TB-31

80 6 0
                                    

Seperti yang dikatakan Diana kemarin. Sereo sudah menyiapkan semua barangnya untuk pindah ke apartement Dissa dan Diana. Barangnya cukup muat hanya dengan satu koper. Lagipula dia tidak akan lama tinggal di sana. Setelah papanya pulang dia pasti kembali, kembali hidup bersama hanya dengan papanya untuk waktu yang entah sampai kapan.

"Halo?" sapa Sereo pada papanya yang ada di bagian kota lain di Indonesia.

"Jadi ke rumah Diana?"

"Jadi, pa."

"Baik-baik, jangan bikin susah Diana sama Dissa. Kalau sampai ada laporan kamu pergi keluar malem kayak biasanya. Papa jamin kamu akan papa pindahkan ke luar negeri. Ngerti?"

"Iya pa, iyaa. Reo janji, papa cepetan pulang. Katanya mau minta restu sama calon anak perempuan?"

"Santai aja, kalau udah selesai kerjaan di sini. Papa pasti pulang dan bujukin Dissa."

"Heuhh." Sereo memutar bola matanya, jengah dengan papanya yang sangat menyukai anak perempuan. Dulu, Sereo diinginkan lahir dengan wujud perempuan. Sayangnya justru dia terlahir sebagai laki-laki. Nama yang disiapkan papanya untuknya adalah Sheirel Syazana. Bagus memang, tapi tidak cocok untuk dirinya yang terlahir laki-laki. Nama itu kemudian dirubah menjadi namanya seperti sekarang.

"Yasudah. Papa sibuk. Kalau ada apa-apa telpon papa." Sambungan telepon itu terputus.

Sereo melihat sekeliling ruangan yang ditempatinya saat ini. Kosong, sepi, dan jarang ada tawa lagi. Dia merindukan kehagatan dalam rumah besar yang masih di tempatinya sampai saat ini. Dia rindu sosok ibu yang mau menemaninya setiap hari. Dia merindukan semua yang biasa keluarga lakukan bersama-sama. Maka, harapannya pada Dissa untuk merestui hubungan kedua orang tua mereka sangat besar. Dia hanya tidak ingin selalu hidup hanya berdua dengan papanya setelah mamanya meninggal.

***

"Heii. Udah selesai?" tanya seseorang yang tiba-tiba muncul di ambang pintu kelas. Suasana sudah sepi semenjak bel berbunyi. Acara kerja kelompok telah selesai. Meninggalkan Dissa seorang diri yang saat itu menunggu Frans datang ke kelasnya. Setelah mengirim pesan singkat pada Frans, lelaki itu baru muncul pada menit ke lima di ambang pintu kelas dengan kepalanya yang muncul pertama kali memastikan keadaan sudah sepi.

"Udah nih. Liat aja, sepikan?" gurau Dissa pada Frans.

Dissa mendekat ke arah Frans yang masih setia menunggunya diambang pintu kelas. Mereka berjalan bersisihan menuju parkiran sekolah. Sepanjang perjalanan ada saja pembahasan yang tidak bermutu dari keduanya. Mereka tidak tahu sejak kapan berbicara satu sama lain bisa sedekat sekarang jika mengingat masa lalu mereka yang tidak ada baiknya.

Mereka berhenti berbicara ketika Dissa mengambil ponsel di saku roknya yang bergetar. Dia membaca pesan itu.

From : papa

Dissa, apa kabar nak?

Hanya satu pesan, namum mampu membuat Dissa merasakan sesak di dadanya. Sudah empat tahun lamanya dia tidak pernah mendapatkan pesan lagi dari papanya. Ya, setelah perceraian mereka terjadi papanya seolah hilang bagaikan ditelan bumi. Dissa tidak tahu kemanapun tempat yang akan dituju papanya. Yang dia tahu hanya papanya pindah tugas ke Papua, tidak mungkin untuknya mencari kesana.

Satu tetes air mata mengalir dipipinya. Dia sangat merindukan orang itu. Tentu, mana mungkin dia begitu saja melupakan orang yang sedari kecil merawatnya, mengisi hari-harinta terlupakan begitu saja. Tidak mungkin, bahkan sebenci apapun Dissa pada papanya dia tidak akan melupakan sosok papanya yang selalu menemaninya. Dia terluka dengan semua kejadian yang menimpa kedua orang tuanya. Namun dia lebih terluka jika satu kalipun mereka tidak pernah menghubunginya. Dan untuk pertama kalinya setelah empat tahun berlalu, papanya menghubunginya. Itu sudah cukup baginya, setidaknya dia masih diingat oleh papanya.

Frans yang semula menatap layar ponselnya merasa terusik dengan keterdiaman Dissa. Dia menatap gadis itu. Terkejut dengan air mata yang meninggalkan bekas di pipi Dissa. Dia memasukkan ponselnya ke saku. Lalu melihat pesan yang ada di sana. Dia tidak mengerti kenapa hanya dengan satu pesan dari papa Dissa mampu membuat gadis di sampingnya mengeluarkan air mata.

"Diss!" panggil Frans dengan suara lembutnya.

"Bisa kita pulang aja Frans. Gue capek." Dissa memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku. Setelah menghapus air matanya dengan kasar, barulah dia menatap wajah Frans.

Frans hanya bisa mengangguk mengiyakan. Untuk saat ini dia hanya perlu diam. Dia bisa mencari tahu apa yang terjadi sebenarnya tentang Dissa. Meski itu harus melibatkan orang di masa lalu mereka.

Sepanjang perjalanan tidak ada yang bersuara. Pertanyaan sepele yang diucapkan Frans pun tidak mendapat respon dari Dissa. Ketika dia menanyakan Dissa lapar atau tidak, dia hanya diam. Seperti pertanyaan lainnya pun dia sama. Mungkin memang Dissa perlu waktu sendiri. Yang bisa dia lakukan saat ini hanya diam. Jika dia bertanya kenapa, pasti tidak akan dibalas. Jangankan bertanya masalah Dissa, bertanya hal sepele saja Dissa hanya diam.

"Besok nggak usah jemput gue," kata Dissa sebelum turun dari mobil Frans.

Tanpa menatap Frans terlebih dahulu, Dissa meninggalkan Frans di dalam mobil sendirian. Bahkan setelah keluar dan mengatakan kalimat perintah itu, Dissa tidak berbalik hanya untuk menatap mobil Frans. Dia berjalan seolah meninggalkan semua hal yang ada.

Frans hanya bisa melihat sosok itu meninggalkannya. Dia tidak tahu hanya karena satu pesan mampu mengubah segalanya. Padahal pesan itu hanya bertanya keadaan, bukan menanyakan hal penting lainnya. Dia semakin bingung dengan semua hal yang berkaitan dengan Dissa.

Dia mengambil ponselnya. Mengirimkan pesan pada Johan untuk memberikan nomor Zara padanya. Dia rasa dia perlu menanyakan hal penting itu pada Zara, meski dia membenci perempuan itu.

—-----—

Thrown Back √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang