TB-35

93 5 0
                                    

Hampir seminggu berlalu semenjak Dissa memutuskan untuk menjauh dari Frans dengan menyuruh laki-laki itu untuk tidak mengantar jemputnya seperti kebiasaan Frans sebelumnya. Sejak hari itu pula Frans sudah jarang sekali bertemu dengan Dissa. Dia hanya sesekali terlihat di sekolah. Sisanya, Dissa seolah menghilang dari peraduannya. Di kelas, di kantin, di perpus, bahkan di parkiran pun Frans tidak pernah menemukan lagi sosok Dissa. Hubungannya pun semakin buruk dengan Sereo. Lengkap sudah bagaimana susahnya mencari sosok perempuan itu jika tidak ada yang bisa dia manfaatkan.

“Gue kira lo lagi sibuk-sibuknya sama tugas osis.” Johan muncul dari setelah mendapatkan dua kaleng minuman soda dari mesin minuman. Johan menyerahkan satu kaleng minuman itu pada Frans.

“Sibuk sih, ada calon-calon osis yang baru diseleksi.” Frans menggoyang-goyangkan minuman beroksida itu tanpa minat untuk membuka segelnya. Ada satu orang yang terbayang olehnya ketika melihat soda itu. Siapa lagi kalau bukan Dissa, perempuan dingin yang tidak menyukai soda tapi justru menyukai susu sapi murni. Rasanya dia semakin aneh ketika Dissa tidak lagi ditemuinya. Dia rindu, tapi tanpa bisa menatap orang dirinduinya meski hanya satu kali. Dissa bagaikan bersembunyi di padang ilalang yang tingginya mampu menutupi dua orang yang berjalan bersama.

“Lha terus kenapa lo ke sini?” Johan bertanya dengan santainya seolah tidak mengetahui apa yang ada dipikiran Frans. Padahal kenyataannya Johan tahu benar kalau Frans sedang memikirkan Dissa. Zara sudah menceritakan semua padanya. “Zara juga nggak pernah kontakan sama Dissa lagi. Jadi jangan ngira hanya lo doang yang nggak tahu kabar dia.”

“Kalian ngerumpiin gue?” Frans bertanya sambil melirik Johan dengan mata elangnya.

“Sensi amat lo. Ya biasalah mana ada perempuan nggak cerita.”

“Ember banget pacar lo.”

“Awas lo ngata-ngatain pacar gue.”

“Hemmm.”

“Lo nggak mau nyoba tanya sama temen lo yang laki-laki itu? Atau sama teman Dissa pas smp?”

“Belum gue coba.”

“Ah elahh. Lo cuma mau ngandelin informasi dari pacar gue doang emang.” Johan meluapkan emosina dengan memukul lengan Frans. “Gue ada kencan, lo kalau mau ada di sini terusan ya terserah lo. Kalau lo mau dibilang jomblo ngenes sih.”

Johan meninggalkan Frans sendirian. Ditengah keramaian mall yang penuh akan lautan manusia. Namun, mungkin keberuntungan saat ini memang berpihak kepadanya. Matanya menangkap sosok sahabat Dissa dulu sewaktu smp. Perempuan itu sedang berjalan ke arahnya dengan banyaknya belanjaan di tangan kanan maupun tangan kirinya. Frans berdiri dari duduknya dan menghampiri perempuan itu.

“Dine! Mau gue bantu?” tanya Frans sambil menyodorkan tangannya.
Perempuan bernama Geraldine itu mendongak. Dengan senang hati tentu saja dia memberikan belanjaannya. Melepaskan semua belanjaan yang ada di tangannya ke lantai.

“Syukur deh ada lo. Bawa gih!” ujar Geraldine dengan kalimat perintah yang biasa dikatakannya sewaktu smp. Saat sadar dengan cara bicaranya Geraldine menggigit bibirnya,, meruntuki kebiasaan diktaktornya itu, “sorry gue kebiasaan.”

“Hmmm.”

“Tapi, lo pasti mau ada maksud nih bantuin gue. Ya kan? Kalau nggak mana mungkin.”

“Pasti.”

“Tentang apa? Dissa?” tebak Geraldine yang seratus persen benar. Terlihat dari raut wajah Frans yang berubah ketika dia menyebutkan nama Dissa. “Lo lama nggak ketemu dia?”

“Iyapss.”

“Kita ke kafe dulu deh, gue haus, dan gue rasa pembicaraan ini akan memakan banyak waktu.” Tanpa persetujuan Frans, Dissa lebih dulu masuk ke dalam kafe. Suasana cukup lengang karena sore ini air hujan sudah lebih dulu turun membasahi bumi yang akhirnya membuat orang-orang malas untuk beraktivitas setelahnya.

“Jadi lo tahu kalau Dissa menghilang?”

“Dissa tidak menghilang, tapi dia memang lagi butuh banyak waktu untuk sendiri. Beberapa hari yang lalu gue nggak sengaja ketemu dia sama Sereo di toko buku. Dia kayak nggak punya semangat hidup gitu. Tapi untungnya gue bisa nanyain Sereo tentang Dissa yang kayak ngilang gitu. Ya dan emang bener Dissa malah balik lagi seperti dulu, seperti sebelum orang tuannya benar-benar pisah.”

