang pertama yang jadi temennya."
"Gue rasa nggak perlu. Dia kayaknya udah nyaman sama kesendiriannya. Zara, Johan, sama sahabat-sahabatnya Geraldine udah nggak tahu juga harus gimana. Mereka emang sering datang ke rumah. Tapi ya gitu, Dissa lebih milih fokus sama belajarnya."
"Mungkin itu cara dia buat melupakan kesedihannya. Lagipula itu pilihan hidupnya. Sejauh apapun kita berusaha mengubahnya, kalau dirinya sendiri nggak mau berubah. Kita nggak bisa apa-apa."
Sereo, Rizal, dan Ramdan menatap ke sumber suara secara serempak. Laki-laki yang dengan santainya melahap siomay itu seolah tidak merasa mengucapkan sesuatu hal yang salah.
"Kenapa? Gue nggak apa-apa kan gabung di sini?" tanya Delon tanpa dosa.
"Dasar ketos gila."
"Apa?!" pekik Delon tidak terima.
"Udah ditolak juga."
"Nah." Rizal membenarkan begitu juga Ramdan. Sementara Sereo lebih memilih mengamati adik tirinya dalam diam. Dia memang tidak tahu seberapa perih luka yang dirasakan Dissa sampai membuat perempuan itu bisa memiliki hati sebeku itu. Yang dia bisa lakukan hanya berada di samping Dissa apapun yang terjadi. Sudah cukup melihat semua yang disayangi perempuan itu pergi meninggalkannya. Selagi dia masih memiliki wakti bersama Dissa, dia akan membuat adik tirinya itu bahagia. Itu janjinya.
—End—
KAMU SEDANG MEMBACA
Thrown Back √
Teen Fiction(Completed) "Lo tahu Frans apa yang paling menyakitkan?" "Apa?" "Disaat kita menyukai sesuatu tanpa tahu kapan waktu untuk berhenti." Frans tertegun mendengarnya. Dia menatap perempuan yang berdiri di sampingnya dengan cukup lama. Ada banyak hal yan...