Setelah menyelesaikan semua pekerjaanya hari ini. Dissa akhirnya bisa bernapas dengan lega. Meskipun terasa sangat melelahkan, semua kegiatan hari itu berjalan dengan lancar. Bahkan sang ketos menjanjikan mereka akan makan-makan minggu nanti untuk merayakan keberhasilan mereka dalam lomba yang diadakan.
"Gitu ya. Lo enak-enakan disini padahal dari tadi gue udah nungguin elo."
Dissa mendongakkan wajahnya. Sumber suara yang begitu dia hafal berasal di depannya.
"Gue nggak pernah nyuruh lo nunggu gue kok," jawab Dissa dengan tenang menanggapi Frans yang tiba-tiba berdiri di depannya.
"Lo nggak pulang? Ini udah sore," kata Frans kemudian. Ada rasa canggung ketika mengatakan hal itu. Mengingat disetiap terlibat pembicaraan, mereka tidak pernah menanyakan hal pribadi masing-masing.
"Dia pulang sama gue." Delon muncul dari belakang Frans. Membuat laki-laki itu kaget, apalagi mendengar pernyataan yang muncul dari mulut Delon.
"Emang dia mau pulang sama lo?" tanya Frans dengan nada jengkelnya.
"Dia emang janjian sama gue. Asal lo tahu aja. Lagipula Ladissa juga nggak masalah sama hal itu. Iyakan?"
Delon meminta persetujuan Dissa. Perempuan itu memilih mengangguk mengiyakan. Karena memang tadi sebelum dia keluar dari ruang osis, Delon sudah menawarinya tumpangan. Alhasil daripada selalu merepotkan Zara, dia memilih untuk mengiyakan. Itung-itung hemat ongkos juga.
"Lo pulang sama gue! Lagipula rumah Delon nggak searah sama rumah lo." Tanpa persetujuan Dissa, Frans lebih dulu menarik tangannya. Membuatnya tidak bisa lepas begitu saja. Tangan Frans yang besar memegang tangannya dengan kuat, menyeretnya ke area parkir sekolah.
"Gue belum bilang iya. Lo main tarik aja. Gue nggak semudah itu buat ngeiyain kata-kata lo," gerutu Dissa setelah Frans berhasil menarik tangannya ke tempat parkir motornya berada.
"Naik!!!" seru Frans dengan penekanan didalam katanya. Membuat Dissa diam seketika dan menuruti perintah Frans.
Motor yang mereka tumpangi telah keluar dari area sekolah. Frans dengan gilanya mengendarai motornya dengan kecepatan 100 km per jam. Berhasil membuat jantung Dissa berdetak sepuluh kali lipat lebih cepat. Apalagi ketika dengan santainya Frans menyalip beberapa kontainer yang mengangkut barang. Tak cukup disitu, Frans dengan sengaja berbelok ketika ada bus yang melaju di belakangnya. Benar-benar menguji mental dan batin Dissa.
Di dalam hatinya dia berdoa. Semoga saja tidak akan terjadi apa-apa. Tangannya tanpa sadar sudah melingkari pinggang Frans yang terhalang tas ranselnya. Tubuhnya gemetaran tanpa ampun. Baru kali ini dia menaiki kendaraan dengan kecepatan di atas standart.
"Udah sampai. Lo mau turun atau meluk gue terus?" kata Frans. Suaranya begitu damai dan tenang. Seolah tidak tahu jika perempuan yang diboncengnya itu ketakutan.
Dissa tersadar dari kegiatannya yang diam di jok penumpang. Dengan sedikit kekuatan yang dia kumpulkan, dia sudah turun dari boncengan Frans. Matanya menatap Frans dengan kosong. Tubuhnya masih terasa bergetar.
"Nyawa lo masihkan?" tanya Frans dengan heran melihat wajah Dissa yang pias dan pucat.
Dissa tidak menjawab. Justru perempuan itu malah menangis dengan keras. Tubuhnya semakin gemetar jika mengingat kejadian tadi. Frans yang merasa bersalah, akhirnya memilih menenangkan Dissa dengan tanpa sadar memeluk perempuan itu. Mengelus punggungnya dengan tenang.
Hal yang dilakukan Frans cukup ampuh untuk membuat Dissa tenang. Setelah dirasa cukup tenang, dia melepaskan pelukannya. Tangannya mengusap bekas air mata yang mungkin terlihat disekitaran pipinya.
"Gue tahu lo benci sama gue tapi tolong jangan balas dendam dengan cara lo yang kayak tadi. Lo boleh ngelakuin apa aja. Asal jangan kebut-kebutan dijalan kayak tadi," kata Dissa dengan suaranya yang serak.
Bukan kata-kata sinis atau hujatan yang kini terlontar dibibir tipis Frans. Lelaki itu malah tertawa melihat Dissa yang baginya saat ini terlihat seperti anak kecil.
Tawa Frans berhasil membuat Dissa diam. Dissa tidak bisa berbohong kalau memang tawa seorang Frans membuatnya terpesona. Tawa yang sangat indah dilihat dan merdu ketika ditangkap oleh gendang telinga. Setelah mengenal Frans cukup lama, untuk pertama kalinya dia baru melihat tawa itu.
Ingin rasanya Dissa merekam setiap lekukan wajah Frans yang menekuk membentuk senyuman manisnya. Dengan tidak sadar dia sudah mengamati wajah itu secara dekat. Sebelumnya dia hanya bisa mengamati dari kejauhan.
"Ehhh sorry. Gue kirain lo nggak takut," kata Frans setelah menyadari keterdiaman Dissa.
Dissa menghembuskan napasnya kasar. Membuang mukanya ke samping kanan, tidak ingin menatap dua bola mata hitam yang tidak sengaja hampir bertubrukan dengan kedua matanya.
"Oke oke," kata Frans selanjutnya. Laki-laki itu sangat tahu keenganan Dissa membahas lebih lanjut tentang kejadian tadi. "Udah sana lo masuk."
Bukannya masuk ke dalam rumahnya, Dissa malah mengamati keadaan sekelilingnya. Lingkungan yang sudah lama tidak pernah dia kunjungi lagi. Bahkan memikirkannya saja tidak. Seolah lingkungan itu bukan bagian dari masa lalunya.
Frans sudah hampir mrnjalankan motornya, akan tetapi kemejanya lebih dulu ditarik oleh Dissa. Tidak membiarkan laki-laki itu beranjak dari depannya.
"Ini bukan rumah gue." Dissa mengatakannya dengan pilu. Matanya berkaca-kaca ketika mengingat semua kejadian buruk yang menimpanya.
"Lo nggak lupa ingatankan ?"
Dissa tidak menjawab, dia justru bersembunyi disamping tubuh Frans yang lebih lebar dari tubuhnya. Matanya masih mengamati objek yang saat ini membuat dirinya bersembunyi.
Frans menoleh ke samping kirinya. Di mana rumah Dissa yang masih dihafalnya ketika masa smp itu kini terlihat sepi. Bukannya mengalihkan pandangannya ke arah Dissa. Frans justru semakin melebarkan matanya ketika melihat dua orang yang kini sedang bercengkrama di depan rumah.
Frans ingat betul wajah kedua orang tua Dissa. Yang berada di depannya agak jauh itu adalah mamanya Dissa, tetapi laki-laki yang bersama mamanya Dissa itu bukanlah ayahnya. Frans tahu situasi apa saat ini dan hati kecilnya menyuruh untuk segera membawa Dissa pergi dari tempatnya saat ini.
"Diss! Naik!" Dissa tidak menolak, dia mengikuti perintah Frans. Bahkan tanpa ada gumaman yang keluar dari mulut gadis yang saat ini duduk dengan tenang dibelakangnya.
Frans kembali mengegas motornya. Kali ini dengan kecepatan yang standar . Suasana diantara mereka tiba-tiba menjadi sesak. Frans sangat tidak menyukai keterdiaman Dissa saat ini.
"Diss, lo mau gue anter kemana?" taya Frans memecah keheningan disore hari. Lalu lintas saat ini cukup sepi, mengingat jalanan yang mereka lewati memang jalan yang tidak berada di jalan raya yang lebar.
"Mie ayam pak Mamat. Di deket gedung apartement Gendrala."
Sesuai dengan tujuan yang disebutkan Dissa, Frans melajukan motornya ke jalan menuju tempat yang disebutkan perempuan itu. Seingatnya Dissa tidak memiliki saudara yang tinggal di apartrment.
—-----—
KAMU SEDANG MEMBACA
Thrown Back √
Teen Fiction(Completed) "Lo tahu Frans apa yang paling menyakitkan?" "Apa?" "Disaat kita menyukai sesuatu tanpa tahu kapan waktu untuk berhenti." Frans tertegun mendengarnya. Dia menatap perempuan yang berdiri di sampingnya dengan cukup lama. Ada banyak hal yan...