“Makssud lo?”

Geraldine menyeruput es cappuchino-nya sebelum membalas pertanyaan Frans. “Dulu sewaktu smp, Dissa juga seperti itu. Saat itu dia lagi kepikiran sama orang tuanya yang setiap harinya bertengkar, mau ada dia di rumah atau tidak mereka seolah nggak peduli kalau Dissa bakal denger pembicaraan mereka. Dia juga ngelakuin hal kayak sekarang, dia bener-bener down. Tapi gue sama yang lain nggak tahu kalau dia emang lagi butuh seseorang atau gimana buat jadi teman curhat. Gue cuma mikir kalau emang masalah dia lagi banyak, gue nggak mau ganggu saat itu. Bodoh sih emang saat itu, gue bener-bener bodoh.” Geraldine meneteskan air matanya begitu saja. Ingatan beberapa pengalaman pahit silam masih membekas diingatannya. Bagaimana warna darah merah itu membasahi pergelangan tangan Dissa hingga membuat kulit perempuan itu memucat seperti seseorang yang kekurangan darah.
“saat itu gue masih ingat kalau dia telepon gue, tapi gue justru bilang sama dia kalau gue sibuk. Padahal kenyataanya gue mau pergi ke rumah pacar gue nganterin kue. gue bener-bener bodoh dan gue nggak bakalan tahu kalau gue nggak ditelepon Zara. Zara bilang kalau Dissa masuk ICU karena sengaja mau bunuh diri. Rasanya dunia gue campur aduk kayak gue yang salah karena gue nggak mau dengerin dia ngomong apa.”

“Jadi, dia pernah berusaha bunuh diri?” Frans bertanya dengan penuh ketidakpercayaan. Sedotan yang dia putar-putar di dalam gelas jus mangganya terhenti begitu mendengar penuturan Geraldine.

“Mulai saat itu gue dan yang lain, termasuk Zara bener-bener ngawasin dia. Zara juga jadi lebih dekat sama kita waktu itu.”

“Kalau kalian ngawasin Dissa, kenapa kalian nggak satu sekolah yang sama lagi?”

“Gue nggak tahu Dissa mau daftar ke mana, di mana, dan dia mau lanjut sekolah atau enggak juga kita nggak ada yang tahu. Bahkan guru bk sekalipun nggak tahu Dissa mau ke mana. Tapi untung sih Zara pinter otaknya. Dia sengaja ngikutin Dissa pas MOPDB dulu, bahkan Zara juga sampai rela terlambat gara-gara itu. Zara emang lebih cocok jadi sahabatnya.”

“Lo bilang kalau Dissa saat ini sama seperti waktu yang lo ceritain tadi. Lo yakin dia nggak bakalan bunuh diri lagi?”

“Nggak. Dia udah punya pelindung yang bisa jagain dia.” Frans mengernyitkan dahinya. Pikirannya melayang pada satu nama, Sereo. Dia yakin bahwa laki-laki itulah yang dianggap pelindung oleh Geraldine. Ada rasa tidak terima dengan apa yang diutarakan Geraldine saat ini.

“Lo kenapa? Cemburu?” Geraldine bertanya sambil menahan tawanya. Pasalnya dia yakin bahwa Frans mengira kedekatan antara Dissa dan Sereo itu lebih dari seorang kakak adik.

“Lalu apa namanya laki-laki sama perempuan yang saling dekat, hah?”
Geraldine menyemburkan tawa renyahnya saat itu juga. Melihat air muka Frans yang sekarang lebih pantas disebut angry bird itu menatapnya dengan penuh emosi yang tertahan.

“Mereka itu kakak adik, Frans. Lo nggak tahu ya kalau Ayahnya Sereo sama Mamanya Dissa itu lagi ngebujukin Dissa buat ngerestuin mereka?”

“Hah?” Geradine semakin mengeraskan volume tawanya. Dia sendiri seolah melupakan orang di sekitarnya yang kini menatapnya penuh dengan amarah yang tertahan. “Udah-udah. Lelah gue ketawa. Nah sekarang lo tahu kan. Yaudah saran dari gue sih, lo coba cari Dissa dengan hati-hati ntar ya ketemu. Oh ya, seharusnya lo itu observasi dulu baru nyimpulin semuanya. Bukannya cuma mikirin rumusan masalah sama hipotesis doang. Katanya anak ipa.”

“Nggak usah bawa-bawa pelajaran. Tapi thanks lo udah mau cerita.”

“It’s okey. Gue juga makasih banget lo mau bantuin bawa belanjaan gue.”

“Hemmm. Gue pergi dulu kalau gitu.” Frans berdiri dari duduknya. “Santai gue bayarin kok minuman sama makanan lo,” ujarnya sebelum beranjak dari meja itu. Dia tahu arti tatapan Geraldine yang menatapnya intens sebelum melangkahkan kakinya. Pasti Geraldine meminta bayaran atas cerita yang diberikannya.

Thrown Back √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang