Motor ninja berwarna merah dengan plat B 1567 CA terpakir dengan rapi di salah satu garasi sebuah rumah mewah dengan nuansa klasik. Sang pemilik motor melepaskan helmnya. Wajahnya kusut disertai dengan rambut acak-acakan yang basah oleh keringat. Pikirannya kacau, sekacau hidupnya dulu. Lagi-lagi berhubungan dengan orang yang sama, hanya alasannya yang membedakan.
Dengan lesu dan segala pikiran yang berkecamuk, dia melangkah masuk ke dalam rumah melewati pintu yang menghubungkan garasi dengan dapur. Bau menyengat aroma bumbu yang dimasak tercium setelahnya. Menggoda perutnya yang kosong. Bukannya menyapa terlebih dahulu mamanya yang sedang memasak, malah langkahnya menuju ke kulkas. Mengambil satu botol air dingin dan membawanya ke meja makan. Mendudukkan dirinya disana, menuangkan air itu. Segeralah diminumnya air itu. Terasa dingin dan menyegarkan.
Dina sang mama sejak tadi mengamati anaknya. Biasanya Frans akan bersikap diam ketika ada masalah yang menyerangnya. Setelah mematikan kompor, dia ikut duduk di depan anaknya.
"Frans, darimana? Tumben baru pulang jam segini?" suara lembut dari Dina cukup menyadarkannya. Membawanya kembali ke dunia nyata.
"Ehh. Mama. Dari sekolahlah ma."
Ada nada gusar di dalam suara Frans. Tentu bisa sangat jelas dibaca oleh Dina. Sejak kecil Frans memang dekat dengan Dina. Frans akan selalu bercerita semua hal yang terjadi dihidupnya, entah itu baik atau tidak. Bahkan kakak perempuannya tidak sedekat itu dengan ibunya.
"Sejak kapan Frans yang mama kenal jadi seperti ini? Biasanya juga cerita semua hal sama mama. Atau karena kamu udah dewasa jadi nggak mau cerita sama mama?" Dina menyedekapkan tanganya ke dada. Mengamati anak laki-lakinya itu dengan sorot mata yang menajam.
"Nggak papa-"
"Mama nggak butuh tahu perasaanmu. Yang mama butuhim cerita kamu. Denger ya Frans, anak mama nggak boleh kayak laki-laki kebanyakan. Sok nggak butuh orang lain. Mama nggak pernah ngajarin gitu."
Jika mamaya sudah seperti itu maka yang bisa dilakukan Frans hanya rela membagi semua hal yang dirasa. Didikan mamanya memang beda dari mama yang lain. Frans dan Feera kakaknya selalu diajarkan untuk membagi masalah. Bukan apa-apa. Hal itu dilakukan Dina agar kedua anaknya tidak terkena stress. Meskipun Dina tahu semuanya, dia tidak akan ikut campur. Hanya memberi sedikit jalan keluar dan dukungan motivasi.
Frans menghembuskan napasnya. Dengan tenang dia menceritakan apa yang dirasakannya saat ini. "Frans keterlaluan ya ma? Frans nggak tahu kalau Frans itu bisa ngelakuin hal fatal." Kepalanya semakin menunduk. Perasaan bersalah selalu meyelimutinya.
"Mama inget nggak kalau aku pernah cerita tentang Ladissa? Perempuan yang sering bully aku dulu?"
"Inget. Kenapa lagi dengannya? Kamu ketemu? Atau kamu dikerjai lagi? Bukannya kamu udah milih sekolah swasta untuk jauh dari dia?" tanya Dina yang kebingungan.
Dina memang mengetahui semua seluk beluk cerita anaknya. Yang karena memilih berpakaian sederhana dulu selalu dibully oleh siswi itu.
"Nggak ma. Maaf sebelumnya Frans nggak cerita. Dissa sebenernya satu sekolah lagi dengan Frans. Perempuan ifu udah berubah, tapi Frans mau membully perempuan itu balik. Gitu aja ma. Tapi Frans udah keterlaluan. Frans ninggalin dia dijalan. Sekarang Frans nggak tahu dia dimana."
"Frans. Mama tahu kamu benci dia. Tapi kamu nggak boleh ngelakuin itu."
"Karena laki-laki sejati nggak pernah membalas apa yang udah terjadi." Lanjut Defano yang sudah berganti pakaian kerjanya. Ikut duduk dimeja makan. Lebih tepatnya disamping isteri kesayangannya.
"Papa denger semuanya?" tanya Frans tidak percaya.
"Iya. Emang papa nggak bisa kasih kamu kata-kata kayak quotes jaman sekarang gitu? Papa bisa kali. Ya nggak ma?" Defano mengedipkan sebelah matanya pada Dina. Yang disambut kekehan lembut suara perempuan itu.
"Frans. Sekarang mama tanya. Kamu beneran ngerasa bersalah udah ninggalin dia?" Frans mengangguk dengan mantab. "Frans beneran ngerasa bersalah?" Dia mengangguk lagi. "Terus apalagi. Kenapa masih disini." Frans mendongak. Tidak mengerti ucapan mamanya.
"Mah. Dia perlu khursus sama mama biar peka. Mama masak apa?" Defano mengalihkan perhatian Dina. Menurutnya anaknya itu perlu memikirkan matang-matang semua kelakuannya.
Frans bangkit dari duduknya. Dia berjalan ke ruang garasi. Memakai helm dan menstarter motornya keluar rumah.
***
Jika Frans bisa meminta. Maka yang dia inginkan adalah dengan tidak bersikap buruk pada orang lain. Selain merasa bersalah, perasaannya campur aduk. Ada rasa khawatir juga jika terjadi apa-apa pada Dissa. Sebenci-bencinya dia, dia harus bisa memikirkan perasaan seseorang.
Tidak tahu lagi kemana tujuannya saat ini. Motornya memang melaju. Tapi tak tentu arah. Hanya berjalan mengikuti hatinya. Jika perasaannya menginginkan belok, maka dia akan belok. Jika perasaannya mengatakam lurus pun dia akan memilih lurus.
Hatinya ingin berhenti. Dia berhenti juga tepat disebuah taman di daerah apartement di jalan Agustin. Masih di atas motor, dia mengamati keadaan taman dengan penerangan lampu berwarna-warni itu.
Dia berharap tidak salah lihat saat ini. Disana ada Dissa. Bersama dengan Shakila dan Ramdan. Dia turun dari motornya. Langkahnya terhenti ketika Ramdan berhasil mengetahui keberadaannya. Laki-laki itu menghampirinya. Matanya menatap tajam.
"Lo puas lihat dia kayak gitu? Gue nggak habis pikir sama lo. Dia perempuan Frans. Setahu gue, mau dia jahat atau baik. Semua perempuan itu pasti punya sisi lembut dalam dirinya. Dan lo perlu tahu itu." Ramdan menepuk bahu Frans. Tidak ada nada marah. Hanya kata-katanya yang berhasil membuatnya tertohok sampai titik terdalam.
"Gue beneran ngerasa bersalah," kata Frans ketika melihat ada plester ditangan Dissa.
"Sekarang terserah lo. Tapi dari awal gue emang nggak setuju kalau lo ngerjain dia. Menurut gue,dia itu baik. Mungkin apa yang dia lakuin ke elo dulu itu ada alasannya. Meskipun kelakuan dia juga nggak bisa dibenarkan juga sih."
Frans diam. Dia tidak menjawab. Hanya cukup begitu saja. Apa lagi memang yang bisa dia berikan pembelaan.
"Gue balik dulu. Sementara ini lo jangan gangguin dia. Kalau lo masih benci dia. Gue harap lo bisa berhenti aja. Oh ya, dia udah nggak papa. Lo tenang aja, kalau lo ngerasa bersalah sih."
Kata-kata Ramdan sangat sarkas dan berhasil menghancurkan sebagian hatinya. Tapi disuatu sisi bukannya dia merasa bersalah, tapi perasaan lain mulai muncul. Perasaan hatinya yang semakin membenci Dissa. Melihat perempuan itu masih tertawa setelahnya, setelah apa yang dikhawatirkannya tidak terjadi. Kebencian lain bertambah juga, dia sudah merebut perhatian sahabatnya, Ramdan. Yang meskipun dari awal tidak pernah setuju dengan apa yang dia lakukan, tapi setidaknya dia tidak seperti sekarang. Yang berbalik memusuhinya.
—------—
KAMU SEDANG MEMBACA
Thrown Back √
Fiksi Remaja(Completed) "Lo tahu Frans apa yang paling menyakitkan?" "Apa?" "Disaat kita menyukai sesuatu tanpa tahu kapan waktu untuk berhenti." Frans tertegun mendengarnya. Dia menatap perempuan yang berdiri di sampingnya dengan cukup lama. Ada banyak hal yan...